Opini

Opini : Demokrasi, Disinformasi dan Skeptisisme

Wacana yang kerap kali muncul di meja publik akhir-akhir ini adalah tentang pemilu tahun 2024 mendatang.

Editor: Alfons Nedabang
KOMPAS.com/JUNAEDI
Ilustrasi partai politik. 

Oleh: Oscar Widodo

Tinggal di Ritapiret, Maumere

POS-KUPANG.COM - Wacana yang kerap kali muncul di meja publik akhir-akhir ini adalah tentang pemilu tahun 2024 mendatang. Betapa tidak, banyak partai berlomba-lomba mengusulkan para calonnya masing-masing.

Dalam situasi ini, atmosfer kompetisi serentak hilangnya kerja sama adalah hal yang wajar. Segala cara pun dapat diaplikasikan oleh masing-masing paslon demi meraup kemenangan. Apalagi seiring dengan perkembangan teknologi, tentu pemanfaatan media sosial sebagai instrumen untuk menebarkan Visi dan Misi dari para calon adalah sebuah keniscayaan.

Namun, fenomena yang tak dapat disangkal dari pemanfaatan media sosial tersebut adalah terjadinya disinformasi (baca; hoax, fake news dan hate speech).

Informasi yang seharusnya bertujuan untuk menampilkan gagasan sekaligus visi misi dari para paslon, akhirnya dipelintir dan dikemas sedemikian rupa agar publik mengalami kebingungan. Konsekuensi logisnya, publik yang tidak memiliki nalar kritis yang mumpuni akan mudah jatuh pada iklim situasi ketidakpastian.

Baca juga: Opini : Kekuatan Kata-Kata, Berkat atau Kutuk

Ruang Kebebasan

Jose Luis Vargas Valdez, seorang hakim dari Justice, High Chamber, Electoral Tribunal of the Federal Judiciary, Meksiko, yang juga anggota kehormatan Global Network of Electoral Justice (GNEJ) berpandangan bahwa disinformasi melalui medsos menjadi tantangan aktual yang dihadapi hampir semua negara di dunia. Hal itu tumbuh pesat sekitar 15 tahun terakhir (Kompas, 11/10/2022).

Pernyataan ini disampaikan oleh Jose Valdez ketika mengikuti sidang pleno kelima dari jaringan global keadilan pemilu (GNEJ) di Nusa Dua, Bali pada senin, 10 Oktober 2022. Tentu latar belakang yang menjadi basis Jose Valdez menyatakan demikian adalah persoalan disinformasi yang kian merajalela di ruang publik.

Persoalan ini bukan lagi hanya dilihat dengan sebelah mata, melainkan dibutuhkan kejelian dan kepekaan para stakeholder (baca; pemerintah, parlemen, dan lembaga peradilan terkait tata kelola pemilu) untuk sedini mungkin dalam mengantisipasi terjadinya disinformasi di media sosial.

Namun bukan berarti masyarakat itu sendiri bersikap pasif dan enggan berinisiatif untuk sama-sama mencari opsi solutif terkait persoalan yang terjadi. Justru hal yang diharapkan adalah publik mesti semakin terpacu untuk bersikap aktif dalam memitigasi fenomena disinformasi menjelang pemilu yang akan datang.

Baca juga: Opini : Ujian Nasional Partai Baru

Memang patut diakui bahwa salah satu ciri fundamental dalam kehidupan berdemokrasi adalah kebebasan. Setiap individu mempunyai kesempatan, peluang, ruang dan akses yang sama dalam mengekspresikan kebebasannya.

Begitu pula dalam ikhtiar mendukung para calon pemilu yang akan terjadi pada tahun 2024. Akan tetapi, perlu disadari bahwa kebebasan itu dapat diaplikasikan dan diekspresikan oleh setiap individu sejauh kebebasan itu tidak ‘mengganggu atau merusak’ kebebasan yang lain.

Inilah pendefinisian sebenarnya tentang kebebasan yang termuat dalam negara Indonesia yang bersistem demokrasi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa oknum-oknum yang memproduksi sekaligus menyebarkan disinformasi secara membabi buta adalah salah satu bentuk penyimpangan dalam mengekspresikan kebebasan.

Tentu negara demokrasi pun akhirnya direduksi dengan memanifestasikan kebebasan secara sempit, yakni demi kepentingan dan kepuasan pribadi serentak mengabaikan kebaikan bersama.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved