KKB Papua
Majelis Rakyat Papua Lapor PBB Soal HAM dan Otonomi Khusus, Simak Isi Pidato Lengkap Timotius Murib
Ketua Majelis Rakyat Papua ( MRP ) Timotius Murib mendatangi Kantor Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) di Jenewa Swiss, Selasa 8 November 2022.
Penulis: Alfons Nedabang | Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM - Ketua Majelis Rakyat Papua ( MRP ) Timotius Murib mendatangi Kantor Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) di Jenewa Swiss, Selasa 8 November 2022.
Timotius Murib bahkan berpidato di forum Universal Periodic Review (UPR) PBB. Video berisi Timotius Murib berada di Kantor PBB viral di media sosial.
Video viral tersebut, di antaranya diunggah akun @Roy Kobak dan akun @Papuanewschanel.
Dalam video berdurasi 43 detik yang disebarkan akun @Roy Kobak, tampak Timotius Murib sedang berada di halaman Kantor PBB.
Selain gedung kantor dan taman yang tertata rapi, terlihat ada bendera berbagai negara anggota PBB yang sedang berkibar.
Timotius Murib sendiri merekam video dengan menggunakan handphone (HP).
"Waktu Swiss pukul 3 sore. Baru selesai dari Komisi Tinggi PBB. Dan, hari kami sedang berjuang bagaimana mendapatkan kebebasan West Papua untuk bisa berdiri beserta dengan teman-teman bangsa yang lain," kata Timotius Murib.
"Sio..Tuhan yang tahu agenda ini. Tetap berjuang. Aleluya....Amin," ucap Timotius Murib.
Sementara akun @Papuanewschanel mengunggah video bersurasi 8 menit, berisi pidato Timotius Murib.
Dia mengangkat dua isu. Pertama, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Kedua, gagalnya pelaksanaan Otonomi khusus (Otsus) dan pemekaran provinsi.
Berikut ini isi pidato lengkap Timotius Murib :
Selamat pagi dan salam sejahtera.
Hadirian yang terhormat.
Saya senang sekali dengan pertemuan ini, dan berterima kasih buat kesempatan yang sangat baik ini.
Perkenalkan saya Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua. Majelis Rakyat Papua atau MRP adalah lembaga representatif kultural orang asli Papua, yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 tahun 2021 tentang Otonomi khusus (Otsus) bagi Papua yang memiliki fokus utama menyelamatkan orang asli Papua dan tanahnya.
Dalam kesempatan ini, perkenanankan saya menyampaikan dua pendapat kami tentang situasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembagunan Papua pada hari ini dalam persepsi kami sebagai Majelis Rakyat Papua.
1. Situasi Hak Asasi Manusia
59 tahun lalu 1 Mei 1963, Indonesia mengambil alih Papua dari PBB sebelum itu orang asli Papua berharap dapat hidup bermartabat. Sejak tanggal itu, kehidupan orang Papua telah ditandai dengan kekerasan, pelanggaran HAM, marginalisasi dan diskriminasi.
Akibatnya orang Papua sangat kecewa dengan pemerintah Indonesia, secara terus menerus menyerukan ketidaksetujuan mereka. Namun pemerintah sering menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk membungkam protes-protes yang dibuat oleh orang Papua.
Kejatuhan Presiden Soeharto membuahkan Otonomi Khusus untuk Papua. Dalam 20 tahun implementasi Otonomi Khusus, penduduk orang asli Papua masih banyak hidup dalam ketakutan dan teror yang konstan.
Hampir ratusan orang telah dianggap diintimidasi, diteror disiksa dan dibunuh oleh aparat keamanan negara di beberapa daerah di Papua.
Akhir-akhir ini kita mengetahui bersama situasi kemanusian dan pelanggaran HAM, mengingat khusus di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Pegungunan Bintang dan Kabupaten Ndugama.
Baca juga: Raki Ap Aktivis Komunitas Papua di Belanda Seru PBB Kunjungi Papua Barat
Pengungsian internal warga sejak tahun 2018 hingga November 2022, Majelis Rakyat Papua mencatat telah terjadi pengungsian internal warga asal beberapa kabupaten yang mengalami konflik bersenjata antara TNI Polri dan TPNPB Organisasi Papua Merdeka, seperti di Distrik Kwirok, Pegunungan Bintang, Ndugama, Intan Jaya dan Kabupaten Puncak.
Sangat terlihat jelas di sini bahwa budaya impunitas terpelihara dengan baik di tanah Papua. Situasi kekerasan HAM terus terjadi, terakhir beberapa bulan lalu terjadi mutilasi pembunuhan terhadap 4 warga sipil oleh aparat keamanan Indonesia di Kabupaten Mimika, Papua.
Hal ini tidak memperlihatkan itikad baik oleh negara Indonesia dalam merespon pernyataan dari Kantor Komnas HAM PBB tahun 2018-2019, yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan penyiksaan dan hukuman mati untuk penyelidikan semua kejahatan yang dilakukan dan untuk memastikan akses orang Papua terhadap hak atas pendidikan, kesejahteraan, makanan dan perolehan gizi bagi orang Papua.
2. Otonomi Khusus
Dalam tahun-tahun terakhir, ada dua masalah serius terkait kegagalan penerapan Otonomi Khusus bagi Papua.
Pertama, terkait dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Kedua, permasalah yang terkait dengan rencana pemekaran provinsi menjadi provinsi-provinsi dan daerah otonomi baru.
Untuk yang pertama, kami menyelesaikan proses perubahan Undang Undang yang tidak melalui usulan dari rakyat Papua, tidak melalui MRP dan DPRP sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 Undang undang Otonomi Khusus.
Substansinya banyak merugian hak-hak orang asli Papua sehingga kami MRP Provinsi Papua dan Papua Barat telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Pada Pasal 77 sangat penting agar terjadi konsultasi dan partisipasi yang bermakna dari masyarakat Papua. Sesuai amanat Bapak Presiden (Joko Widodo, red) dalam rapat terbatas Kabinet tanggal 11 maret 2020 yang mengajak semua pihak termasuk orang asli Papua untuk mengevaluasi Otonomi khusus.
Baca juga: KKB Papua - TPNPB Kodap VI Deiyai Tolak Dialog Jakarta - Papua Inisiasi Komnas HAM
Bahkan atas amanat Presiden itu, MRP mengadakan kegiatan rapat dengar pendapat di 28 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di wilayah adat. Sayangnya, atas kecurigaan tertentu, upaya yang dihambat oleh jajaran keamanan di Papua di bawah instruksi Kapolda dan kabinet Papua melarang kegiatan rapat dengar pendapat yang merupakan kegiatan resmi MRP.
Aparat menghalangi warga, membubarkan rapat hingga menangkap dan memborgol beberapa staf, seperti di Marauke sehingga MRP tidak dapat melakukan tugas dan wewenang yang diberikan Undang Undang, yaitu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat orang asli Papua.
Untuk masalah kedua, kami menyesalkan proses pembentukan Daerah Otonomi Baru yang tidak melibatkan reprensentatif rakyat Papua sesuai ketentuan Pasal 76 Undang Undang Otonomi Khusus.
Sebelum perubahan kedua, pasal ini berbunyi pemekaran Papua untuk menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.
Ini artinya, jika tanpa persetujuan dari MRP dan DPRP tidak boleh ada provinsi baru lagi. Intinya, kebijakan pemekaran provinsi menjadi provinsi-provinsi tidak lagi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, apakah selaras dengan spirit Otonomi Khusus?
Pemerintah tentu dapat melakukan pemekaran provinsi tetapi untuk wilayah-wilayah yang bukan berstatus Otonomi Khusus melainkan otonomi daerah.
Dengan memperhatikan berbagai situasi objektif, maka kami mengajak siapa pun terutama kita semua yang ada di sini untuk mendorong dana menolong. Kami mendorong kondisi yang kondusif di tanah Papua.
Demikian yang dapat kami sampaikan dalam forum terhormaty ini. Sekali lagi terima kasih. Sekian. Jenewa Swiss, 8 November 2022.
Baca juga: KKB Papua - Gelar Sidang Tahunan, Parlemen Nasional West Papua Tetapkan UUD Sementara
Timotius Murib Klarifikasi
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib memberikan klarifikasi terkait video singkat dirinya di Jenewa Swiss.
Dia mengatakan, setelah melihat percakapan dan berbagai flayer yang beredar terlihat cenderung tendensius atau berpihak.
"Saya perlu menanggapi bahwa saya Ketua MRP diundang personal sebagai Panelis dan difasilitasi oleh pengundang untuk mengikuti diskusi kritis sebagai masukan bagi sidang peninjauan berkala Universal Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa, Swiss," kata Timotius Murib, Selasa 15 November 2022, melansir Tribun-Papua.com.
"Jadi, di sini saya (bukan menggunakan perjalanan dinas dari MRP)," tambahnya.
Timotius Murib menjelaskan, Universal Periodic Review (UPR) merupakan forum tukar-menukar pandangan sesama pemerintah dalam pemajuan dan perlindungan HAM, termasuk untuk penghormatan HAM kelompok Penyandang Disabilitas.
"Mekanisne UPR merupakan suatu kerjasama tinjau ulang 4 tahunan yang adil, dimana seluruh negara anggota PBB berkesempatan untuk dikaji ulang ataupun menjadi negara yg memberikan pandangan serta rekomendasi HAM-nya," jelas Timotius Murib.
Selain dirinya, Timotius Murib menyebut pihak pemerintah Indonesia diwakili Menlu Retno Marsudi dan rombongan.
"Yang diundang menjadi Panelis dalam diskusi kritis tersebut, bukan hanya Ketua MRP, tapi ada juga Anggota Komnas HAM Andy Yentriyani (Anggota Komnas Perempuan), Usman Hamid (Direktur Amnesty Internasional), Dr Benny Giay (Dewan Gereja Papua)," katanya.
Mengenai video yang beredar di WA Group dan Tiktok, Timotius Murib menegaskan bahwa itu adalah ekspresi keprihatinan atas belum tuntasnya penegakkan hukum atas pelanggaran HAM di tanah Papua.
"Mari berpikir yang positif supaya sehat jasmani, jiwa, dan akalnya untuk berkarya lebih banyak lagi bagi Indonesia, terlebih khusus bagi masyarakat orang asli Papua," tandasnya. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS