Kawin Tangkap di Sumba

Antropolog Pater Doni Kleden Sebut Tradisi Kawin Tangkap di Sumba Sudah Tak Relevan Lagi

Melihat tradisi kawin tangkap tidak lagi mencerminkan memenuhi kebutuhan manusia tetapi justru melanggar hukum dan HAM

Penulis: Petrus Piter | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
TIDAK RELEVAN - Antropolog dari Universitas Katolik Weetabula, Sumba Barat Daya, NTT, Pater Doni Kleden mengatakan budaya kawin paksa sebagaimana terjadi di Pulau Sumba dan beberapa daerah lain di NTT sudah tidak relevan lagi sesuai kondisi sekarang. Konteksnya sudah berubah dan kebutuhan sudah berubah pula. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Petrus Piter

POS-KUPANG.COM, TAMBOLAKA - Antropolog dari Universitas Katolik Weetabula, Sumba Barat Daya, NTT, Pater Doni Kleden mengatakan, budaya kawin tangkap sebagaimana terjadi di Pulau Sumba dan beberapa daerah lain di NTT sudah tidak relevan lagi sesuai kondisi sekarang.

Konteksnya sudah berubah dan kebutuhan sudah berubah pula. Budaya berubah sesuai kebutuhan manusia. Salah satunya adalah kebutuhan menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebab fungsi budaya adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Melihat tradisi kawin tangkap tidak lagi mencerminkan memenuhi kebutuhan manusia tetapi justru melanggar hukum dan HAM. Kebutuhan manusia sekarang berubah termasuk kebutuhan menentukan pilihan jodohnya.

Baca juga: Tokoh Adat Kampung Bondo Kabombu Minta Kawin Tangkap Tidak Boleh Terjadi Lagi

Menurut lulusan Studi Master Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada, peneliti budaya Sumba sejak tahun 2011 dan kini menjabat sebagai Dekan FKIP Universitas Katolik Weetabula, Sumba Barat Daya, NTT, pada konteks zaman dahulu, kawin tangkap  sah secara adat. Sekarang zaman sudah berubah dan kebutuhan sudah berubah pula termasuk kebutuhan menentukan jodohnya.

Disebutkan budaya itu adalah sebuah kesepakatan. Misalnya dalam tradisi belis adat adat istiadat perkawinan Sumba adalah kuda, kerbau dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman ke depan, budaya belis bisa saja berubah seiring kebutuhan zaman dan bukan lagi kuda dan kerbau serta lainnya.

"Karena itu menjadi tugas bersama kita semua, baik pemerintah, lembaga agama, LSM dan berbagai elemen masyarakat daerah ini harus gencar melakukan sosialisasi hingga menyasar semua masyarakat yang tinggal di kampung-kampung  dan daerah terpelosok sekalipun bahwa kawin tangkap sudah tidak relevan lagi dan sudah tidak dibenarkan lagi karena melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM)," ujar Pater Doni Kleden, Sabtu 9 September 2023.

Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, Yohanis Bili Tanggu Mengaku Ikut Perjodohan Orang Tua

Sebab masih banyak orang tua yang hidup dipelosok  kampung-kampung masih berpegang teguh pada budaya adat istiadat, kawin tangkap masih sah secara adat. Hal itu karena warga tidak mendapatkan pencerahan atau pandangan-pandangan positip dari pemerintah, lembaga agama dan lain-lain bahwa kawin tangkap tidak relevan dengan kondisi sekarang melanggar hukum dan HAM.

Dengan demikian, aksi kawin tangkap tidak kembali terjadi di Pulau Sumba baik Sumba  Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur.

Menurut Pater Doni Kleden, mengamati kawin tangkap di Pulau Sumba terjadi dengan beberapa alasan pertama kawin tangkap terjadi karena antara  perempuan dan laki-laki saling mengetahui tetapi salah satu  pihak dalam hal ini pihak perempuan tidak setuju.

Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, Ibu Korban Minta Maaf  dan Serahkan Keputusan kepada Anaknya

Selain itu kawin paksa terjadi dimana kedua orang tua saling mengetahui tetapi anak perempuan tidak tahu dan kawin paksa terjadi dimana kedua belah pihak orang tua saling mengetahui termasuk anak perempuan dan laki-laki juga saling mengetahui tetapi merancang terjadinya kawin tangkap. Pada tataran ini, para pihak ingin menunjukan kekuatanya bisa menangkap anak perempuan orang dan siap membayar mahar berapapun dituntut pihak perempuan.

Namun seiring perubahan zaman maka perkawinan tangkap itu tidak boleh terjadi lagi dengan alasan apapun. Sebab perbuatan itu melanggar kebebasan seseorang, hukum dan HAM. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lain di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved