Berita NTT
Hakim MK Asal NTT Setujui Usulan Capres - Cawapres Pernah Kepala Daerah
berbagai pertentangan dilakukan yang menilai hakim melanggar prosedur dengan menambah klausal pasal tersebut.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso
Sejak 1985 Daniel Foekh menjadi mahasiswa dan aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang hingga lulus pada 1990.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terbit membuatnya terjun ke hukum tata negara.
Baca juga: PWI NTT dan Pj Gubernur Ody Kalake Diskusikan Soal Kompetensi Wartawan Hingga Indeks Kebebasan Pers
Pada 1991 dia coba mengikuti tes wartawan professional di Yogyakarta namun tidak lolos. Ia lalu merantau ke Jakarta dengan tabungan dari sisa beasiswanya.
Daniel kemudian bekerja di sebuah perusahaan dan aktif mengikuti berbagai penataran yang ditugaskan GMKI dan membuatnya makin mengenal Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tinggal Ika.
Daniel Foekh selanjutnya menjalani pendidikan Strata dua Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Indonesia pada 1995.
Kuliahnya berlangsung saat krisis moneter dan memasuki reformasi pada 1998. Pembimbing tesisnya adalah Prof. Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Asisten Kesra Wakil Presiden.
Daniel sempat mendapat kesempatan dan tawaran menjadi hakim saat hendak menyelesaikan pendidikan S3 sejak 2005 sampai 2010 namun selalu ditolak dengan beberapa pertimbangan.
Pada 2019 ia mengiyakan dorongan sang istri dan saudaranya untuk mendaftar pembukaan seleksi hakim MK. Dengan makalah 15 halaman berjudul 'MK Yang Ideal' Daniel pun mendaftarkan diri dan akhirnya menjadi hakim konstitusi mewakili unsur presiden.
Daniel Foekh sendiri ingin mengubah sistem hukum tata negara darurat Indonesia yang semula merupakan hukum tata negara darurat subjektif menjadi hukum tata negara darurat objektif.
Daniel Foekh menginginkan MK memiliki kewenangan untuk menilai persyaratan kegentingan yang memaksa dalam Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu).
Menurut Daniel sebaiknya MK tidak menguji Perpu-nya, tetapi persyaratan ‘kegentingan yang memaksa’.
Dalam sidang persyaratan pendaftaran capres-cawapres itu terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Empat hakim ini yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Selepas keputusan MK itu, berbagai pertentangan dilakukan yang menilai hakim melanggar prosedur dengan menambah klausal pasal tersebut. Sebab, dinilai sarat kepentingan dan punya potensi kontroversial berkepanjangan.
Adapun putusan yang dimaksud adalah putusan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dikabulkan sebagian pada Senin, 16 Oktober 2023.
Gugatan ini dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru. Dalam gugatannya, pemohon menyinggung sosok Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.