Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Minggu Paska VII, 29 Mei 2022: Buya dan Doa Yesus
Buya, negarawan bersahaja yang hangat, inklusif dan kritis. Bahasa lisan dan tulisan di berbagai media sangat cerdas, kritis, tajam menghujam nurani
Maka sebelum kepergian-Nya, Yesus berdoa agar para murid-Nya bersatu. Konteks zaman Injil Yohanes ditulis, para murid Yesus tidaklah berasal dari kalangan yang seragam, setingkat, atau seasal. Perbedaan satu sama lain cukup besar.
Apakah banyaknya perbedaan itu menjadi alasan untuk bertindak sendiri-sendiri? Tidak. Justru keragaman itu menjadi sumber kekuatan “baru” untuk setia bersatu.
Ini paradoks kehidupan komunitas. Perbedaan itu ada dan dirasakan. Maka semakin dirasakan pula kebutuhan untuk bersatu.
Kesatuan yang diidealkan Yesus itu tidak identik dengan keseragaman. Justru keragaman itu mesti dipadukan sehingga lahir kekuatan baru yang lebih dahsyat yang memberi ruang agar setiap orang berkembang seluasa-leluasanya.
Tapi juga agar saling memperhatikan satu sama lain sehingga menghasilkan sesuatu yang “baru.”
Doa Yesus agar semua orang bersatu sesunguhnya berbasis pada kesatuan diri-Nya dengan Bapa. Ungkapan ini mungkin saja terasa begitu teoretis, bahkan sarat dengan muatan mistik dan sulit dimengerti.
Tapi sebenarnya Yohanes mengajak kita memakai cara berpikir sangat biasa. Kesatuan antara Yesus dan Bapa itu bukan kesenyawaan sehingga yang satu sama persis dan melebur dengan yang lain.
Kesatuan yang ditonjolkan ini adalah kesatuan yang timbul karena yang satu patuh dan yang lain menaruh perhatian.
Yesus sebagai Anak, patuh, taat, setia pada kehendak Bapa. Pada pihak lain, Bapa menopang dan meneguhkan apa yang dilakukan Sang Anak. Keduanya membangun keselarasan berdasar kasih.
Kesatuan ini tidak hanya menjadi model bagi para murid, tapi menjadi dasar dan sumber persatuan kita semua.
“…,Supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu” (Yoh 17:22) “...Supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (Yoh 17:26).
Yesus dipenuhi kasih Bapa sehingga Dia mampu menanggung segala kekejaman dan penderitaan salib agar dapat menyelamatkan kita.
Oleh kuat-kuasa salib ini, Yesus telah menyalibkan kodrat manusiawi kita yang cenderung berdosa dan membebaskan kita agar dapat dipenuhi dengan kasih Allah sama yang Ia sendiri telah alami.
Ini adalah kasih yang penuh gairah, memiliki kuat-kuasa untuk membuat lembut hati yang paling keras sekalipun dan mentransformasikan kita semua menjadi suatu umat yang mampu mengasihi secara mendalam sebagaimana Allah sendiri mengasihi.
Ini adalah kasih yang bersifat inklusif, kasih yang mampu meruntuhkan segala tembok yang memisahkan kita satu dengan lain (Sabda: 2019).