Wawancara Eksklusif
Blak-blakan Ketua KPU RI Ilham Saputra: Menikmati Dibully (Bagian 2/Selesai)
Ilham juga memastikan keluarganya memahami kondisi pekerjaannya yang sangat erat dengan perundungan di sosial media.
Tantangan dalam pengaturan berikutnya yang paling perlu diperhatikan?
Challengenya beban kerja. Beban kerja petugas kami dibawah. Kalau kami di KPU RI ini kan menjadi regulator yang menurunkan undang-undang menjadi peraturan komisi pemilihan umum. Akan tetapi di provinsi dia menjadi koordinator bagi kabupaten/kota. Nah kabupaten/kota inilah eksekutor. Dia bekerja menjadi ujung tombak kami dan tentu ini beban kerja menjadi penting.
Untuk masa depan, apa mungkin teknis pemungutan suara tidak seperti saat ini?
Sebetulnya kami sudah melakukan semacam contoh di Pilkada 2020 lalu. Kami menerapkan sistem informasi rekapitulasi. Jadi nanti hasil penghitungan yang kita sebut C Plano itu bisa di foto, kemudian dibawa ke tingkatan di atasnya lagi nah itu tinggal melihat itu. Para saksi tidak perlu lagi menerima formulir, tinggal di scan saja, semua sudah punya softcopynya. Mau hardcopynya tinggal print.
Pemungutan suaranya sendiri? Apakah tetap harus datang ke TPS, mencoblos surat suara?
Pemungutan suara itu kita belum pernah ada masalah. Persoalan kita ada di penghitungan dan rekapitulasi. Ketika pemungutan masyarakat datang berbondong-bondong tidak ada masalah, tidak pernah ada masalah ketika masyarakat datang ke TPS. Sementara sekarang sebagian negara yang menggunakan e-voting itu sudah menggunakan kembali metode manual.
Jadi memang saya kira pemungutan suara tidak ada masalah. Tetapi yang kami terapkan dalam beberapa kali pemilu adalah dengan rekapitulasinya harus terbuka. Jadi form C yang ada di TPS itu kami scan, orang bisa lihat. Nah pengalaman Pilkada 2020 juga seperti itu. Difoto, discan, nanti semua saksi kemudian petugas kami bisa melakukan rekapitulasi.
E-voting itu kelemahannya apa?
Kalau mesinnya rusak, itu gimana? Persoalan maintenance juga. Kemudian kita mau sewa atau beli mesin itu? Itu juga harus diperhatikan. Lebih ribet sebetulnya. Pengalaman di beberapa negara misalnya di Filipina, dia menggunakan e-voting kemudian mesinnya ngadat, akhirnya yang dihitung tetap manual. Itu kan membuat lebih complicated, rumit, belum lagi sosialisasi kepada masyarakat terhadap e-voting itu. Kan tidak semua masyarakat kita paham terhadap e-voting.
Apa saran Anda supaya kejadian di 2019, banyak anggota KPPS kehilangan nyawa, setidaknya resiko itu bisa diminimalkan?
Sebetulnya riset terhadap itu sudah kita terima dari berbagai universitas. Salah satunya adalah misalnya komorbid. Sulit bagi kita untuk mengecek kesehatan kemudian kita menerapkan syarat kesehatan mereka itu terlalu tinggi. Karena apa? Gajinya nggak seberapa, masuk rumah sakit seharga gajinya.
Kemudian kami menerapkan batas usia, 20 sampai 50 tahun. Itu pun banyak komplain karena memang sulit kita menemukan teman-teman KPPS dan sebagainya yang mau bekerja ketika itu.
Apa statement bapak terkait soal kepemiluan yang pada 2022 itu sudah memasuki tahap untuk mencapai 2024?
Tentu saat ini KPU sedang menyiapkan beberapa tahapan-tahapan pemilu, terutama karena tahapan pemilu itu 20 bulan yang diatur oleh undang-undang. Oleh karenanya tentu persiapan pemilunya harus dilakukan dari sekarang. Jadi kita nggak bisa bicara pemilunya baru 2024 kok sekarang udah mulai, ya tentu karena tahapannya seperti itu. Itu yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat bahwa memang pekerjaan KPU itu seperti siklus.
Selesai pemilu, persiapan, pemilu lagi. Jadi itu yang perlu diketahui, karena banyak pertanyaan kalau nggak ada pemilu ngapain, padahal banyak hal yang perlu kita persiapkan untuk mensukseskan pemilu dan pilkada 2024 yang akan datang. (tribun network/vincentius jyestha)