Opini

Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT

Satu lagi kontroversi yang diciptakan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) jelang masa akhir jabatan pada 5 September 2023.

Editor: Alfons Nedabang
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ilustrasi kursi kepala daerah. Yahya Ado menulis opini: Seandainya Saya Gubernur NTT. 

POS-KUPANG.COM - Satu lagi kontroversi yang diciptakan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) jelang masa akhir jabatan pada 5 September 2023 mendatang.

Sebenarnya tidak menarik meributkan kebijakan dadakan yang dikeluarkan tanpa dasar hukum dan kajian akademis ini. Sebabnya ini bukan kebijakan strategis jangka panjang.

Karena tidak ada satu grand design pendidikan di NTT sepanjang sejarah, termasuk di masa jabatan VBL dan Joseph Nae Soi (Victory-Joss) ini adalah mewajibkan siswa SMA/SMK Negeri masuk sekolah di jam 5 pagi yang kemudian digeser menjadi jam 05.30 pagi.

Lagi-lagi ini sekadar kebijakan sensasional tanpa kebijaksanaan yang rasional. Apalagi di tengah gencarnya Kurikulum Merdeka Belajar oleh Mas Menteri Nadiem Makarim yang memberi ruang belajar merdeka yang sadar.

Publik juga tentu masih ingat dengan sangat baik soal kebijakan Berbahasa Inggris bagi Aparat Sipil Negara (ASN) yang bergelut di dunia pariwisata dan ekonomi kreatif pada setiap hari Rabu, pun seperti kabar burung.

Sampai hari ini, evaluasi atas kebijakan Peraturan Gubernur (Pergub) English Day tidak pernah terpublikasi. Malah muncul di jagat maya, viral berbagai janji VBL di saat kampanye jelang Pilgub NTT lalu, beserta meme-meme lucu mengelitik.

Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Negara menghabiskan anggaran sekira Rp 574 miliar untuk pemilihan Gubernur NTT pada 2018 lalu. Tugas utama VBL harusnya bagaimana mengelola urusan pemerintahan yang demokratis.

Benar bahwa seorang pemimpin publik tidak bisa memberi kesenangan bagi semua orang. Sebab pemimpin publik bukanlah penjual es lilin. Pemimpin selalu punya visi besar untuk membangun daerah bahkan dengan harta dan jiwanya sekalipun.

Tetapi apa hendak dikata, hasrat besar itu seperti tumpul dengan tanda tanya besar di banyak kepala. Sepertinya kebijakan yang ditawarkan bukan sebuah aksi kolektif yang secara sadar untuk dilaksanakan. Malah terkesan pemaksaan. Padahal sukses adalah perpaduan dari hasrat, visi, dan aksi.

Program Prioritas

Jika Victory-Joss punya program prioritas tiga tungku: Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan, maka tiga program utama, seandainya saya Gubernur NTT adalah: Pendidikan, Pendidikan, dan Pendidikan.

Meski banyak pemimpin di daerah termiskin ketiga di Indonesia ini tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Padahal pendidikan akan mempengaruhi semua lini kehidupan manusia. Semua sektor hidup sangat erat kaitan dengan dunia pendidikan.

Apalagi dalih sekolah jam 05.30 pagi adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan karakter. Sangat penting untuk diperhatikan, bahwa kualitas pendidikan tidak bicara sendirian.

Pendidikan sangat erat kaitan dengan kehidupan rumah tangga, lingkungan tempat tinggal, dan sekolah itu sendiri. Ini konsep Tri Sentra ala Ki Hadjar Dewantara.

Baca juga: Opini Henry Bouk: Memaknai Ruang-Waktu 05.00 Per Argumentum Ad Baculum

Maka itu, kita perlu melihat ulang, bagaimana kondisi sosial masyarakat dan sistem yang berlaku untuk bisa mendukung kebijakan dadakan ini. Rasa-rasanya kita masih teramat sangat jauh.

Sebut saja faktor keselamatan, psikologis, kesehatan, perkembangan otak, transportasi, dan juga kehidupan ekonomi keluarga yang belum bisa berdamai dengan belajar di jam 5 subuh ini.

Hal Urgent dan Mendesak

Hal yang urgent dan mendesak untuk diubah di sektor pendidikan kita di NTT sebenarnya adalah ‘Perubahan Cara Belajar,’ bukan Perubahan Jam Belajar. Kita bisa menyederhanakan cara belajar yang terlalu berat buat anak-anak (dan juga guru) di sekolah.

Anak harus bisa belajar mengenal potensi, memecahkan masalah, sendiri maupun berkelompok melalui project-project belajar. Belajar hingga mencapai tingkatan pembelajaran Taksonomi Bloom, dari menghafal sampai mencipta.

Membangun kolaborasi, berpikir kritis, komunikatif, dan kreatif. Pembiasaan hidup baik di masyarakat, memberi tugas untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan.

Dengan pembiasaan baik di sekolah, rumah, dan lingkungan otomatis karakter dan kecerdasan anak akan mencapai titik puncak.

Berikut soal Perubahan Cara Belajar. Mengutip Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl dalam bukunya ‘Revolusi Belajar’ Accelerated Learning for the 21st Century mengungkapkan tiga kondisi masa kini yang perlu disesuaikan di dunia pendidikan:

Pertama, Dunia yang Berubah. Kompleksitas kehidupan semakin tak terelakan. Kecepatan perubahan tak terkendali. Ketidakpastian ada di mana-mana. Persaingan dunia ini terjadi benar-benar meresahkan. Tergantung kesiapan kita dalam menghadapi.

Baca juga: Opini Prof Feliks Tans: Surat Terbuka Kepada Gubernur NTT, Menciptakan Sekolah Unggul

Pendidikan adalah salah satu yang berdampak. Bahkan sejatinya, dunia pendidikanlah yang harus menjadi prioritas untuk bisa menjawab globalisasi ini sebelum kita kehilangan generasi.

Di abad serba canggih dan digital ini, kita semua harus siap dan menyiapkan generasi. Menyiapkan generasi berpikir global, berkarakter lokal. Mengarahkan pendidikan ke ranah digitalisasi dan kemanusiaan.

Kedua, Kekuatan Otak yang Mengagumkan. Pekerjaan yang paling bernilai di masa depan adalah ‘pekerjaan otak’ atau pekerjaan yang memerluakan bakat yang besar. Sedang pekerjaan yang berulang dan mekanis akan diambil alih oleh robot.

Maka kekayaan manusia pada masa yang akan datang adalah kekayaan otak. Sehingga kita perlu melatih otak kita untuk bisa servive dan lentur dengan zaman.

Kita harus siapkan anak tidak sekadar cerdas pengetahuan, tetapi mampu menciptakan pengalaman-pengalaman hidup. Kita harus bisa menjadi teladan yang baik.

Bukan malah memaksa kehendak kita yang hidup di zaman berbeda untuk tumbuh kembangnya mereka di zaman yang berbeda pula. Sebab belajar tidak hanya selesai di sekolah. Belajar akan terjadi sepanjang hayat dengan akal dan hati yang terus hidup.

Ketiga, Belajar Bagaimana Belajar. Banyak fenomena yang muncul kian meresahkan. Di abad 21 ini, kita perlu menemukan cara-cara jitu untuk belajar.

Baca juga: Opini Yohanes Mau: Aturan Prematur Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Banyak hal yang tak pasti, tetapi kita perlu menyiapkan anak-anak kita untuk hidup di masa mereka dengan pasti. Revolusi pendidikan 5.0 memastikan anak harus berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif (4K).

Ini modal kita untuk belajar saat ini. Bukan tentang apa yang kita pelajari, tetapi bagaimana kita belajar. Ini sangat penting. Banyak contoh praktis yang bisa kita tiru dan modifikasi. Kita butuh banyak inovasi untuk maju ke muka.

Dan pada akhirnya, tujuan pendidikan adalah kebahagiaan anak hidup di masa kini dan masa depan. Pendidikan merdeka bukanlah sebuah kebebasan semu.

Merdeka belajar adalah sadar memahami makna hidup dan tujuan hidup, bukan sekedar sekolah. Maka bila kita tahu cara belajar, cukup sudah kita mendendang kemiskinan.

Kita harus berani bercita-cita besar menjadi orang bebas. Sebab merdeka sesungguhnya adalah harga diri tidak boleh diinjak-injak.

Jadi ingat pesan Seneca, “Belajar bukan untuk sekolah. Belajar adalah untuk hidup. Hidup yang sebenarnya.” (Penulis adalah Tim Penulis Modul NPK Berseri: Lingkungan Belajar Partisipatif - Tri Sentra Pendidikan, Dirjen PAUD dan SD, Kemendikbud Ristek RI)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved