Wawancara Eksklusif
Hasyim Asyari: KPU Dikelola Manusia Biasa, Ingatkan Kalau Ada yang Kurang Pas (Bagian-2/Selesai)
Pakta integritas itu jadi sebuah komitmen awal penyelenggara pemilu itu tidak terpengaruh godaan setan yang terkutuk.
Hasyim Asyari: KPU Dikelola Manusia Biasa, Ingatkan Kalau Ada yang Kurang Pas (Bagian-2/Selesai)
POS-KUPANG.COM - Pemilu 2019 telah menimbulkan korban yang cukup banyak di kalangan penyelenggara pemilu. Sebanyak 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal. Kemudian 5.175 orang petugas lainnya mengalami sakit.
Dibanding pemilu 2019, pemilu serentak 2024 diperkirakan akan jauh lebih berat. Bagaimana tidak, jika pada 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg), dua tahun lagi tugas itu bertambah dengan pemilihan kepala daerah yang dilakukan sembilan bulan setelah pilpres dan pileg.
Lantas apa antisipasi KPU mencegah berulang jatuhnya korban jiwa dalam penyelenggaran pemuilu nanti?
Berikut petikan wawancara eksklusif Tribun Network dengan Ketua KPU RI Hasyim Asyari di kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Apa yang akan dilakukan KPU mengantisipasi jatuhnya korban jiwa seperti pemilu 2019?
Jadi begini ya, kalau orang meninggal itu sudah ada takdirnya. Penyebabnya bisa macam-macam. Sebagai perbandingan, pemilu 2014 ada juga sekitar 400-an (petugas meninggal). Kemudian di 2019 ada sekitar 600-an.
Ini bukan hanya soal angka, tapi aspek kemanusiannya. Maka berdasarkan evaluasi yang sudah disampaikan pemilu 2019 itu, soal petugas yang meninggal, itu ada tim dari UGM (Universitas Gajah Mada), Kementerian Kesehatan, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Mereka masing-masing melakukan riset atau penelitian. Kemudian kesimpulannya atau temuannya adalah kecenderungannya yang meninggal itu usianya di atas 50 tahun. Yang kedua kecenderungannya punya komorbid atau penyakit tambahan. Dan kalau kita cek komorbidnya itu di antara hipertensi, serangan jantung, dan gula darah tinggi.
Sudah ada bawaan itu ditambah beban kerja yang tinggi, jadi kerjanya kan enggak cuma kerja fisik, terutama teman teman pasti ada tekanan politik, tekanan mental. Pada saat itu kemudian ada titik pressure yang kemudian menjadikan orang drop. Ini yang menjadi problem.
Sehingga berdasarkan pengalaman tersebut, sudah kita adopsi di pilkada 2020 kemarin misalkan dengan situasi Covid di 2020 dan juga berdasarkan pengalaman yang lalu, disarankan penyelenggara maksimal 50 tahun. Sehat, sehat atau bebas dari komorbid tiga jenis tadi. Itu yang kita adopsi di Pilkada 2020. Nanti akan kita adopsi lagi untuk persyaratan menjadi penyelenggara yang tadi itu.
Ditambah situasi percovidan, sebisa mungkin vaksin dua kali. Juga merintis kampus-kampus kita ini itu kan ada program namanya ‘Merdeka Belajar’. ‘Merdeka Belajar’ itu didorong supaya mahasiswa itu lebih banyak magang. Dan tampaknya teman-teman kampus banyak yang tertarik membangun kerja sama pemilu dengan KPU. Ya rata-rata untuk topik ini, menugaskan mahasiswa menjadi anggota KPPS bertugas di TPS-nya masing-masing.
Karena ketentuan Undang-Undang Pemilu begini, bahwa anggota KPPS di setiap TPS itu bekerja di domisili yuridis sebagaimana KTP. Dengan begitu maka ada beberapa keuntungan di dua pihak. Di satu sisi kampus bisa mempraktikkan magang, dan juga yang membutuhkan program ‘Merdeka Belajar’ itu kemudian masuk menjadi petugas KPPS.
Di sisi lain, kami di KPU mendapatkan suntikan tenaga yang fresh, anak-anak muda, well edu campaign, dan tugasnya di kampung halamannya masing-masing. Karena anggota KPPS kan harus sesuai KTP. Jadi kampus ketika menugaskan enggak usah ke mana-mana, tugasnya di kampung halamannya sendiri-sendiri.
Dan juga sisi lain, teman mahasiswa yang kritis-kritis, kalau kemudian kemarin mengkritisi pemilu, nanti bisa tahu sendiri situasi di lapangannya belajar berpolitik ya, tapi bukan sebagai kontestan.