Data Terpilah Profil GEDSI Penting untuk Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu memiliki data Terpilah terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT.

|
SCREENSHOT/POS KUPANG
LOKAKARYA PROFIL GEDSI - lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi. Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan During. 

POS KUPANG.COM, KUPANG - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu memiliki data Terpilah terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT.

Hal ini terungkap dalam lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi.

Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Badan Perencanan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda) NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan online.

Hadir dalam kesempatan itu berbagai undangan dari unsur dari Pemerintah, LSM, lembaga agama dan akademisi dari tingkat provinsi dan empat kabupaten sasaran kajian yakni Kabupaten Belu, Sumba Barat Daya, Alor, Manggarai Barat.

Lokakarya ini menyajikan dan mendiskusikan draft kajian konteks sosial dan ekonomi di masyarakat yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan individu dan Masyarakat di mana dia berada.

Harapannya, profile yang dihasilkand alam lokakarya ini dapat dipergunakan dalam pengembangan kebijakan dan program ketahanan kesehatan yang responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat dari berbagai kelompok.

Kelompok dimaksud, baik perempuan maupun laki-laki dari berbagai kelompok usia (anak-anak, dewasa atau lansia), kondisi fisik (disabilitas dan non disabilitas), lokasi geografis, suku, agama dan kondisi lainnya.

LOKAKARYA PROFIL GEDSI - lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi. Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan During.
LOKAKARYA PROFIL GEDSI - lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi. Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan During. (SCREENSHOT/POS KUPANG)

Dua peneliti yakni Konsultan Reni Maghi dan Juliana Ndolu, membeberkan sejumlah data terkait Profil GEDSI yang diteliti di sejumlah kabupaten di NTT.

Profil GEDSI ini mengumpulkan data terkait penduduk, pekerjaan, kesehatan, danadat yang ada di NTT dalam satu dokumen, denganf oku spada wilayah yang menjadi tempat kerja AIHSP, seperti Kabupaten Belu, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Barat.

Reni Maghi menjelaskan, data-data ini diolah dengan fokus pada data pilah jenis kelamin, usia dan disabilitas dalam berbagai aspek. Hal ini dilakukan demi mendapatkan gambaran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Beberapa hal yang menarik, demikian Reni Maghi, seperti Data BPS pada tahun 2022, jumlah penduduk NTT adalah 5,466,365 dengan persentase laki-laki 49,90 persen dan perempuan  49,10 persen.

"Menariknya, dari persentase ini, usiap produktif perempuan 50,28 persen dan laki-laki 49,12 persen. Namun patisipasi angkatan kerjanya lebih sedikit dibanding laki-laki yakni perempuan 45,88 persen dan laki-laki 54,12 persen," katanya.

Lebih lanjut dikatakan Reni Maghi, banyak perempuan melakukan pekerjaan tak berbayar dibanding laki-laki. Yakni perempuan 70,85 persen dan laki-laki 29,15 persen. Salah satunya adalah pekerjaan mengurus rumah tangga sebesar 83,82 persen.

Kepala Rumah Tangga (KRT) Perempuan di NTT sebanyak 1.183.251, mayoritas memiliki beban ganda, aset produksi terbatas, tanggungan dalam rumah tangga, kesulitan mengakses modal sehingga sulit mengembangkan usaha.

Tahun 2017 tercatat 120,876 anak dan 33.939 balita terlantar, sehingga migrasi yang diimingkan dapat meningkatkan ke terpenuhan kebutuhan rumah tangga seringkali menimbulkan lebih banyak persoalan baru. Keluhan kesehatan perempuan di beberapa lokasi dan waktu sering lebih tinggi dari laki- laki sepanjang tahun 2019–2021.

Sementara itu, Juliana Ndolu menjelaskan, angka kesakitan mulai menurun di tahun 2022 dengan terkendalinya pandemic COVID-19.

PTD Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak NTT mencatat tahun 2022 terjadi 779 kasus kekerasan terhadap anak (KTA), perempuan 611 orang, Laki-laki 168 orang, mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak perempuan. Sebanyak 802 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa (KTP), mayoritas kasus KDRT.

"Saat Pandemi COVID-19 KTP meningkat 50 persen, namun mereka kesulitan mengakses layanan akibat pembatasan," kata Juliana Ndolu.

Pada saat bencana Seroja tugas perempuan semakin berat untuk memastikan ke terpenuhan kebutuhanrumah tangga, sehingga rentan terhadap masalah kesehatan termasuk kesehatan reproduksi. Keamanan perempuan juga terganggu karena tempat tinggal yang tidak aman.

Saat Pandemi COVID-19, perempuan lebih taat menjalan protokol kesehatan dibandingkan laki- laki. Lebih banyak perempuan atau 76,2 persen mendapatkanvaksin dengan kesadaran sendiri dibandingkan dengan laki-laki  atau 70,0 persen persen.

LOKAKARYA PROFIL GEDSI - lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi. Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan During.
LOKAKARYA PROFIL GEDSI - lokakarya sehari terkait Profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di NTT, Rabu (30/8) pagi. Lokakarya ini digelar oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait di Aston Hotel Kupang, secara ofline dan During. (SCREENSHOT/POS KUPANG)


 "Situasi ini dipengaruhi oleh peran perempuan sebagai penanggung jawab perawatan kesehatan keluarga, sehingga mereka lebih banyak mengakses informasi kesehatan . Anak-anak, Lansia dan difabel kurang mendapatkan akses vaksin karena kurangnya pendataan yang lengkap dan kesulitan menjangkau tempat vaksin," jelas Juliana Ndolu.

Terkait kesehatan hewan dan masyarakat, jelas Juliana, ternak Babi merupakan hewan piaraan yang penting dalam kehidupan masyarakat NTT. Umumnya ternak babi dipelihara disekitar rumah dan mayoritas perempuan bertanggungjawab dalam pemeliharaan. Mulai dari membersihkan kandang, menyiapkan dan memberi makan, membeli obat dan memanggil vaksinator untuk vaksin ternak, dikerjakan oleh perempuan.

Saat penyakit ASF/ Flu babi,  demikian Juliana Ndolu, NTT kehilangan sekitar 500.000-an babi dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Semahalnya dengan kasus kehilangan pekerjaan akibat COVID 19. Kerugian ini dapat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga, kesehatan, nutrisi kesehatan ibu hamil dan anak (stunting), bahkan konflik dalam rumah tangga atau kekerasan.

Pemeliharaan ternak umumnya dilakukan secara tradisional dengan pengetahuan yang terbatas soal kesehatan hewan dan manusia. Sebagai contoh, tidak adanya pengetahuan tentang biosekuriti kandang ternak dan peternakan semi intensifmembuatwabah ASF cepat sekali menyebar

Dalam hal rabies, Anjing merupakan hewan pelindung manusia dan penjaga aset keluarga dan komunitas. Umumnya lebih banyak perempuan berperan dalam pemeliharaan anjing, terutama dalam memberi makan atau merawat anjing sakit.

Anak merupakan kelompok yang senang bermain dengan anjing termasuk memprovokasi anjing (terutama anak laki- laki) . Perempuan merupakan perawat utama dalam keluarga ketika anak tergigit anjing. Saat kasus penyakit anjing rabies merebak di TTS, jumlah korban gigitan anjing 1.092 orang mayoritas pada kelompok anak. Terdapat 6 orang meninggal, 1 dewasa dan 5 orang anak (L: 4, P: 2).

Masih banyak kelompok yang belum terpapar informasi tentang rabies di masyarakat, terutamad alam hal penanganan gigitan dan interpretasi seberapa parah gigitan anjing Informasi untuk pencegahan rabies belum secara cermat mempertimbangkan detil informasi yang dapat dipahami masyarakat, media yang sesuai dengan kelompok sasaran, serta bahasa yang digunakan dalam keragaman etnis dan bahasa yang ada.

Kesimpulan dari lokakarya itu, bahwa konstruksi sosial atas peran perempuan danlaki-laki, anak-anak dan orang dewasa, difabel dan non difabel turut mempengaruhi akses dan pengalaman yang berbeda dalam hal pendidikan dan pekerjaan, kesehatan, kerentanan terhadap penyakit.

"Partisipasi kerja perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, dan dominasi ranah kerja perempuan di sektor tak berbayar dan perawatan keluarga memposisikan mereka sebagai pihak yang banyak terpapar penyakit ketika melakukan aktivitas untuk perawatan keluarga dan rumah tangga, termasuk dalam perawatan hewan peliharaan atau ternak," katanya.

Selanjutnya, perempuan dan anak-anak pun menjadi lebih rentan terhadap penyakit pada masa pandemi COVID-19, bencana Seroja, dan tertular penyakit dari hewan akibat aktivitas dan peran mereka di masyarakat.

Kondisi dan risiko yang muncul akibat perbedaan jenis kelamin dan usia ini mendorong perlunya ke tersediaan data terpilah secara jenis kelamin, usia, jenis disabilitas, dan kelas sosial yang bisa membantu pembuat kebijakan untuk memahami permasalahan dan kebutuhan masing-masing kelompok dan menanggulangi berbagai permasalahan secara efektif dan tepat sasaran

"Media informasi dan cara komunikasi bagi kelompok yang berbeda tentang kesehatan hewan dan kesehatan manusia dibutuhkan secara berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing kelompok masyarakat. Serta pentingnya melibatkan perwakilan target sasaran dalam penyusunan materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang inklusif," jelasnya.

Lebih lanjut Juliana menyarankan agar bisa dikumpulkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia dan dissabilitas sebagai basis analisis dalam mengembangkan kebijakan pembangunan terutama Pembangunan ketahanan kesehatan di NTT.

"Contohnya dalam konteks data korban rabies dibuat terpilah berdasar jenis kelamin dan usia agar dapat diketahui siapa yang paling rentan menjadi korban dan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut," katanya.

Berikutnya, melibatkan kelompok perempuan, anak, disabilitas, agama, masyarakat pesisir/ terluar, kelompok miskin dalam merencanakan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok tersebut.

Contohnya, rencana kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat untuk korban rabies harus menyasar pada perempuan dan anak-anak karena korban gigitan terbanyak adalah anak.

"Juga perlu menyiapkan informasi kesehatan yang tepat sasaran sesuai dengan bahasa dan media yang dipahami kelompok tertentu, dengan melibatkan komunitas yang ada di masyarakat. Misalnya komunitas sekolah, gereja, komunitas RT atau desa dan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam komunitas etnis yang berbeda maupun dalam kelompok berkebutuhan khusus," katanya.

 

* Penting Pahami Budaya Masyarakat

Pimpinan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), John Leigh dalam kesempatan itu mengatakan, hasil penilaian profil GEDSI di NTT sangat penting. Dijelaskannya, tahun 2021 lalu, ada 4 provinsi yang ditargetkan untuk dilakukan penilaian profil GEDSI. Namun hingga kini di NTT belum dilakukan dan baru akan dilakukan saat ini.

Meski demikian, Joh Leigh memastikan bahwa profi GEDSI itu akan segera selesai dilakukan. "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," kata John Leigh.

Menurut John Leigh, profil GEDSI menjadi penting dilakukan agar bisa diidentifikasi terkait kelompok berbeda yang ada di masyarakat guna memastikan agar mereka tidak termarginalisai atau terekslusifkan.
John menilai saat covid 19, pemerintah Indoensia telah melakukan tugas dengan baik dalam program vaksinasi.

"Banyak masyarakat Indoensia yang sudah divaksin Tapi kami temukan, masih ada masyarakat dari kelompok tertentu yang belum mendapatkan vaksin," kata John Leigh.

Seperti organisasi penyandang disabilitas. Sehingga kita dapat pastikan sekian banyak penyandang disabilitas yang tercakup program vaksinasi itu penting sekali," katanya.

John Leigh, Pimpinan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP)
John Leigh, Pimpinan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) (screenshot/pos kupang)

 

Dengan adanya analisis itu, bisa dilihat dampak kerugian yang dialami masyarakat kelompok rentan, lansia, perempuan, atau kelompok lainnya yang dapat mengalami kerugian atau dampak yang kurang menyenangkan.

"Karenanya kita perlu melihat dinamikanya dan bisa menentukan apa yang mesti diperhatikan untuk penanganannya," katanya.

Lebih lanjut John Leight mengatakan, dia melihat kelompok kepala rumah tangga perempuan lebih rentan dibandingkan laki laki di masyarakat tertentu. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor. Misalnya adanya kepercayaan, tradisi dan lainnya.

"Karenanya penting bagi kita utuk memahami pahami budaya ada aspek budaya yang patut kita lestarikan. Tapi ada juga yang harus diperhatikan lebih lanjut untuk pastikan adanya tatanan yang lebih baik," saran John Leigh.

John Leigh mengaku pernah melihat fakta beberapa tahun lalu saat dia berkunjung ke NTT.  "Saat program kesehatan bagi ibu hamil, saya lihat ada beberapa ibu hamil yang harus terpaksa ke lapanagan, di tengah panas dan ada kondisi lainnya. Tentu hal ini tidak memberikan dukungan kesehatan bagi ibu hamil. Karenanya penting sekali melakukan kerjasama dengan pemuka agama, masyarakat untuk mendorong kepentingan diri sendiri dan kesehatan pribadi.

Menurut John Leigh, analisa dalam lokakarya itu adalah analisa yang penting dan detail. Karenanya, pihak terkait harus mempertimbangkan hasil analisis. "Dan jika ada perencanaan, kita pikirkan juga hasil dari analisis ini. Sehingga semua laporan masyarakat dapat memperolah akses yang baik di bidang kesehatan," kata John Leigh.

Dengan demikian, setiap orang dapat melindungi diri dari dampak buruk bagi kesehatan. "Masyarakat memiliki banyak perbedaan karena itu perlu disesuaikan dengan apa yang kita lakukan bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saya harapkan Pak Alfons dari Bapelitbanda NTT bisa mendukung. Semoga analisis ini bisa membantu dan berguna bagi Bapak," harap John Leigh.

 

Bekerja dengan Baik

Kepala Badan Perencanan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda) NTT, Alfonsus Theodorus mengatakan, profil GEDSI adalah langkah cerdas untuk mengatasi masalah di NTT. Menurut Alfonsus Theodorus, Bappeda NTT sangat serius menangani persoalan masyarakat di NTT.

Di sektor perencanaan, kata Alfonsus Theodorus, keterlibatan pihak terkait perlu dilakukan.

Dr. Ir.Alfonsus Theodorus, MT,
Dr. Ir.Alfonsus Theodorus, MT, (Pos Kupang.com, Ferry Ndoen)


"Kita bicara serius untuk bisa menyukseskan program ini. Dan hal ini juga bagian dari kolaborasi yang baik dengan AIHSP. Pendataan kita lakukan dengan baik sehingga akhirnya kehadiaran AIHSP di NTT dengan langkah yang sudah dilakukan, betul-betul bisa menjawab seluruh kebutuhan daerah," harapnya.

Menurut Alfonsus Theodorus, lokakarya ini menjadi bagian untuk mendapatkan hasil terbaik guna mengumpulkan data untuk menyusun profil GEDSI. Apalagi dalam lokakarya ini telah melibatkan Garamin, difabel sehingga mampu menyelesaikan persoalan di NTT bisa diselesaikan dengan cepat.

"Selesaikan dengan cepat. Yang sulit dicegah adalah waktu. Bekerja dengan baik, kolaborasi dengan baik sehingga hasilnya akan baik," optimis Alfonsus Theodorus. (vel)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved