Jokowi Kunjungi Labuan Bajo

Jasa Wisata Pulau Komodo Labuan Bajo NTT Dikelola PT Flobamor

Sistem ini melibatkan pelaku pariwisata lokal yang profesional maka peran PT Flobamor ini adalah  koordinator dari berbagai jenis-jenis usaha itu.

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO-DOK.TRIBUN
KOMODO - Hewan komodo di Manggarai Barat 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengelolaan jasa wisata di Pulau Komodo, Manggarai Barat NTT akan dikendalikan PT. Flobamor sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Provinsi NTT.

Informasi demikian disampaikan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT, Zeth Sony Libing, ruang kerjanya, Selasa 19 Juli 2022.

Menurutnya, PT Flobamor akan menjaga konservasi, memberi capacity building bagi masyarakat, merekrut tenaga lokal, dan lainnya.

Baca juga: Pelaku Pariwisata Akan Unjuk Rasa Bila Penolakan Tarif Baru Masuk Pulau Komodo Tidak Direspon

Semua kerajinan maupun karya masyarakat juga dibeli dari masyarakat di Pulau Komodo oleh PT Flobamor sebagai souvernir bagi wisatawan.

"Jadi masyarakat tidak perlu jual mahal-mahal, tawar-menawar lagi, nanti BUMD kami yang beli," kata dia.

Sistem jasa wisata yang ditawarkan pun misalnya pembelian tiket online atau reservasi, layanan perjalanan ke pulau-pulau, tracking, diving, tour guide, snorkeling dan lain sebagainya.

Sistem ini melibatkan pelaku pariwisata lokal yang profesional maka peran PT Flobamor ini adalah  koordinator dari berbagai jenis-jenis usaha itu.

"Supaya gampang kita kontrol dan mudah kita awasi kualitas pelayanannya," ungkap dia lagi.

Baca juga: Distributor PT Inti Tanjung Jaya, Kalimantan Tour ke Pulau Komodo

Disparekraf NTT juga menjamin ke depannya tidak ada hotel, restoran atau bangunan fisik yang bertentangan dengan konservasi. Rencana bisnis PT Flobamor pun selaras dengan konservasi ini.

"Kami tidak membangun hotel dan restoran juga di Pulau Komodo karena itu tidak ada dalam business plan BUMD itu, tapi jasa wisata," sebutnya lagi.

PT Flobamor juga merambah manajemen perjalanan yang akan diatur untuk tertib dalam  sistem yang akan dibangun menertibkan pelaku pariwisata, wisatawan, siapa pun pihak yang akan menjual paket perjalanan, berapa paket yang akan ditawarkan, hingga pajak yang dibayarkan seperti apa.

"Karena selama ini kita tidak tahu penjual paket ini di mana, apakah di Labuan Bajo atau di mana, apakah mereka bayar pajak tidak, jangan sampai paket perjalanan mereka lebih mahal dari komodo yang dilihat," jelasnya.

Baca juga: Distributor PT Inti Tanjung Jaya, Kalimantan Tour ke Pulau Komodo

Kapal pesiar dari luar NTT, kata dia, tidak akan lagi parkir di pesisir pulau dan tidak lagi ada yang akan menginap lagi tetapi diarahkan ke hotel-hotel yang telah disediakan.

"Ada souvernir dan restoran yang bisa dinikmati sehingga bisa terjadi perputaran ekonomi di masyarakat lokal. Ada kriya, kuliner, yang bisa wisatawan dapatkan, tapi kalau di pulau sana mereka tidur di sana siapa yang untung? Apa dampaknya untuk ekonomi rakyat kita?" tambah dia lagi.

Komersialisasi Brutal

Sementara Anggota DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal? Ini kritik keras saya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu 16 Juli 2022.

Ansy menambahkan hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan ijin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

Baca juga: Eksotisme Pulau Komodo TNK di Manggarai Barat

"Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri," gugatnya.

Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke KAS pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

“Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo," tandasnya.

Demikian pula, tambah Ansy, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis.

Kejanggalan Kebijakan

Ansy menjelaskan, ada dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting.

Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo

Di sini, paket wisata EVE dikelola oleh PT. Flobamor selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Biaya paket wisata EVE adalah Rp 15 juta per paket yang usulan alokasinya adalah (1) Rp 2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp 100.000 biaya asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (6) Rp 165.000 biaya pajak.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor. Tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar? Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.

Apalagi, melihat komposisinya, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke PT Flobamor.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.

“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.

Marginalisasi Masyarakat Kecil

Persoalan lain yang timbul dari kejanggalan kebijakan yang diambil pemerintah di atas adalah marginalisasi atau peminggiran masyarakat kecil.

Dengan kenaikan tarif Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai Rp 3,75 juta per orang dan paket EVE senilai Rp 15 juta, secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat kecil untuk berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar.

“Pemerintah harus memikirkan multiplier effect dari kebijakan ini. Yang bisa pergi ke Pulau Komodo dan Padar hanya orang kaya saja. Ditambah, kebijakan ini memotong peluang ekonomi masyarakat sekitar, terutama para pelaku wisata lokal. Paket EVE, misalnya. Penerapan EVE akan memenggal ekonomi operator tur yang hidup di Labuan Bajo,” terang Ansy.

Apabila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga. Pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal.

Baca juga: Penjual Suvenir di Loh Liang Pulau Komodo TNK Mengaku Sepi Pembeli

Karena itu, Ansy mendesak KLHK untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.

“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis. Bicara konservasi koq ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” tutup Ansy. (*)

Berita Manggarai Barat Lainnya

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved