Berita Nasional Hari Ini

KPK Protes Putusan MA, Alexander Marwata: Memangkas Hukuman Koruptor Tak Mencerminkan Keagungan MA!

Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata tersinggung dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman penjara terpidana korupsi, Edhy Prabowo.

Editor: Frans Krowin
TRIBUNNEWS / HERUDIN
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata 

POS-KUPANG.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata sangat tersinggung dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman penjara terpidana korupsi, Edhy Prabowo.

Ketersinggungan KPK tersebut, diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

Dia mengatakan, putusan MA tersebut sangat tidak mencerminkan keagungan dari Mahkamah Agung.

"Beberapa putusan MA terkait perkara yang ditangani ini, ya 'agak-agak', dari sisi kami memang sangat mengecewakan."

Dikatakannya, pertimbangan-pertimbangan yang dibuat majelis hakim MA, berkecenderungan tidak mencerminkan keagungan lembaga itu.

"Pertimbangan-pertimbangan MA, rasa-rasanya kok ya tidak mencerminkan keagungan sebuah mahkamah. Ya, menurut kami seperti itu," kata Alex, Sabtu 12 Maret 2022.

Menurut pertimbangan majelis hakim MA, Edhy Prabowo dinilai telah bekerja dengan baik, yaitu menerbitkan Permen 12/2020.

Permen itu dinilai baik, karena mengizinkan kembali ekspor benih lobster atau benur.

Baca juga: Diancam Hukuman Lima Tahun Penjara, Edhy Prabowo Eks Menteri KKP Minta Maaf ke Jokowi dan Prabowo

Permen tersebut menghapus Permen 56/2016 yang berisi melarangan ekspor benur yang diterbitkan menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.

Alexander Marwata mengatakan, MA tidak seharusnya menilai baik buruknya kebijakan.

Karena sumber persoalannya bukan pada baik buruknya kebijakan. Tapi tindakan terpidana Edhy Prabowo yang melakukan perbuatan melanggar hukum.

"Sebetulnya sebuah kebijakan ya, kebijakan menteri yang lalu seperti itu, kebijakan menteri yang sekarang seperti ini."

"MA ini seolah-olah hakimnya men-judge, menghukum kebijakan yang lalu tuh tidak benar, kan seperti itu. Makanya dikoreksi dan dianggap itu sebagai suatu hal yang baik," papar Alex.

Meski kecewa, Alex mengatakan pihaknya tetap menghormati putusan majelis hakim terhadap Edhy Prabowo.

"Tetapi saya kira kita harus patuh apa pun, karena aturan mainnya seperti itu, ya."

"Seburuk apa pun putusan hakim itu, harus kita hormati dan kita laksanakan," tuturnya.

Hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berkurang lima tahun di tingkat kasasi.

Sebelumn di tingkat banding, terdakwa perkara suap terkait izin budi daya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu divonis sembilan tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta," bunyi petikan putusan Mahkamah Agung (MA) seperti dikutip Tribunnews, Rabu 9 Maret 2022.

Baca juga: Edhy Prabowo Cs Terima Uang Rp 25,75 Miliar, Nama Fahri Mahzah & Azis Samsuddin Disebut-Sebut, Lho?

Tak hanya kurungan kurungan bui, MA juga mengurangi pencabutan hak politik mantan Politisi Partai Gerindra itu, dari tiga tahun menjadi dua tahun.

Hukuman tersebut dihitung seusai Edhy menjalani masa kurungan.

Dalam pertimbangannya, hakim beralasan pengurangan hukuman Edhy Prabowo dilakukan karena hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo.

Menurut hakim, Edhy dianggap telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dia memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan.

"Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan," tulis putusan tersebut.

Putusan kasasi dibacakan pada Senin 7 Maret 2022.

Hakim MA yang menangani perkara itu, yakni adalah Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani.

Sebelumya, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan banding Edhy Prabowo.

Artinya, PT DKI Jakarta memperberat vonis mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, dari lima tahun menjadi sembilan tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa (Edhy) dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta."

"Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian bunyi amar putusan yang dikutip, Kamis 11 November 2021.

Hakim PT DKI juga mewajibkan Edhy Prabowo membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS, dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan oleh Edhy Prabowo.

Edhy Prabowo, terpidana kasus penyalahgunaan keuangan negara. Edhy Prabowo merupakan salah satu orang kepercayaan Prabowo Subianto.
Edhy Prabowo, terpidana kasus penyalahgunaan keuangan negara. Edhy Prabowo merupakan salah satu orang kepercayaan Prabowo Subianto. (Warta Kota.com)

Baca juga: Lima Fakta Ini Bikin Edhy Prabowo Tak Berkutik Dalam Kasus Ekspor Benur, Kasusnya Diungkap Sosok Ini

Uang itu harus dibayar Edhy Prabowo dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jika tidak dibayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang oleh jaksa, untuk menutupi kekurangan uang pengganti.

Jika harta bendanya tak cukup, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun.

Hakim PT DKI Jakarta juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun, sejak Edhy selesai menjalani pidana pokok.

Sebelumnya, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Edhy terbukti secara sah bersalah dalam kasus suap izin ekspor benih lobster alias benur.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp 400 juta."

"Dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," ucap hakim ketua Albertus Usada, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 15 Juli 2021.

Ia melanggar pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Dalam vonisnya, hakim juga mewajibkan Edhy Prabowo membayar uang pengganti atas tindakan korupsi yang dia lakukan, sebesar Rp 9,68 miliar dan 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS).

"Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa untuk menutupi uang peganggi tersebut."

Baca juga: Artis Cantik Ini Kecipratan Uang Suap Edhy Prabowo, Dipanggil Jadi Saksi Malah Tak Datang, Kok Bisa?

"Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti hukuman dua tahun penjara," tutur Albertus.

Edhy Prabowo juga dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun, sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.

Baca juga: Bakal Laporkan Perkembangan PPKM Darurat kepada Jokowi, Luhut: Kami Amati Betul Masalah Ekonomi

"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ucap Albertus.

Hakim menyatakan Edhy Prabowo terbukti menerima uang 77 ribu dolar AS dari Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama, dengan tujuan agar izin budidaya lobster dan izin ekspor benih lobster dapat dipercepat.

Hakim juga menyatakan Edhy menerima puluhan miliar melalui terdakwa lainnya, sebagai keuntungan tidak sah PT ACK.

JPU KPK Tuntut Hukuman Lima Tahun Penjara

Sebelumnya, JPU KPK membacakan tuntutan atas perkara dugaan suap ekspor benih bening lobster alias benur, untuk terdakwa eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Tuntutan itu dibacakan jaksa di ruang sidang Kusumahatmaja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa 29 Juni 2021.

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Edhy Prabowo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

Jaksa juga menyatakan Edhy Prabowo melanggar Pasal 12 huruf a UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dengan begitu, jaksa menuntut bekas Menteri Kelautan dan Perikanan itu dengan kurungan penjara selama 5 tahun, dikurangi masa tahanan sementara.

Jaksa juga menuntut hukuman denda untuk Edhy Prabowo sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan.

"Menjatuhkan pidana penjara kepada Edhy Prabowo selama 5 tahun penjara dikurangi masa tahanan sementara dan denda, dengan perintah tetap ditahan" tuntut jaksa.

Baca juga: Heran, Didakwa Terima Suap Rp 25,7 Miliar,Edhy Prabowo Tetap Ngaku Tidak Bersalah,Apa Alasannya?

Edhy juga dikenakan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9.687.447.219 dan US$77 ribu.

"Jika tidak diganti, maka harta benda akan disita oleh negara."

"Jika harta tidak mencukupi, maka akan diganti hukuman pidana 2 tahun penjara," ucap jaksa.

Jaksa juga menuntut Edhy Prabowo dicabut hak dipilihnya sebagai pejabat publik selama 4 tahun, sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.

Jaksa menyatakan hal yang memberatkan Edhy Prabowo dalam perkara ini, karena terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.

Dia juga dianggap tidak memberikan teladan yang baik sebagai selaku penyelenggara negara, dalam hal ini menteri.

Sedangkan hal yang meringankan, jaksa menganggap politikus Partai Gerindra itu belum pernah ditahan, serta bersikap sopan dalam persidangan, dan beberapa barang korupsi telah disita negara.

Jaksa juga menuntut uang sekitar Rp 51,7 miliar yang berada di bank garansi dalam kasus suap izin ekspor benih bening lobster alias benur, dirampas untuk negara.

Jaksa mengungkap terbitnya bank garansi yang awalnya karena ada surat komitmen antara Kepala Balai Besar Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta I KKP Habrin Yake, dengan seluruh eksportir benur.

Surat tersebut ditandatangani seluruh eksportir benur dengan Habrin Yake, atas permintaan Staf khusus Edhy Prabowo, Andreau Misanta Pribadi.

"Walaupun Kementerian Keuangan belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Ekspor BBL."

"Sehingga kemudian terkumpul uang di Bank Garansi seluruhnya Rp 52.319.542.040," ucap jaksa dalam ruang sidang, Selasa 29 Juni 2021.

Selanjutnya, kata jaksa, atas permintaan Andreau Misanta Pribadi, para esportir benur diharuskan menyetor uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh terdakwa ke rekening bank garansi, sebesar Rp 1.000 per ekor BBL jenis pasir, dan Rp 1.500 per ekor BBL jenis mutiara.

Kendati begitu, kata jaksa, dari seluruh perusahaan eksportir BBL yang telah membayar jaminan Bank Garansi, terdapat tiga perusahaan yang belum melakukan realisasi ekspor.

"Perusahaan itu yakni UD Balai Sukses Mandiri sebesar Rp 150 juta; PT Sinar Lautan Perkasa Mandiri sebesar Rp120 juta; dan PT Hutama Asia Sejahtera sebesar Rp 250 juta," terang jaksa.

Baca juga: Hakim Heran Mengapa Ali Mochtar Ngabalin Ikut Kunjungan Kerja Edhy Prabowo ke Hawai, Statusnya Apa?

Atas dasar itu jaksa berpendapat, jaminan bank garansi yang telah dibayarkan oleh ketiga perusahaan tersebut, sudah selayaknya dikembalikan kepada perusahaan yang bersangkutan.

Di mana jika ditotal dari keseluruhan uang yang seharusnya dikembalikan ke perusahaan yang bersangkutan, yakni senilai Rp 520 juta.

Sedangkan uang sejumlah Rp 51,719 miliar yang merupakan sisa uang dari Rp 52,319 miliar yang sudah masuk di Bank Garansi, dikurangi uang yang seharusnya dikembalikan ke tiga perusahaan di atas, kata jaksa, jangan sampai disalahgunakan.

Oleh sebab itu, jaksa meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini, merampas uang tersebut dari Bank Garansi.

"Maka PU (penuntut umum) memohon kepada majelis hakim yang mulia agar uang tersebut dinyatakan dirampas untuk negara," cetus jaksa. (*)

Berita Terkait Terpidana Koruptor Edhy Prabowo

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved