Sidang Kasus Astri Lael

Begini Pendapat Pengamat Hukum Terkait Lima Hakim dalam Perkara Pembunuhan Astri-Lael

teori yang bisa menjelaskan itu dan bukan hal aneh bukan hal baru. Ini hanya replikasi pada kasus yang berbeda tetapi bisa dijelaskan

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Pengamat Hukum NTT, Deddy Manafe S.H., M.H 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Hukum NTT, Deddy Manafe, S.H., M.H menyebut, pemilihan lima hakim dalam sidang perdana kasus pembunuhan Astri Manafe dan Lael Maccabe dengan tersangka Randy Badjideh merujuk pada Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman. 

Hal ini diungkapkan dalam Pos Kupang Podcast yang dipandu oleh Host Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo, Rabu, 11/05/2022.

"Kalau kita lihat ini sebagai ilmuwan, pendekatannya ada banyak, apalagi Filsafat hukum pidana itu ada banyak aliran, saya ambil contoh dua aliran saja. Yang pertama aliran positivisme artinya merujuk pada Undang - Undang, apa bunyi Undang - Undang. Jadi kalau bunyi Undang - Undang kita akan masuk pada Pasal 24 ayat 1 Undang - Undang Dasar yang menyatakan bahwa kekuasaan Kehakiman itu adalah Kekuasaan yang Merdeka. Artinya Hakim itu mau dari Rote kek mau dari Sabu kek mau dari Jawa mau dari Sumatera, bukan soal karena asalnya dia itu tidak menjadi variable yang berpengaruh terhadap isi putusan dan dia merdeka, siapapun dia. 
Itu pendekatan positivisme," kata Dosen Fakultas Hukum Undana ini. 

Baca juga: BPKH, BPN, BWS II NTT Lanjutkan Proses Pekerjaan dan Pengukuran Untuk Ganti Untung Bendungan Manikin

"Mari kita lihat aliran Filsafat Pragmatical Realism, realitas praktek pengadilan. Nah kalau kita pakai pada aliran itu maka di situ asumsi bisa diterima. Minimal kita bisa lihat dari dua sisi yaitu sisi fungsi manifestnya yaitu fungsi positifnya, disitu mestinya ada perimbangan dengan hakim lokal kita sehingga kasus ini yang bobotnya lebih tinggi dari kasus - kasus yang lain sehingga butuh lima hakim majelis, ya kasihlah satu dua anak daerah supaya mereka belajar pada kasus yang bobot berat. Itu positifnya biar kita ada ruang belajar. Kasih kesempatan untuk anak daerah mengecap bobot perkara yang agak berat," lanjutnya. 

Dari sisi negatif, menurut Deddy, ini juga menunjukkan ada semacam satu kecurigaan bahwa kalau anak daerah tidak netral tetapi juga tidak menjadi jaminan bahwa anak non daerah pasti netral.

"Apalagi Filsafat yang judul pragmatikal. Bagaimana kalau mereka berpikiran pragmatis? Aliran teorinya bilang begitu, bukan kata saya dan itu ada banyak ahli yang membahas itu dan ada banyak yang membuktikan dan Indonesia tidak kurang - kurang Hakim nakal sehingga tentunya apapun yang dipraktekkan hari ini yakinlah bahwa ada teori yang bisa menjelaskan itu dan bukan hal aneh bukan hal baru. Ini hanya replikasi pada kasus yang berbeda tetapi bisa dijelaskan," jelasnya. 

Baca juga: Tokoh Muda Dorong Pemda Manggarai Jadwalkan Kegiatan Taraf Nasional di Labuan Bajo

Deddy berharap, praktek ini menjadi satu praktek pembelajaran sehingga bagi hakim anak daerah, meskipun tidak terlibat secara langsung, bisa belajar dengan menyaksikan. 

"Ini soal metode belajar saja. Tentu lebih praktis, lebih bagus kalau dia terlibat langsung tidak sekedar menonton dan membaca tetapi kedepan mestinya dipertimbangkan," ujarnya. 

"Yang kedua, harapan saya sebagaimana aliran positivisme tadi, bahwa Majelis Hakim siapapun, dari manapun dia, latar belakangnya, dia tetap imparsial, dia tetap menjunjung tinggi Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan itu juga ditulis dalam Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman yang menjadi payung bagi mereka," kata dia. 

Paling tidak, lanjut Deddy, hal ini juga menjadi tantangan bagi hakim - hakim anak daerah secara lebih dalam karena bisa jadi kualifikasi mereka yang belum memenuhi syarat untuk bisa menangani kasus dengan bobot seperti ini. 

Baca juga: President Director PT CLL Optimis Bawang Eban Tembus Pasar Internasional

"Sederhananya begini, Hakim kan mereka punya diklat - diklat jadi seperti kita dosen juga saya S2 tidak bisa bergaya seperti S3 dan saya juga tidak bisa bergaya seperti yang sudah profesor. Kan begitu. Meskipun kita semua dosen. Punya kewenangan berdiri di kelas tetapi kami dosen juga punya kompetensi. Kalau cuma S2 maka kompetensimu hanya boleh mengelola melaksanakan ini, ini, ini. S3 begini tupoksinya. Tantangan dari Hakim teman - teman kita yang lokal ini harus meningkatkan kualitas supaya bahkan suatu ketika ada perkara yang bobotnya lebih tinggi lagi daripada ini mereka bisa jadi Ketua Majelis Hakim," urainya. 

Meski demikian, kata Deddy, ada satu hal yang perlu didalami bahwa ketika Ketua Pengadilan sendiri yang memimpin, hal itu tidak hanya sekedar untuk menjawab perasaan keadilan masyarakat tetapi bisa juga bahwa wakilnya dan anggotanya tidak ada yang pada kualifikasi harus memimpin persidangan. 

"Akan jadi sial bagi kita dalam tanda petik, bahwa karena jabatan dia harus bertanggung jawab padahal mungkin dia juga belum memenuhi kualifikasi. Ini menjadi tanda petik sial bagi kita tapi semoga tidak seperti itu karena saya yakin mereka hakim yang hebat - hebat karena untuk sampai jadi ketua itu sudah harus teruji sekian waktu dalam berbagai perkara," ujarnya. 

Baca juga: Bupati Kupang Korinus Masneno  Minta Permasalahan Bendungan Manikin Segera Diselesaikan

Dikatakan, dari segi kasusnya, pembunuhan berencana bukan baru pertama kali terjadi di NTT. Terutama kasus ini terungkap dalam durasi sekian bulan setelah terkubur. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved