Berita Lembata
Lestarikan Ekosistem Laut, LSM Barakat Libatkan Anak Muda Lembata Lanjutkan Tradisi Muro
Benediktus Bedil khawatir jika keterlibatan anak muda minim, maka bukan tak mungkin tradisi ini akan hilang di masa depan.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, RICKO WAWO
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM Barakat tidak ingin Tradisi Muro lenyap seiring berjalannya waktu. Maka dari itu, Barakat berupaya mendekatkan orang muda pada tradisi warisan leluhur tersebut.
Direktur LSM Barakat Benediktus Bedil, mengatakan, peran anak muda dalam melanjutkan Tradisi Muro masih minim. Banyak anak muda yang tidak jadi bagian dari masyarakat adat yang punya tugas melaksanakan Tradisi Muro.
Benediktus Bedil khawatir jika keterlibatan anak muda minim, maka bukan tak mungkin tradisi ini akan hilang di masa depan.
Baca juga: Kronologi Penetapan Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Kapal Pinisi Aku Lembata
Untuk itulah, LSM Barakat tetap berupaya mendekatkan anak muda dengan Tradisi Muro. Salah satunya juga dengan menggelar sekolah adat yang bertujuan untuk mendekatkan Tradisi Muro dengan generasi muda.
Pada Jumat, 28 Oktober 2022, LSM Barakat juga turut mendampingi perwakilan Pertamina Foundation dan BenihBaik.com untuk bertemu langsung dengan para pelaku Muro di desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan.
Rombongan disambut langsung oleh kepala desa Tapobaran, Petrus Damianus Pito Maing, jajaran aparat desa dan masyarakat adat yang mengurus lokasi Muro di wilayah laut desa Tapobaran.
"Kami punya wilayah Muro yang cukup luas tapi masih kekurangan fasilitas dan sumber daya," ungkap Andreas Maing.
Hingga saat ini, lanjut Andreas, masyarakat masih mempertahankan tradisi yang ada dan taat dengan aturan aturan adat yang diterapkan.
Selain berdiskusi, rombongan Pertamina Foundation dan BenihBaik,com juga dibawa ke lokasi-lokasi ritual tradisi Muro biasa digelar.
Muro dipahami secara harafiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat.
Tradisi Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata. Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung, kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada areal laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apa pun.
Baca juga: Kejari Lembata Tetapkan 3 Tersangka Kasus Korupsi Kapal Pinisi Aku Lembata
Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembangbiak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivias manusia dalam bentuk apa pun. Zona kedua disebut Ikan Berewae (Ikan Perempuan) yang dianggap sebagai zona penyangga.
Perempuan dan anak-anak diprioritaskan menangkap ikan di wilayah ini tapi hanya boleh dengan alat tangkap pancing tradisional, bukan dengan pukat. Zona ketiga disebut Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum sebagai zona pemanfaatan. Lokasi ini dibuka dan ditutup untuk umum sesuai kesepakatan. Bisa setahun sekali atau tiga sampai lima kali setahun. Pada saat kawasan ini dibuka, masyarakat akan beramai-ramai turun ke laut menangkap ikan yang ada di sekitar pesisir.
Dahulu kala, praktik pembukaan kawasan Ikan Ribu Ratu sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan masyarakat pesisir dan masyarakat di pegunungan.
Masyarakat dari gunung akan diundang untuk menangkap ikan di pantai. Sebaliknya mereka akan membawa hasil kebun seperti jagung, beras dan kacang-kacangan untuk diberikan kepada saudara-saudari mereka yang bermukim di pesisir.
Ketiga zonasi di laut ini diawasi langsung oleh kelompok masyarakat adat yang disebut Kapitan Sari Lewa. Mereka adalah suku-suku tertentu dalam kampung yang memang secara turun temurun bertugas sekaligus punya wewenang menjaga dan mengawasi wilayah laut. LSM Barakat kemudian memperkuat Kapitan Sari Lewa dengan pelatihan, advokasi dan sejumlah fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS