Berita Lembata Hari Ini
Punahnya Benih Lokal di Lembata Jadi Sorotan Sejumlah LSM
Pengurus LSM di Lembata membahas program-program kerja yang dilakukan di Lembata terkait dengan isu perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Edi Hayong
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Lembata yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) melakukan pertemuan di Moting Ema Maria, LSM Barakat, Lamahora, Senin, 4 Juli 2022.
Mereka membahas program-program kerja yang dilakukan di Lembata terkait dengan isu perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Salah satu yang jadi keprihatinan adalah mulai hilangnya benih-benih lokal untuk pertanian.
Dijelaskan Direktur LSM Barakat Benediktus Bedil bahwa hilangnya benih lokal sebenarnya merupakan ancaman bagi pertanian di Lembata.
Benih lokal disebut lebih adaptif dengan kondisi tanah dan alam di Lembata.
Baca juga: KPU Lembata dan Pemda Bahas Dana Hibah Pemilu 2024
Mirisnya, bukannya melestarikan benih lokal, pemerintah daerah justru jadi pihak yang terus mendatangkan benih dan pupuk industri dari luar.
Selain benih yang tidak adaptif dan tahan lama, pupuk kimia atau pupuk industri juga turut memberi andil mencemari tanah dengan zat-zat kimiawi.
Keprihatinan yang sama juga diungkapkan pengurus LSM Yaspensel Benediktus Kia Assan.
Berdasarkan hasil kajiannya di Kelurahan Lewoleba Selatan dan Desa Tapobali, kata Assan, perubahan iklim secara nyata mengancam ketahanan pangan. Masyarakat petani mengeluhkan adanya tingkat gagal panen yang cukup tinggi, kesulitan memprediksi musim tanam, dan juga berkurangnya bibit lokal untuk pertanian dan perkebunan.
"Ini mulai ditinggalkan. Jagung lokal, biji- bijian yang sudah ditinggalkan. Benih lokal terancam punah padahal lebih adaptif," kata Assan.
Baca juga: Gunung Ile Lewotolok Keluarkan Bunyi Dentuman Warga Ile Ape Lembata Panik
Pada saat yang sama Melki Koli Baran dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial juga menyoroti peran pemerintah yang abai dalam melestarikan benih-benih lokal.
Pemerintah, kata dia, mengimpor benih dan pupuk dari luar yang justru mencemari tanah.
Sedangkan Peneliti Lingkungan Piter Pulang memaparkan secara ilmiah bagaimana setiap tahun, banjir membawa tanah dari daratan yang sudah tercampur dengan pupuk kimia, pestisida atau material polutan.
Jika hutan bakau sudah tak ada, maka tanah yang tercampur dengan zat kimia itu juga mencemari laut. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan erupsi Gunung Ile Lewotolok yang memuntahkan zat kimia ke lautan. Komposisi air laut pun berubah.
"Bakau punya kemampuan menguraikan cairan kimia dari darat ke laut. Bahan kimia terbawa ke laut," ungkap Piter Pulang.(*)