Berita Nasional
Mendagri Sebut Beras Sumber Penyakit Diabetes, Minta Masyarakat Makan Jagung, Talas dan Sagu
Tito Karnavian meminta masyarakat untuk beralih konsumsi beras dengan makanan jagung, talas maupun sagu.
Dia memastikan stok beras yang dikelola pemerintah aman dan akan terus diperkuat, terlebih dalam menghadapi kekeringan sebagai dampak El Nino.
Baca juga: Kurangi Ketergantungan Beras, Penjabat Bupati Lembata Matheos Tan Imbau Warga Makan Pangan Lokal
"Kenapa harus dibatasi? Ini karena beras SPHP harganya telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.900 per kilogram dan setiap rumah logikanya cukup dengan 2 pack. Apalagi kualitas beras SPHP Bulog ini berkualitas premium," ucap dia.
"Tentunya masyarakat kami ajak bersama untuk senantiasa berbelanja bijak, yang artinya sesuai dengan kebutuhan, tidak perlu belanja berlebihan di atas kebutuhan normal," sambungnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras di tingkat konsumen secara bulanan (month to month/mtm) mengalami peningkatan 5,61 persen pada September 2023.
Diketahui, rata-rata harga beras di tingkat eceran pada Agustus 2023 senilai Rp 13.058 per kilogram, sedangkan pada September 2023 naik menjadi Rp 13.799 per kilogram.
Inflasi beras secara bulan ke bulan merupakan tertinggi sejak Februari 2018. Bahkan, jika dilihat secara tahun ke tahun alias year on year (yoy) inflasi harga beras meroket sangat tinggi yakni 18,44 persen.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, harga beras kemungkinan besar akan sulit menyusut.
Baca juga: Harga Beras Melonjak, Bulog Ruteng Segera Operasi Pasar Murah
"Harga beras diproyeksi masih sulit turun hingga musim panen raya Maret-Juni 2024 mendatang," ucap Bhima.
Pengamat milenial tersebut mengungkapkan, setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi pergerakan harga beras. Pertama, El-Nino mulai berdampak pada kekeringan lahan di daerah sentra produksi beras.
Kedua, negara mitra dagang impor beras sedang melakukan pembatasan ekspor, memicu harga beras dipasar internasional naik.
Kalaupun ada impor, harganya sudah pasti mahal dan akan diteruskan ke konsumen. Ketiga, produksi beras trennya terus turun akibat kebijakan pangan yang bermasalah dan kurang antisipatif.
Keempat, alokasi anggaran subsidi pupuk dalam beberapa tahun terakhir terus dipangkas. Bahkan di 2024, anggaran subsidi pupuk hanya Rp26 triliun.
"Alasan kelima, petani dalam kondisi saat ini cenderung menyimpan gabahnya dibanding menjual sebagai antisipasi harga beras yang terus meningkat. Akibatnya ada gangguan pasokan di hulu," papar Bhima.
Ia pun mendorong Pemerintah untuk mengambil sikap untuk menurunkan harga beras di Tanah Air. Menurut Bhima, Pemerintah bisa turunkan harga beras dengan mengeluarkan seluruh stok yang ada di gudang Bulog.
Meski terbatas, seluruh pasokan harus masuk ke pasar, dengan tentu kerjasama pedagang ritel.
"Upaya lainnya, di berbagai daerah yang defisit neraca beras, harus segera dorong peralihan ke subsitusi pangan seperti jagung, singkong, ubi, sorgum dan sagu," papar Bhima.
"Ini semua perlu support anggaran, alokasi sektor pertanian dalam APBN 2024 perlu direvisi lagi, setidaknya naik 35 persen," pungkasnya. (tribun network/bel/ism/wly)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.