Berita Lembata Hari Ini
Ini Cerita Awal Konsep Sare Dame Dicetuskan di Lembata
Pemerintah Kabupaten Lembata menggelar kegiatan Eksplor Budaya yang sebelumnya bernama Sare Dame
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Pemerintah Kabupaten Lembata menggelar kegiatan Eksplor Budaya yang sebelumnya bernama Sare Dame sejak tanggal 7 Februari-7 Maret 2022.
Kegiatan ini sempat menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Lalu siapakah orang pertama yang mencetuskan ide ini dan apa semangat dasar dari konsep rekonsiliasi berbasis budaya ini?
Adalah Dr Hippolitus Kristoforus Kewuel, seorang Dosen Antropologi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya yang pertama kali menyampaikan konsep Sare Dame kepada Bupati Lembata Thomas Ola Langoday.
Pada tanggal 16 Oktober 2021, Keduanya bertemu dalam sebuah webinar yang membahas tentang kemungkinan mendirikan sebuah perguruan tinggi di Kabupaten Lembata.
Baca juga: Badan Anggaran DPRD Lembata Rekomendasi Rapat Kerja Dengan Pemda Bahas Festival Sare Dame
"Itu pertama kali saya berkenalan dengan pak Bupati. Itu kesan pertama saya dengan pak Bupati," ungkap Dr Hippo saat ditemui di Hotel Palm Lewoleba, Minggu, 6 Februari 2022.
Komunikasi mereka berlanjut keesokan harinya. Melalui telepon, Dr Hippo dan Bupati Thomas berbincang banyak hal termasuk mengenai pembangunan di Kabupaten Lembata.
Kata Dr Hippo, kala itu, Bupati Thomas menanyakan pendapat kepadanya apa yang bisa dilakukan di sisa waktu menjabat sebagai bupati.
Dr Hippo pun spontan menyebutkan konsep sare dame sebagai dasar dari keseluruhan pembangunan di Kabupaten Lembata. Dia menilai masyarakat di Lembata hari ini terkotak-kotak akibat politik polarisasi yang terjadi selama ini. Oleh sebab itu, perlu ada sare dame sebelum pembangunan lainnya. Pelaksanaan program ini pun berlanjut.
Baca juga: Sebelum Sare Dame, Sebaiknya Perbarui Dulu Dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Lembata
Menurut Dr Hippo, pemerintah daerah sama sekali tidak memaksakan program sare dame itu kepada masyarakat adat. Tapi, dia menyebutnya sebagai `kondisioning' dengan maksud kekayaan masyarakat adat itu bisa jadi milik bersama.
"Gerakan ini bukan paksaan dari pemerintah," tegasnya.
Pada tanggal 5-12 November 2021, Dr Hippo dan tim bersama tim teknis Dinas Pariwisata mengelilingi beberapa tempat di Lembata dan bertemu sejumlah masyarakat adat. Dalam pertemuan itu, mereka tidak pernah meminta masyarakat adat untuk menggelar ritual.
"Tapi kita sampaikan mereka punya sesuatu sebagai kekuatan," ujarnya.
Bagi dia, pemerintah daerah hanya menyampaikan kepada masyarakat adat bahwa mereka punya sesuatu sebagai kekuatan yang dalam konteks ini disebut sare dame. Kekuatan itu, tambahnya, yang harus dihidupi.
Lebih jauh menurut dia, kekuatan yang ada pada masyarakat adat ini perlu jadi dasar dari pembangunan di Lembata.