Berita Nasional
Proyek Penyewaan Satelit Kemenhan Disentil Menko Polhukam Mahfud MD, Ryamizard Sebut Perintah Jokowi
Ryamizard Buka Suara, Sebut Perintah Jokowi Sewa Satelit 123 Meski Tak Ada Anggaran
Menurut Ryamizard, semula Indonesia masih membayar tagihan sewa satelit kepada Avanti. Pada akhir Agustus 2016, pemerintah membayar sewa satelit itu sekitar 3,75 juta dollar AS.
Namun, selanjutnya tidak ada lagi pembayaran dari kas negara untuk sewa satelit tersebut.
Hingga 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar Kemenhan mencapai 16,8 juta dollar AS.
Akibatnya, Avanti mengajukan gugatan arbitrase ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris. Pengadilan pun menghukum pemerintah RI membayar Rp 515 miliar kepada Avanti.
Tak hanya soal sewa, masalah juga muncul pada pengadaan satelit untuk mengisi slot orbit yang sama.
Salah satu perusahaan yang terlibat dalam kontrak pengadaan satelit itu, Navayo International AG, menuntut pemerintah RI di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura.
Pengadilan melalui keputusannya 22 April 2021 pun menghukum pemerintah Indonesia membayar tagihan pengadaan satelit kepada Navayo sebesar 16 juta dollar AS.
Tunggu proses hukum
Terkait persoalan ini, Menko Polhukam Mahfud MD meminta semua pihak menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
Mahfud mengatakan, pemerintah menempuh langkah hukum terkait proyek tersebut setelah melalui pertimbangan mendalam dan komprehensif.
"Sampai akhirnya dilakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT), bukan hanya audit reguler oleh BPKP," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Senin (17/1/2022).
Dari dua audit itu, kata Mahfud, hasilnya ditemukan terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang merugikan keuangan negara dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara.
Contohnya, pemerintah Indonesia telah membayar gugatan Avanti sebesar Rp 515 miliar berdasarkan putusan Arbitrase di Inggris pada 2019.
Selain itu, Mahfud mengungkapkan, pemerintah Indonesia pada 2021 juga menerima tagihan lagi sebesar 21 juta dolar AS berdasarkan putusan Arbitrase Singapura atas gugatan Navayo.
Padahal, berdasar hasil audit yang dilakukan BPKP, barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga selundupan karena tidak ditemukan dokumen pemberitahuan impor barang di Bea Cukai.