Berita NTT

Emi Nomleni Tegaskan PT Flobamor Harus Fokus, Tidak Semua Hal Dilakukan

Politisi PDI-P itu menerangkan, jika PT Flobamor melakukan semua hal maka secara manajemen, perlu menyiapkan semua hal, juga sumber daya yang memadai.

Editor: maria anitoda
POS-KUPANG.COM/Oby Lewanmeru
Ketua DPD PDIP NTT, Ir. Emi Nomleni - Emi Nomleni menegaskan agar PT Flobamor bisa disehatkan dari berbagai sisi, termaksuk penganggaran hingga manajemennya. Olehnya, DPRD juga mendorong dilakukannya audit investigasi terhadap BUMD itu. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG-- PT Flobamor sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Provinsi NTT akan mengelola jasa wisata pada pulau Komodo di Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat NTT.

Ketua DPRD NTT, Emi Nomleni, menegaskan agar PT Flobamor bisa disehatkan dari berbagai sisi, termaksuk penganggaran hingga manajemennya. Olehnya, DPRD juga mendorong dilakukannya audit investigasi terhadap BUMD itu.

"Soal dia mengelola apa dan apa. Tidak menjadi soal. Tetapi PT Flobamor harus fokus dia punya concern itu apa, supaya tidak bias. Tidak semua hal dia lakukan gitu loh," katanya, Rabu 20 Juli 2022.

Politisi PDI-P itu menerangkan, jika PT Flobamor melakukan semua hal maka secara manajemen, perlu menyiapkan semua hal, juga sumber daya yang memadai. DPRD bukan setuju atau tidak, tetapi PT. Flobamor harus punya titik fokus dan tidak semua hal harus dirambah.

Bila memaksakan demikian, dikhawatirkan justru menimbulkan masalah baru kalau tidak dikelola secara baik dan profesional.

Kemampuan PT Flobamor, tentu tidak diragukan, akan tetapi imbasnya adalah kebutuhan banyak pendukung untuk memulai pekerjaan baru.

DPRD tetap berkomitmen untuk meminta adanya audit investigasi terhadap PT Flobamor untuk mengetahui kesehatan dari perusahaan daerah itu, sebelum mengekspansi sumber lain. Perusahaan daerah harus dalam keadaan sehat. Ini juga menjadi kebanggaan.

Emi mengingatkan, pekerjaan yang dilakukan berada di jalur dan dalam kondisi sehat. Ini menjadi bagian paling penting. Menurutnya, sehat yang ia maksudkan adalah kontribusi perusahaan itu kepada daerah.

"Jadi kalau ada perdebatan belum ada kontribusi. Itu kan akan kita lihat. Dia sudah sehat itu sudah sejauh mana. Kalau belum ada kontribusi misalnya untuk devidennya itu karena apa?" tegasnya.

Kalaupun belum keuntungan harus ada kejelasan. Dari itu, adanya kesepakatan bersama DPRD dan pemerintah. Paramater sehat perusahaan itu ditelisik dari jumlah setoran ke daerah. Baginya, PT Flobamor dibentuk  dan  sejak awal sudah ada penyertaan modal.

PT Flobamor merupakan perusahaan daerah yang wajib memberikan sumbangan pendapatan untuk daerah, meski tidak ada penyertaan modal pada tahun berjalan. Itu merupakan tanggungjawab sebagai perusahaan daerah. Kalaupun Perusahaan tidak sehat, mestinya dilaporkan agar diketahui.

Dalam penilaian, perusahaan wajib memberikan dampak bagi masyarakat dan menghasilkan laba sebagai pendapatan yang disetor ke daerah. Dia mencontohkan program TJPS dan budidaya ikan kerapu yang dikelola PT Flobamor. Dari itu, Emi mempertanyakan manfaat yang diperoleh masyarakat, minimal dampak langsung ke masyarakat jika tidak ada pendapatan yang dihasilkan perusahaan.

Dia berpandangan, perusahaan wajib memberikan dampaknya tersebut karena ada intervensi APBD ke perusahaan. Alasan yang sering disampaikan mengenai pergantian dan lainnya, menurut Emi, bakal terlihat dalam pembukuan. Sebab, bagaimana pun juga,  PT Flobamor merupakan perusahaan daerah yang dihidupi dari APBD.

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT, Zeth Sony Libing, menjelaskan, PT Flobamor akan menjaga konservasi, memberi capacity building bagi masyarakat, merekrut tenaga lokal, dan lainnya. Semua kerajinan maupun karya masyarakat juga dibeli dari masyarakat di Pulau Komodo oleh PT Flobamor sebagai souvernir bagi wisatawan.

"Jadi masyarakat tidak perlu jual mahal-mahal, tawar-menawar lagi, nanti BUMD kami yang beli," kata dia, Selasa 19 Juli 2022 diruang kerjanya.

Sistem jasa wisata yang ditawarkan pun misalnya pembelian tiket online atau reservasi, layanan perjalanan ke pulau-pulau, tracking, diving, tour guide, snorkeling dan lain sebagainya.

Sistem ini melibatkan pelaku pariwisata lokal yang profesional maka peran PT Flobamor ini adalah  koordinator dari berbagai jenis-jenis usaha itu.

"Supaya gampang kita kontrol dan mudah kita awasi kualitas pelayanannya," ungkap dia lagi.

Disparekraf NTT juga menjamin ke depannya tidak ada hotel, restoran atau bangunan fisik yang bertentangan dengan konservasi. Rencana bisnis PT Flobamor pun selaras dengan konservasi ini.

"Kami tidak membangun hotel dan restoran juga di Pulau Komodo karena itu tidak ada dalam business plan BUMD itu, tapi jasa wisata," sebutnya lagi.

PT Flobamor juga merambah manajemen perjalanan yang akan diatur untuk tertib dalam  sistem yang akan dibangun menertibkan pelaku pariwisata, wisatawan, siapa pun pihak yang akan menjual paket perjalanan, berapa paket yang akan ditawarkan, hingga pajak yang dibayarkan seperti apa.

"Karena selama ini kita tidak tahu penjual paket ini di mana, apakah di Labuan Bajo atau di mana, apakah mereka bayar pajak tidak, jangan sampai paket perjalanan mereka lebih mahal dari komodo yang dilihat," jelasnya.

Kapal pesiar dari luar NTT, kata dia, tidak akan lagi parkir di pesisir pulau dan tidak lagi ada yang akan menginap lagi tetapi diarahkan ke hotel-hotel yang telah disediakan.

"Ada souvenir dan restoran yang bisa dinikmati sehingga bisa terjadi perputaran ekonomi di masyarakat lokal. Ada kriya, kuliner, yang bisa wisatawan dapatkan, tapi kalau di pulau sana mereka tidur di sana siapa yang untung? Apa dampaknya untuk ekonomi rakyat kita?" tambah dia lagi.

Komersialisasi Brutal

Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal? Ini kritik keras saya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu 16 Juli 2022.

Ansy menambahkan hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan ijin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

"Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri," gugatnya.

Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

“Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo," tandasnya.

Demikian pula, tambah Ansy, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis.

Kejanggalan Kebijakan

Ansy menjelaskan, ada dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting.

Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.  Di sini, paket wisata EVE dikelola oleh PT. Flobamor selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Biaya paket wisata EVE adalah Rp 15 juta per paket yang usulan alokasinya adalah (1) Rp 2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp 100.000 biaya asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (6) Rp 165.000 biaya pajak.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor. Tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar? Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.

Apalagi, melihat komposisinya, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke PT Flobamor.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.

“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.

Marginalisasi Masyarakat Kecil

Persoalan lain yang timbul dari kejanggalan kebijakan yang diambil pemerintah di atas adalah marginalisasi atau peminggiran masyarakat kecil.

Dengan kenaikan tarif Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai Rp 3,75 juta per orang dan paket EVE senilai Rp 15 juta, secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat kecil untuk berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar.

“Pemerintah harus memikirkan multiplier effect dari kebijakan ini. Yang bisa pergi ke Pulau Komodo dan Padar hanya orang kaya saja. Ditambah, kebijakan ini memotong peluang ekonomi masyarakat sekitar, terutama para pelaku wisata lokal. Paket EVE, misalnya. Penerapan EVE akan memenggal ekonomi operator tur yang hidup di Labuan Bajo,” terang Ansy.

Apabila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga. Pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal.

Karena itu, Ansy mendesak KLHK untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.

“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis. Bicara konservasi koq ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” tutup Ansy. (Fan)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved