Timor Leste
Bagaimana Timor Leste Lolos dari Kutukan Sumber Daya Politik
Negara termuda di Asia ini telah menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya tidak perlu menghambat perkembangan demokrasi yang stabil.
Ironisnya, justru pada fase awal pengelolaan sumber daya minyak yang “berkelanjutan” inilah ketidakpuasan di kalangan tentara berkembang menjadi kekacauan dan kekerasan yang meluas sehingga eksperimen demokrasi di Timor Leste berada di ambang kehancuran pada tahun 2006.
Setelah itu, pemerintah membuka diri dana minyak bumi, dan sejak itu, demokrasi semakin kuat.
Jika penjelasan dominan tidak bisa menjelaskan kisah sukses Timor Leste, lalu apa yang bisa menjelaskannya?
Melihat lebih dekat aktor-aktor politik yang muncul dari perjuangan kemerdekaan dapat membantu.
Pertama, karena Fretilin dan CNRT – dua partai politik dominan – memiliki akar yang kuat dalam perjuangan melawan pendudukan Indonesia, keduanya mempunyai legitimasi rakyat yang tinggi.
Namun tidak seperti gerakan pembebasan kolonial lainnya, mereka selalu berkomitmen tinggi secara ideologis terhadap demokrasi liberal.
Hal yang sama tidak berlaku pada beberapa tokoh kemerdekaan pasca-kolonial seperti Gamal Abdel Nasser dari Mesir atau Robert Mugabe dari Zimbabwe.
Selain itu, fakta bahwa tidak ada faksi politik yang hegemonik dalam lingkup politik Timor Leste terbukti menjadi keuntungan bagi masa depan negara tersebut.
Di negara-negara lain, para pemimpin dan gerakan kemerdekaan secara efektif memonopoli perwakilan politik, sehingga memudahkan terbentuknya sistem otoritarian.
Sebaliknya, sifat gerakan kemerdekaan Timor Leste yang terfragmentasi mendorong para aktor untuk mencari lembaga-lembaga politik yang tidak bersifat pemenang-ambil-semua.
Ketakutan akan kepresidenan yang kuat atau parlemen dengan mayoritas yang tidak proporsional sangatlah kuat.
Lagi pula, tidak ada politisi yang mau mengambil risiko dikesampingkan dalam beberapa tahun pertama setelah kemerdekaan.
Sebaliknya, kekuatan politik Timor Leste memilih sistem semi-presidensial di mana presiden yang relatif lemah harus berhadapan dengan parlemen kuat yang dipilih melalui perwakilan proporsional.
Meskipun pemerintahan koalisi kadang-kadang terpecah, sistem ini sangat stabil, dan partai-partai politik selalu tunduk pada kekalahan dalam pemilu, salah satunya karena mereka yakin akan ada peluang untuk merebut kembali kekuasaan di masa depan.
Tentu saja, dalam konteks pasca-konflik, dan khususnya ketika akses terhadap sumber daya alam dipertaruhkan, aktor-aktor eksternal sering kali berupaya untuk mempengaruhi hasilnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.