Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 10 Juli 2022, Memeluk Identitas Orang Samaria

Renungan Harian Katolik berikut disiapkan oleh RP. Steph Tupeng Witin SVD dengan judul Memeluk Identitas Orang Samaria.

Editor: Agustinus Sape
YOUTUBE/ROHANI DIGITAL
ORANG SAMARIA - Ilustrasi orang Samaria yang baik hati menolong orang yang dirampok penyamun. "Lalu datanglah ke tempat itu seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan.Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya." 

POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Katolik berikut disiapkan oleh RP. Steph Tupeng Witin SVD dengan judul Memeluk Identitas Orang Samaria.

RP. Steph Tupeng Witin menulis Renungan Harian Katolik ini dengan mengambil inspirasi dari bacaan Minggu Biasa XV, Minggu 10 Juli 2022, yaitu Ulangan 30:10-14; Kolose 1:15-20, dan bacaan Injil Lukas 10:25-37.

Di bagian akhir Renungan Harian Katolik ini tersedia pula teks lengkap bacaan-bacaan Minggu 10 Juli 2022 beserta mazmur tanggapan dan bait pengantar Injil.

Pada 3 Oktober 2020, di Basilika Santo Fransiskus Asisi, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik ketiga selama masa pontifikatnya berjudul Fratelli Tutti.

Kata ‘Fratelli Tutti’ berasal dari Bahasa Italia, artinya “Semua saudara”.

Judul ensiklik ini menimba inspirasi dari hidup St. Fransiskus Asisi, yang mengedepankan perdamaian dan dialog.

Hal ini pun menjadi tanda kontras di tengah dunia abad XII-XIII Masehi yang dilingkupi berbagai peperangan.

St. Fransiskus Asisi menawarkan persaudaraan yang melampaui sekat-sekat perbedaan.

Fratelli Tutti merupakan tanggapan Paus atas krisis kemanusiaan yang menjangkiti dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kapitalisme, politik identitas, peperangan, pandemi Covid-19, dan sebagainya.

Dalam konteks semacam ini, Fratelli Tutti menawarkan pentingnya pembangunan persaudaraan dan persahabatan sosial. Setiap orang diundang menjadi saudara bagi sesamanya, melampaui sekat-sekat perbedaan.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 8 Juli 2022, Tantangan Pelayanan 

Perbedaan tidak dipandang sebagai sumber perpecahan, melainkan pintu dialog persaudaraan.

Oleh karena itu, sebagai suatu Ensiklik, Fratelli Tutti menggambarkan undangan yang tidak terbatas pada komunitas Gereja Katolik, melainkan semua pihak mengupayakan dialog kemanusiaan dan persaudaraan (Wibisono & Setyawan, 2020. Hlm 1-2). 

Paus Fransiskus menggunakan kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37) untuk menjembatani gagasan spiritualitasnya.

Ringkasan Kisah dalam Injil Lukas ini berawal dari pertanyaan yang diajukan seorang ahli Taurat pada Yesus. “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10: 29).

Menjawab pertanyaan itu, Yesus mengisahkan suatu perumpamaan dengan latar para perampok yang telah melancarkan aksi brutalnya yang mengakibatkab korban terkapar tak berdaya di pinggir jalan.

Kita tidak tahu secara pasti motif dan pelakunya. Yang pasti, mereka merampok dan meninggalkan korbannya babak belur tak berdaya.

Menurut Paus Fransiskus, kejahatan yang dilakukan para perampok menggambarkan kejahatan dan keprihatinan yang terjadi dalam dunia.

Ada pihak-pihak yang menjadi perampok dan yang merasa atau sungguh dirampok. Kebanyakan kita mungkin saja mempersalahkan para perampok yang tega melakukan kekerasan.

Mungkin juga kita salahkan korban yang berani melewati wilayah “merah” itu seorang diri.

Tapi cobalah kita membayangkan, apa yang akan kita perbuat seandainya tindakan perampokan tersebut terjadi di hadapan kita?

Apakah kita akan menelantarkan orang yang terluka karena dirampok, mencari perlindungan dari kekerasan yang terjadi, dan bersikap “bodo amat” atasnya?

Sebaliknya, apakah kita akan bersikap terlalu reaktif dengan mengejar si perampok dan memukulinya?

Kalau demikian, bukankah “belas kasihan” kepada korban justru menjadi pembenaran untuk melanggengkan perpecahan yang tidak terdamaikan, ketidakpedulian yang keji, dan kekerasan yang tiada akhir? (FT.72).

Ketika korban terkapar tak berdaya, ada orang-orang yang melewatinya begitu saja “dari seberang jalan”. Kita menyebut orang-orang ini “numpang” lewat.

Barangkali berkecamuk perasaan gamang yang justru berujung pada ketidakpedulian. Mereka gagal terpapar keprihatinan korban yang terkapar di pinggir jalan.

Padahal ia adalah korban nyata dari keganasan dan kerakusan para perampok. Ia ditinggalkan setengah mati.

Terkapar di pinggir jalan utama dari Yerikho ke Yerusalem tidak serta merta membuat mereka yang melintas di dekatnya iba.

Kesakitannya gagal membuat orang berhenti dan memberikan hati. Ia korban tapi dianggap tidak relevan.

Ketidakpedulian inilah yang menggambarkan keadaan dunia saat ini. Arti “sesama” menjadi kabur. Ada jurang pemisah antara “aku” dan “mereka”.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 7 Juli 2022, Pengutusan Dua Belas Murid

Banyak orang lupa artinya menjadi “kita”. Ada fenomena “buta huruf kepedulian” yang membuat seseorang gagal melihat orang lain sebagai saudara.

Perhatian kepada mereka yang tersingkir pun menjadi sesuatu yang seolah-olah berada di luar teritorinya. Ketidakpedulian pun menjadi sobat karib perampasan dan perampokan.

Ketidakpedulian adalah bentuk pembiaran atas tindak kejahatan. Saat ini, banyak pihak yang terluka dan terkapar secara ekonomi, sosial, kultural, dan politik.

Mereka yang miskin dan mengalami diskriminasi adalah pihak yang pantas mendapat perhatian.

Akan tetapi, tidak sedikit orang gagal mengidentifikasikan diri dengan rasa sakit yang dialami orang-orang yang mengalami diskriminasi, ketelantaran, dan eksploitasi.

Paus Fransiskus menyatakan bahwa kerap kali banyak orang “merasa telah memiliki perhatian kepada mereka yang membutuhkan. Akan tetapi, kerap kali muncul rasa kecil dan tidak mampu memberi uluran tangan karena tidak adanya dukungan dari masyarakat pada umumnya”.

Perhatian itu pun menjadi sekadar sebuah perhatian yang tidak terjelma dalam tindakan. Sekalipun telah membicarakan dan melihat berbagai tayangan tentang keprihatinan, seseorang jatuh pada rasa empati semu tanpa sekalipun menyentuh keprihatinan tersebut (FT.76).  

Fakta ketidakpedulian ini semakin dipertajam dengan sebuah ironi. Mereka yang melewati orang yang terkapar adalah kalangan yang mengedepankan praktik keagamaan, yaitu seorang imam dan anggota suku Lewi.

Inilah yang menjadi gugatan kritis dalam praktik keagamaan. Ada kalanya kesalehan dalam peribadatan kepada Tuhan, tidak cukup berdampak dalam hidup konkret seseorang.

Kedekatan seseorang dengan Tuhan dapat dipertanyakan saat iman yang diyakini tidak terjelmakan dalam tindakan.

Di titik kritis ini orang Samaria tampil sebagai pahlawan kemanusiaan universal yang melampaui dinding kesalehan ritualistik dan pengetahuan dogma yang kaku.

Orang Samaria adalah yang asing bagi orang Yehuda, tetapi memiliki perhatian pada yang terluka. Orang Samaria dipenjara dalam stigma “berdarah campuran”, bukan keturunan asli Yahudi, penyembah berhala dan deretan stigma negatif lain.

Akan tetapi kehadirannya dikontraskan dengan kaum agamawan yang mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan kedekatan tersebut.

Kehadiran orang Samaria menggambarkan cinta tanpa syarat, “yang tidak peduli, apakah mereka yang membutuhkan berasal dari tempat tertentu atau tempat lain”. 

Orang Samaria juga dikontraskan dengan mereka yang “melewati dari seberang jalan”. Mereka terpecah konsentrasi dan terburu-buru sehingga derita yang terluka gagal membuat mereka berhenti.

Sebaliknya, orang Samaria berhenti beberapa saat dan menolong orang yang terluka. Ia memberikan sesuatu yang tidak dapat dibayar kembali oleh orang yang terluka. Ia memberikan waktunya.

Paradigma waktu inilah yang ditekankan Paus Fransiskus karena menjadi kemewahan zaman milenial ini. Waktu menjadi sesuatu yang mahal di tengah derasnya perkembangan teknologi.

Waktu membuat orang-orang yang tidak relevan terlempar dan dilewati begitu saja dari seberang jalan.

Akhirnya, jawaban atas pertanyaan ahli Taurat pada Yesus yang mengawali perumpamaan ini, “Siapakah saudaraku?” terpenuhi dalam diri Orang Samaria.

Tidak sekadar hanya karena tindakan murah hati untuk menolong yang terluka, melainkan karena ia mau berani melampaui batas-batas identitasnya.

Baca juga: Ratusan Imam dan Umat Katolik Hadiri Misa Pemakaman Almarhum Pater John Prior SVD

Yehuda tidak lagi dipandangnya sebagai rival atau bahkan orang asing yang tidak relevan. Ia mampu membangun jembatan persaudaraan melampaui stigma yang mengkotak-kotakkan yang setia eksis di zaman milenial ini. 

Kisah orang Samaria yang baik hati bukanlah kisah usang yang diceritakan lalu dilupakan orang. Kisah di atas terulang setiap hari.

Kisah itu menggugat praktik keagamaan dan menggedor nurani kemanusiaan.

Selalu ada pertanyaan yang perlu direnungkan. “Siapakah aku hari ini? Apa peranku hari ini dalam hidup bersama orang lain?”

Kadangkala seseorang merasa diri sebagai korban, orang yang terkapar di pinggir jalan kehidupan.

Namun demikian, tanpa sadar seseorang berpotensi pula menjadi orang Lewi/imam yang numpang lewat atau bahkan perampok yang tidak segan-segan melukai sesama.

Tuhan menginsafkan kita:  panggilan utama yang ditawarkan-Nya adalah agar seseorang senantiasa memeluk identitas sebagai Orang Samaria.

Ia adalah pribadi yang mampu melampaui sekat-sekat identitas dan menyebut orang lain sebagai sesama.

Yang utama adalah tindakan kasih. Itulah yang mengajak orang membaca kehadiran Allah dalam diri kita. *

Pater Steph Tupeng Witin SVD
RENUNGAN - RP. Steph Tupeng Witin SVD menyampaikan Renungan Harian Katolik untuk hari Minggu 10  Juli 2022 dengan judul Memeluk Identitas Orang Samaria (Foto Pribadi)

Teks Lengkap Bacaan Renungan Harian Katolik 10 Juli 2022

Bacaan Pertama: Ulangan 30:10-14

Hendaklah engkau mendengarkan suara Tuhan, Allahmu

Pembacaan dari Kitab Ulangan:

Pada waktu itu Musa memanggil segenap orang Israel berkumpul, lalu berkata kepada mereka, “Hendaklah engkau mendengarkan suara Tuhan, Allahmu, dengan berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya, yang tertulis dalam kitab Taurat ini; dan hendaklah engkau berbalik kepada Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.

Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu, dan tidak pula terlalu jauh; tidak di langit tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan naik ke langit untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melaksanakannya?

Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan pergi ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melaksanakannya? Firman itu sangat dekat padamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu; hendaklah engkau melaksanakannya.

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah.

Mazmur Tanggapan: Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37

Refr. Tuhan, sudi dengarkan rintihan umat-Mu.

1. Aku berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, aku bermohon pada waktu Engkau berkenan, ya Allah; demi kasih setia-Mu yang besar jawablah aku, dengan pertolongan-Mu yang setia! Jawablah aku, ya Tuhan, sebab baiklah kasih setia-Mu, berpalinglah kepadaku menurut rahmat-Mu yang besar!

2. Aku ini tertindas dan kesakitan, keselamatan dari pada-Mu, ya Allah, kiranya melindungi aku! Aku akan memuji-muji nama Allah dengan nyanyian, mengagungkan Dia dengan lagu syukur,

3. Lihatlah, hai orang-orang yang rendah hati, dan bersukacitalah; biarlah hatimu hidup kembali, hai kamu yang mencari-cari Allah! Sebab Tuhan mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orangNya yang ada dalam tahanan.

4. Sebab Allah akan menyelamatkan Sion dan membangun kota-kota Yehuda. Anak cucu hamba-hamba-Nya akan mewarisinya, dan orang-orang yang mencintai nama-Nya akan diam di situ.

Bacaan Kedua: Kolose 1:15-20

Keutamaan Kristus

Pembacaan dari Surat Santu Paulus kepada Jemaat di Kolose:

Saudara-saudara, Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan. Dia adalah yang sulung, yang lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.

Ia ada mendahului segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Dialah kepala tubuh, yaitu Jemaat.

Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia lebih utama dalam segala sesuatu.

Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah.

Bait Pengantar Injil: Yohanes 6:63c.68c

Refr. Alleluya, alleluya, alleluya.

Tuhan, Sabda-Mu adalah roh dan kehidupan. Sabda-Mu adalah sabda hidup yang kekal.

Bacaan Injil: Lukas 10:25-37

Orang Samaria yang murah hati

Inilah Injil Suci menurut Lukas:

Sekali peristiwa seorang ahli Taurat berdiri hendak mencobai Yesus, katanya, “Guru, apakah yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Jawab Yesus kepadanya, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”

Jawab orang itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu; dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Kata Yesus kepadanya, “Jawabmu itu benar! Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup,”

Tetapi untuk membenarkan dirinya, orang itu berkata lagi kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?”

Jawab Yesus, “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho.

Ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya, dan sesudah itu meninggalkannya setengah mati.

Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu.

Ia melihat orang itu, tetapi melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu. Ketika melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.

Lalu datanglah ke tempat itu seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah menyiraminya dengan minyak dan anggur.

Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.

Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya, ‘Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali’.

Menurut pendapatmu siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab ahli Taurat itu, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Demikianlah Sabda Tuhan.

U. Terpujilah Kristus.

Renungan Harian Katolik lainnya

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved