Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Minggu Paska VII, 29 Mei 2022: Buya dan Doa Yesus

Buya, negarawan bersahaja yang hangat, inklusif dan kritis. Bahasa lisan dan tulisan di berbagai media sangat cerdas, kritis, tajam menghujam nurani

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik, Minggu Paska VII, 29 Mei 2022: Buya dan Doa Yesus (Yoh 17: 20-26)

Oleh: RP. Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - Langit Indonesia berduka atas kepergian salah satu tokoh pluralisme, Buya Syafii Maarif pada Jumat 27 Mei 2022.

Buya adalah negarawan bersahaja yang hangat, inklusif dan kritis. Bahasa lisan dan tulisan di berbagai media sangat cerdas, kritis dan tajam menghujam nurani.

Sejarah hidupnya adalah dialog intens antara kata-kata dan tindakan. Keindahan itu berpendar dalam detak hidupnya yang rapuh, tapi tak pernah surut integritas.

Buya adalah sosok manusia biasa yang telah berjuang menjadi “sempurna” dengan mengusung nilai kesatuan bangsa di tengah tubuh bangsa yang beragam.

Kolumnis Budiman Tanuredjo melukiskan Buya Syafii Maarif sebagai “Muazin” bangsa yang gelisah dengan riak sejarah Indonesia yang diombang-ambingkan politik identitas.

“Muazin” adalah sang pengingat yang selalu berseru-seru menyuarakan kebaikan. Berseru bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan bangsa.

“Muazin” bangsa ini pantas disematkan pada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid dan Romo Mangunwijaya (Kompas 28/5).

Tokoh-tokoh bangsa ini telah meninggalkan jejak sejarah hidup abadi. Bangsa ini plural dalam berbagai aspek hidup. Mereka mengajarkan kita agar tidak pernah boleh lelah berseru dan menulis demi kesatuan dan keutuhan Indonesia.

Semua orang di negeri ini mesti hidup tenang, damai dan bersaudara. Semua bersatu dalam keanekaragaman.

Kesatuan tidak hanya menjadi ideal dalam ranah bangsa, negara atau politik. Ia juga menjadi problem besar dalam kehidupan murid-murid Yesus.

Sejarah agama-agama menegaskan bahwa bukan intimidasi, tekanan atau penganiayaan yang dapat meluluh-lantakkan sebuah komunitas iman.  

Kehancuran itu justru terjadi ketika ada perpecahan dalam komunitas itu sendiri. Perpecahan dalam komunitas membuat umat itu terpecah belah, berkeping-keping dan membuka gerbang penaklukan atas atas nama agama, politik, ekonomi dan sebagainya dari luar komunitas.

Fakta ini menjadi keprihatinan Yesus. Ia sadar dan tahu bahwa selalu ada potensi perpecahan di dalam komunitas murid-murid yang Ia bangun.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved