Opini

Opini Theresia Siti: Independensi Perempuan Dalam Menentukan Hak Pilih pada Pemilu 2024

Pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan akan segera kita laksanakan. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh pegiat demokrasi.

Editor: Alfons Nedabang
KOMPAS.COM/PRIOMBODO
Ilustrasi Pemilu. Aktivis Rumah Perempuan Kupang, Theresia Siti menulis opini Independensi Perempuan Dalam Menentukan Hak Pilih pada Pemilu 2024. 

POS-KUPANG.COM - Pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan akan segera kita laksanakan. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh setiap pegiat demokrasi-politik di negeri demokratis. Inilah kesempatan setiap warga negara mengaktualisasikan dirinya sebagai homo politics.

Inilah saatnya para politisi berpetualang dan melalang buana ke setiap tempat, lembah dan bukit, kampung dan kota. Inilah momen perjumpaan antara warga negara sebagai pemilih dengan kandidat pejabat negara. Inilah momen rakyat disembah, dipertuan-agungkan para politisi.

Diskursus-diskursus tentang nilai-nilai demokrasi berlangsung di mana-mana. Wacana-wacana politik bersih dan sehat menjadi ide-ide yang tak berkesudahan.

Kata-kata partisipasi, independen, no money politic, tolak SARA, berseliweran di setiap ruang dan waktu. Kata-kata tersebut seolah-olah menjadi kata-kata magis yang terkadang hanya menjadi angin lalu bagi sebagian warga dan politisi.

Di sisi lain, kata-kata tersebut menjadi nilai yang harus dan terus diperjuangkan demi tegaknya demokrasi yang bersih dan sehat.

Baca juga: Opini Yohanes Mau: Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas

Independensi perempuan sebagai pemilih dalam pemilu 2024 menjadi satu agenda penting untuk diperjuangkan. Perjuangan akan independensi perempuan adalah bentuk dukungan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.

Independensi perempuan adalah wujud otonomi perempuan untuk menentukan pilihannya.

Perempuan berhak untuk menentukan pilihanya sendiri tanpa ada tekanan dari berbagai pihak baik dalam ranah privat maupun publik.

Tantangan Independensi Pemilih Perempuan

Jika merujuk pada potret fenomena sosial selama ini, perempuan tidak hanya tersisih dalam kelas sosial tetapi juga terpinggirkan dalam menentukan sikap politiknya.

Sebagai pemilih, pilihan perempuan lebih dikendalikan oleh laki-laki atau pemimpin di komunitasnya, ditentukan oleh orang tua, ditentukan oleh suami, dan otoritas yang lebih berkuasa.

Hal ini diperparah lagi dengan kurangnya kesadaran kelompok laki-laki untuk turut serta mendukung dan mendorong keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu.

Diskusi-diskusi politik antara kontestan dan warga lebih didominasi oleh laki-laki atau perempuan elit di lingkungannya. Informasi dan edukaasi politik lebih mudah diakses oleh kaum laki-laki. Hal ini berdampak pada rendahnya informasi politik yang dimiliki kelompok perempuan. Perempuan pun tidak mengenal pilihannya secara baik.

Partisipasi perempuan dalam politik lebih banyak diatur oleh kaum laki-laki. Misalnya saja dalam memenuhi kuota calon legislatif. Perempuan dilibatkan hanya untuk memenuhi kuota atas perintah undang-undang.

Baca juga: Opini Silvester Sili Teka: Mengawasi “Ruang Hampa” Digitalisasi Pemilu

Fenomena afirmatif ini lebih dilihat sebagai beban bagi sebagian partai. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, politisi perempuan semakin bermunculan dan bahkan ada yang menjadi politisi handal. Ada yang sangat getol dan gigih dalam memperjuangkan isu-isu gender dan isu-isu perempuan lainnya.

Catatan Gerakan perempuan dalam melahirkan kebijakan yang merespon persoalan perempuan seperti kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk yang terjadi dalam ranah privat dan public membutuhkan bargaining position dengan partai dan politisi yang menaruh respon terhadap persoalan Perempuan.

Sebagai contoh lahirnya berbagai regulasi yang merespon persoalan perempuan seperti UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual membutuhkan energi dan waktu yang cukup lama bagi organisasi perempuan untuk mendorong komitmen Pemerintah dan DPR untuk memperjuangkan dan memasukan sebagai isu prioritas untuk kemudian disahkan dalam sebuah regulasi sebagai payung hukum dalam upaya perlindungan perempuan.

Perempuan: Tentukan Pilihan Sendiri

Berdasarkan hasil pemutahiran Data Pemilih berkelanjutan semester 1 tahun 2022 tercatat 190.022.169 Pemilih. Dari segi komposisi, pemilih laki-laki 49,9 persen dan pemilih perempuan 50,1 % .

Data ini mau menunjukkan juga bahwa pemilih perempuan lebih dominan dibandingkan pemilih laki-laki.

Data ini mau menunjukkan juga bahwa perempuan sangat menentukan kualitas demokrasi dan kualitas pembangunan di masa datang. Karena itu, perempuan harus bisa menentukan pilihan sendiri, bebas dari tekanan manapun.

Sejatihnya perempuan mampu menentukan pilihan politiknya dengan tanpa adanya pemasakaan dari pihak lain atau dengan kesadaran penuh dari perempuan itu sendiri.

Baca juga: Opini Yohanes Bura Luli: Menjaga Marwah Politik Pemilu

Sebagai salah satu bentuk indicator kesetaraan gender adalah partisipasi maka partisipasi perempuan dalam politik dimaknai bukan sekedar datang ke TPS dan menntukan pilihan tetapi memastikan perempuan mengenal dan memahami calon-calon yang yang akan dipilihnya, mengenal visi, misi dan program kerja serta menganalisa apakah program kerja tersebut responsive gender atau tidak.

Perempuan mampu mencermati bahwa program kerja yang dibuat ini mengakompodir kepentingan perempuan, melindungi perempuan dan memberikan investasi untuk kemajuan perempuan.

Perempuan: Perjuangkan Hak-hakmu

Perempuan Indonesia pada umumnya, perempuan NTT khususnya, sudah harus bergerak untuk menemukan pilihannya.

Mencari dan menemukan serta mengusai saluran informasi yang tepat dan benar akan sanat membantu dalam menemukan pilihan yang tepat untuk masa depan perempuan Indoensia.

Pemilu tahun 2024 sebagai perempuan saya ingin mendorong pemilih perempuan untuk mulai membaca, mengenal peserta pemilu yakni partai politik, membaca visi dan misi serta arah perjuangan politiknya.

Perempuan harus menentukan sendiri pilihanya jatuh kepada siapa tanpa ada tekanan dari pihak lain, ikut terlibat dalam berbagai kampanye yang dibuat oleh peserta pemilu. Mendorong politisi atau calon yang berpihak pada persoalan perempuan terutama calon perempuan.

Mendorong partai politik sebagai peserta pemilu untuk merekrut perempuan sebagai calon legislative yang memiliki kapasitas dan memberikan kapasitas memadai bagi calon perempuan.

Perempuan tidak terjebak dalam money politik karena itu akan menciderai semangat perjuangan untuk menghasilkan pemimpin yang beritegritas dan bertanggungjawab.

Penutup

Sejatinya Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka perempuan sebagai pemilik kedaulatan itu sendiri harus berdaulat atas pilihannya. Pemilih cerdas bebas dari intimidasi, bebas dari politik uang. (Penulis adalah Aktifis Rumah Perempuan Kupang)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved