Opini
Opini Marsel Robot: Ereksi Elit Partai Politik
Ia adalah presiden yang menjinakkan oposisi dengan cara menyelingkuhkan kawan dengan lawan dalam Kabinet Indonesia Maju.
POS-KUPANG.COM - Libido kekuasaan elit partai politik, belakangan mengalami ereksi yang tak tertahankan.
Bahkan, mengalami ejakulasi dini dimulai 3 Oktober 2022 lalu, ketika Partai Nasional Demokrat (NasDem) mencalonkan Anies Baswedan sebagai presiden Republik Indonesia tahun 2024. Padahal, ejakulasi dini selalu mengecewakan.
Setidaknya, alogaritma politik Surya Palloh mulai mengalami kerusakan atau dirusakkan dan kemesrahan dengan pemerintah mulai berantakan.
Walau, pada pihak lain, ejakulasi dini NasDem justru menyedot libido Partai Demokrat, Partai berlambang mercy itu begitu lebay mendekati NasDem dengan sejumput harapan yang merindang di hati Bambang Yudhoyono kiranya Agus Harimurti Yudhoyono bisa sepelaminan dengan Anies Baswedan.
Ereksi di ruang sosial pun kian menderas dan balepotan di sana-sini seakan menekan partai politik. Karenanya, sejumlah partai politik mengalami birahi serius.
Bayangkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terkesan kalem dalam keriuhan dan ingin bermain santai, terangsang juga.
Lantas,mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024. Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah lama turun-naik gunung menggelar silaturahmi, sebuah diksi alkitabiah untuk mengemas libido kekuasaan itu.
Baca juga: Opini Arnoldus Wea: Human Trafficking dan Sektor Informal NTT
Golkar bagai mengalami gangguan jiwa, terlihat autis, mondar-mandir, tak betah, dan sulit menentukan bukit untuk meniupkan nafiri politiknya. Keadaan itu justru mengancam Airlangga Hartarto untuk dipecat melalui algojo musyawarah luar biasa (munaslu).
Lantas, apa yang kita dapatkan dari konser elit politik atau kesibukan para elit politik mencari perselingkuhan untuk melapiaskan libido kekuasaannya itu? Jawaban setiap kita boleh berbeda.
Tentu, sesuai pengalaman dan ensiklopedik (ketersedian pengetahuan) kita untuk menafsirkan informasi dari ekspresi para perindu kekuasaan atau para pendamba jabatan itu. Toh, hemat saya yang fakir atau kafir ilmu politik ini boleh berpendapat.
Pertama, sepanjang dua tahun terakhir ini konser elit partai memperlihatkan betapa besarnya libido untuk berkuasa. Sangat kelihatan, raut wajah pemerintahan hanya sekadar persengkongkolan para elit partai untuk meraih kekuasaan.
Persis kata Megawati, ketika menetapkan Ganjar Pranowo sebagai capres, bahwa presiden adalah petugas partai. Terkesan, negara ini kepunyaan segelintir orang.
Lihatlah pemandangan yang amat getir. Mereka melakukan safari, lobi di sana- sini, memamerkan makanan mewah di hotel megah.
Padahal, rakyat hidup dalam serba kesulitan dan perekonomian negara mengalami pendaraahan berat. Sungguh sebuah konser keserakahan.
Kedua, hal yang paling menggetarkan dan menggetirkan sekaligus bahwa politik akomodatif Presiden Joko Widodo membawa buah simalakama (maju mati mama, mundur mati bapa).
Baca juga: Opini Frits Fanggidae: Ihwal Hutang Pemprov NTT Rp 1 Triliun
Ia adalah presiden yang menjinakkan oposisi dengan cara menyelingkuhkan kawan dengan lawan dalam Kabinet Indonesia Maju.
Prabowo dan Sandiaga Uno yang menjadi rival berat Jokowi pada periode pencalonan presiden sebelumnya malah dihela ke dalam ruang rangsang perselingkuhan itu.
Hilangnya rival yang generik itu justeru memunculkan rival dari bandit-bandit berlabel akademis seperti Rocky Gerung, si bajingan tolol itu.
Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, ia boleh memfitnah dan mencaci pemerintah. Ia sengaja tidak mengeja perbedaan antara mengeritik dan menghina. Gerung justru membangkrutkan demokrasi sekadar memaki-maki.
Dan ia sangat popular karena kemampuan mencaci-maki Presiden Jokowi. Gerung effect kian massif. Sekarang, siapapun boleh menghina atau memaki pemimpinnya.
Mulailah masyarakat kita hidup dalam era jahiliah di mana bahasa bukan lagi modus ungkap peradaban.
Model akomodasi Jokowi, semula begitu mesrah. Namun, dua tahun menjelang akhir masa jabatannya, politik akomodatif persis memelihara kalajengking di kasur pengantin Kabinet Indoesia Maju. Kelihatan misalnya, hari-hari ini, para pejabat perlahan mendua.
Baca juga: Opini - Masa Depan Cryptocurrency dan Teknologi Blockchain di Indonesia
Bahkan, meninggalkan Jokowi dengan cara masing-masing. Rasa genit tadi,mulai terasa pahit. Muncul kosa kata cinta, “itu dulu, Bung, ke depan lain, Bang”.
Jokowi terposok di jalan licin yang dibuatnya. Atau memang, sengaja ia dibuatkan jalan licin itu untuk keperluan tertentu. Setidaknya, Pak Jokowi merival dengan dirinya. Pak Jokowi mengalami penderitaan atau minimal vertigo (sakit kepala sebelah).
Sebab, ia berdiri pesimpangan jalan lincin itu (Prabowo atau Ganjar, atau yang lainnya). Prabowo yang telah membantunya selama hampir 5 tahun. Ia telah menunjukkan loyalitas yang begitu latah terhadap Pak De (Jokowi). Bahkan, Prabowo dipandang orang yang paling tepat meneruskan program raksasa Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sedang diributkan oleh sebagian masyarakat, terutama oleh Rocky Gerung, si bajingan tolol itu.
Tentu, termasuk urusan tengik lainnya. Karena itu, Prabowo kelihatan santai menghadap pemilu presiden 2024 ini. Seperti ada sesilir angin berhembus dari jendela surga yang menggelembungkan optimisme. Semakin dia santai, semakin misteri pula misi perjuangannya.
Rupanya, Airlangga Hartarto (Golkar) dan Budiman Sudjatmiko (PDIP) cukup pandai membaca larik-larik puitik politik yang menghubungi Prabowo dengan Jokowi. Tak terbayangkan misalnya, Budiman Sujatmiko yang dibesarkan sejak ingusan di PDIP, berpaling dan menuju Prabowo.
Hal yang sama dilakukan Arilangga Hartarto, loyalitas Pak De dengan jabatan menteri paling strategis. Lalu, Airlangga angkat koper menuju Prabowo.
Terasa memang, dan memang terasa, tahun 2023 ini angin di istana kian tengik. Kursi-kursi di kantor kelihatan berantakan. Sebab, para menteri atau pejabat yang tak lain petugas partai itu lebih banyak waktu di luar kantor untuk melakukan manuver.
Mereka perlahan menghela pelampung di bawah kursi untuk dipakai menyelamatkan diri pasca Jokowi. Nah, perangai yang paling baik saat ini ialah “bermuka dua” (muka-belakang alias muka semua). Sebab, badai politik yang halus itu lebih dasyat daripada badai lautan.
Dasar manusia miskin. Semakin kaya, malah semakin merasa miskin. Semakin menjabat, semakin merasa hina dina. Padahal, jabatan sekadar aksesoris duniawi. Atau mungkin terlanjur menjadikan jabatan sebagai eksistensi atau modus eksistensi kemanusiaan.
Akibatnya, martabat dimutasikan ke jabatan. Itulah sebabnya, mereka sangat gelisah bila kehilangan jabatan. Inilah kesialan eksistensial yang paling mengerikan.
Baca juga: Opini Marianus Kleden, Kesembronoan Rocky Gerung
Bayangkan, yang pulang penjara karena korupsi, malah dengan senyum dikulum masuk lagi partai dan mendapat jabatan strategis.
Ada pula yang dicalonkan lagi menjadi walikota. Ini bukan kekeliruan, tetapi keterlaluan. Artinya, sebodoh-bodohnya rakyat tidak sebodoh orang-orang ini. Semiskin-miskinnya rakyat tidak semiskin Mahkama Agung, DPR, Menteri, pejabat. Dari sini pula, ketahuan, pemimpin kita telah kehilangan watak karitatifnya. Mereka seakan tidak perlu mengetahui harga beras semakin naik.
Mereka tidak perlu mengetahui, rakyat hanya makan sekali dalam sehari. Mereka tak perlu mengetahui harga kebutuhan pokok yang terus merayap naik ke bukit penderitaan.
Lantas siapakah rakyat? Penyair Hartoyo Andangjaya menjawab lirih.
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja. (Penulis adalah Dosen Undana Kupang dan Budayawan)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.