Timor Leste

Bagaimana Timor Leste Lolos dari Kutukan Sumber Daya Politik

Negara termuda di Asia ini telah menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya tidak perlu menghambat perkembangan demokrasi yang stabil.

Editor: Agustinus Sape
AP/Lorenio L.Pereira
Petugas pemilu membantu seorang pria berkursi roda untuk memberikan suara di tempat pemungutan suara saat pemilihan parlemen di Dili, Timor Timur, Minggu, 21 Mei 2023. 

Oleh Moritz Schmoll dan Geoffrey Swenson

POS-KUPANG.COM - Di tengah kemerosotan demokrasi di Asia Tenggara, keberhasilan Timor Leste sungguh mengesankan.

Pada bulan Mei (2023), negara tersebut memilih parlemen baru. Pada bulan Juli, kekuasaan dialihkan secara damai dari Fretilin ke koalisi yang dipimpin oleh Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT) yang dipimpin oleh Xanana Gusmao.

Ini merupakan pemilu parlemen keenam di negara ini sejak kemerdekaannya dari Indonesia pada tahun 2002, dimana pada saat itu para petahana selalu menerima kekalahan di kotak suara dan menyerahkan kekuasaan kepada lawan-lawannya.

Sejak pemilu tahun ini, para pemimpin Timor Leste juga semakin vokal dalam menentang junta militer di Myanmar, meskipun hal tersebut menimbulkan risiko serius terhadap upaya jangka panjang negara tersebut untuk mendapatkan keanggotaan di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Komitmen demokratis ini jauh lebih mengesankan dan mengejutkan karena Timor Leste adalah kandidat utama yang terkena “kutukan sumber daya” politik, dimana kekayaan minyak berfungsi untuk menopang pemerintahan otoriter.

Di wajahnya, minyak seharusnya menjadi berkah. Hal ini memberi negara-negara sumber daya yang penting untuk mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang sehat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang populer.

Sayangnya, kenyataannya seringkali berbeda. Dalam banyak kasus, minyak tetap berada dalam pemerintahan otoriter.

Sumber daya seringkali digunakan untuk membangun aparat represif yang kuat dan menyalurkan uang kepada elite politik dan ekonomi.

Banyak negara, mulai dari Venezuela, Equatorial Guinea, hingga Kazakhstan, telah menderita akibat apa yang dikenal sebagai “kutukan sumber daya” secara politik.

Bahayanya nyata, namun tidak bisa dihindari. Negara-negara yang sudah demokratis dan memiliki pemerintahan yang baik sebelum minyak ditemukan seringkali bisa “lolos” dari kutukan tersebut.

Norwegia, misalnya, telah lama menjadi negara demokrasi sebelum mencapai kesuksesan pada tahun 1969.

Alternatifnya, tata kelola sumber daya alam yang baik juga dikatakan dapat membantu.

Dana perminyakan yang dikelola secara teknokratis yang mengisolasi kekayaan sumber daya alam negara tersebut dari para politisi, birokrat, dan jenderal memastikan bahwa dana tersebut tidak dapat digunakan untuk menekan demokrasi atau untuk tujuan jahat lainnya.

Dalam kedua kasus tersebut, negara-negara tersebut cenderung berada di negara-negara Utara.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved