Opini
Opini : Demokrasi, Disinformasi dan Skeptisisme
Wacana yang kerap kali muncul di meja publik akhir-akhir ini adalah tentang pemilu tahun 2024 mendatang.
Realitas ini tak dapat dimungkiri, sebab para produktor disinformasi kerap kali sengaja menciptakannya dengan menjadikan nilai kebebasan dalam sistem demokrasi sebagai basis legitimasi.
Faktumnya, memang semua informasi yang ingin dipublikasikan kepada publik melalui media sosial adalah bagian dari pengimplementasian HAM (baca; kebebasan berekspresi).
Baca juga: Opini : Apa Kabar Stunting di NTT?
Ruang kebebasan dalam memproduksi informasi terbuka lebar bagi setiap orang yang hendak mengekspresikan pikiran dan gagasannya. Akan tetapi, yang membuat persoalan ini menjadi kompleks dan bahkan krusial adalah kebebasan yang diaplikasikan itu mengganggu dan merusak aspek bonum commune.
Budi Hardiman dalam buku “Aku klik, maka aku ada” menjelaskan bahwa Homo digitalis belum mencapai sosok paripurnannya; yang sedang terjadi sekarang adalah sebuah peralihan revolusioner yang menghasilkan kebebasan sekaligus brutalitas (Hardiman, 2021:45). Kebebasan memproduksi informasi tanpa memiliki garis demarkasi kerap kali menghasilkan brutalitas hingga terjadinya permusuhan di tengah publik.
Hal ini menggambarkan bahwa media sosial yang pada esensinya bertujuan untuk membantu dan melekatkan nilai kesatuan, justru menciptakan situasi disharmonisasi melalui penyebaran informasi hoaks, ujaran kebencian, provokasi dan pemfitnahan terhadap paslon yang lain. Situasi yang tercipta di media sosial juga dapat dikategorikan sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan lawan politik dengan pelbagai modus meski kurang terlampau etis.
Dengan demikian, efek lanjutannya adalah para calon dari partai lain pun dimarginalisasi dan disudutkan dengan pelbagai serangan ujaran kebencian dan hoaks yang minus faktum. Tak jarang akhirnya nilai persatuan dan kelekatan dalam kehidupan bersama secara perlahan pun akan mengalami keretakan.
Manifestasi Skeptisisme
Penyebaran informasi yang minus datum empiris seperti, hoax, fake news dan hate speech di media sosial barangkali sudah dianggap lumrah berseliweran di ruang publik. Titik aksentuasi dan substansi penyebarannya adalah memudahkan publik untuk terjerembab dalam ketersesatan.
Keberadaannya (baca; disinformasi) tentu kian mengusik kedamaian dan keharmonisan publik secara halus. Format nalar yang diartikulasikan dalam tulisannya pun acapkali menimbulkan ketertarikan publik. Tak ayal, daya rasionalitas dikikis serentak menggaet sisi emosional agar publik secara cepat terbawa arus sesuai kerangka berpikir para produktor disinformasi.
Berkonfrontasi dengan realitas yang terjadi, titik kulminasi yang hendak penulis tawarkan dalam mengatasi persoalan ini adalah memaksimalkan sikap skeptis. Skeptisisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang meyakini bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Karena itu opsi solutif yang diambil adalah meragukan apa yang sudah dianggap sebagai kebenaran.
Baca juga: Opini : Balita NTT Masa Depan Indonesia
Sikap skeptis sangat penting karena dapat membantu publik untuk mengkonstruksi daya nalar kritis. Tanpa memiliki sikap skeptis, sebetulnya seseorang sedang menonaktifkan nalar kritis. Prisipnya, kita tidak boleh menerima suatu informasi tanpa diverifikasi dan diuji kebenaranya terlebih dahulu.
Di samping itu, sikap skeptis juga dapat membantu setiap individu agar lebih teliti, cermat dan berhati-hati dalam menaruh kepercayaan kepada setiap informasi yang tersebar. Oleh karena itu, fenomena disinformasi seperti, hoax, fake news dan hate speech dalam rangka menjatuhkan paslon dari partai lain adalah sebuah contoh yang mesti ditanggapi dengan memanifestasikan sikap skeptis.
Melalui sikap skeptis, setiap individu dituntut untuk memverifikasi informasi yang tersebar di media sosial. Pada tataran yang sama, publik disadarkan agar tidak mudah terlelap dengan informasi yang kerap kali menghanyutkan daya emosional.
Jadikan sikap skeptis sebagai basis untuk membandingkan track record atau rekam jejak dari setiap paslon dengan informasi yang tersebar di media sosial.
Hal ini bertujuan agar ketika pemilu tahun 2024 mendatang, masyarakat betul-betul memilih paslon berdasarkan gagasan, rekam jejak, reputasi, moralitas serta visi-misi yang baik, tanpa dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tersebar di ruang publik.
Karena itu, mari jadikan pemilu tahun 2024 mendatang sebagai ajang untuk memfilter paslon yang tepat, jujur, berkompeten dan mempunyai integritas diri yang baik demi mencapai Negara Indonesia yang sejahtera. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS