Pilpres 2024

Gibran Jadi Sorotan: Di Mana Warisan Jokowi Bertemu dengan Ambisi Prabowo

Putra Presiden Joko Widodo akan mencalonkan diri pada pemilu tahun depan sebagai calon wakil presiden Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Editor: Agustinus Sape
kolase POS-KUPANG.COM/HO
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto resmi menggandeng Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024. 

Penunjukan Gibran berisiko dipandang sebagai langkah strategis, memanfaatkan masa mudanya untuk memikat pemilih muda, namun belum tentu mewakili aspirasi mereka yang sebenarnya.

Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun seolah-olah mencerminkan demografi generasi muda Indonesia, ditanggapi dengan skeptis, terutama mengingat bahwa keputusan tersebut bertepatan dengan rumor pencalonan Gibran.

Pasca keputusan tersebut, sentimen negatif masyarakat terhadap Gibran mencerminkan dugaan adanya manipulasi ketentuan hukum untuk mengakomodasi ambisi politik.

Hal ini dipandang oleh banyak orang sebagai kekhilafan atau bahkan kecerobohan dari pihak Prabowo dan koalisinya. Mereka mungkin salah memperhitungkan reaksi pemilih dengan memprioritaskan aliansi strategis dibandingkan sentimen publik.

Persepsi nepotisme, yang diperkuat oleh keputusan pengadilan, telah meningkatkan pengawasan publik terhadap pencalonan Gibran. Bagi banyak orang, langkah ini tidak tampak sebagai upaya tulus untuk menjembatani kesenjangan generasi, melainkan lebih sebagai permainan strategis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.

Prabowo, seorang politisi kawakan dan menteri pertahanan, telah melihat naik turunnya politik Indonesia. Meskipun ia gagal mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada tahun 2009 dan menjadi presiden pada tahun 2014 dan 2019 melawan Jokowi, ketangguhan mantan jenderal tersebut tidak dapat disangkal. Sejarah ini membuat hubungan strategisnya dengan Gibran, putra mantan musuhnya, menjadi semakin menarik.

Dengan bekerja sama dengan Gibran, Prabowo mungkin ingin mengawinkan agenda politik dan ekonomi Gerindra yang kuat dengan daya tarik baru dari wali kota muda tersebut.

Aliansi ini menandakan lebih dari sekadar manuver politik; Hal ini menunjukkan dinamika politik Indonesia yang berubah-ubah, dimana persaingan di masa lalu dapat dikesampingkan demi keuntungan yang dirasakan di masa depan.

Keputusan Prabowo dan koalisinya untuk mengangkat Gibran bukan sekadar produk kenyamanan politik; ini adalah pertaruhan yang diperhitungkan dengan cermat. Tapi kenapa Gibran?

Di permukaan, aliansi ini berupaya memanfaatkan jaringan kuat yang dimiliki Jokowi, yaitu kekuatan, modal, dan relawan akar rumput. Namun, lanskap politik seringkali lebih kompleks dari apa yang terlihat.

Langkah ini, meski tampak menguntungkan, berisiko menjadi bumerang. Bersekutu dengan Gibran dapat melemahkan warisan Jokowi. Momok politik dinasti yang membayangi, dikombinasikan dengan penggambaran Gibran sebagai penerima hak istimewa, dapat mengasingkan kelas menengah perkotaan dan kelompok masyarakat yang selama ini menjadi favorit Jokowi.

Demografi ini, yang pernah menjadi benteng dukungan bagi Jokowi, dapat mengarah pada dua pesaingnya dalam pemilu presiden, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Selain itu, keberpihakan seperti itu dapat mengurangi jumlah suara pendukung tradisional Jokowi dan pendukung setia Prabowo. Sebagian besar loyalis Prabowo pada pemilu tahun 2014 dan 2019 serta mereka yang menentang Jokowi mungkin tertarik pada Anies.

Mengingat posisi Anies yang konsisten sebagai antitesis terhadap Jokowi dan fokusnya pada perubahan dibandingkan kesinambungan, ia mungkin lebih menarik bagi para pemilih dibandingkan Ganjar atau Prabowo.

Manuver Jokowi di papan catur politik ini mengisyaratkan motivasi yang lebih mendalam: keinginan untuk memperkuat warisannya. Namun, apakah pelestarian warisan sebanding dengan potensi pengucilan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berkuasa?

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved