Cerita Anak Muda yang Coba Berkompromi dengan Belis
Belis dan Bayang Kekhawatiran Anak Muda, Cerita Anak Muda yang Coba Berkompromi dengan Belis.
Menurutnya dengan perkembangan zaman yang mulai maju, dirinya sangat merasakan bahwa nilai dari belis sudah bergeser. Tetapi ketika mendalami lagi maknanya, belis sebenarnya memiliki nilai-nilai filosofis didalamnya. Ketidakpahaman orang-orang dewasa ini yang membuat makna belis sudah mulai terkikis.
“Saya sebagai anak muda tentunya tetap mendukung proses pelaksanaan belis. Saya tidak setuju ketika belis dinilai mempersulit kedua bela pihak. Keberadaan belis harus dipahami sebagai simbil yang menguatkan hubungan antara mempelai laki-laki dan perempuan,” ujar mahasiswa yang sedang mengerjakan tesisnya.
Dilain kesempatan, saya pun bertemu dengan Carlin Karmadina, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Nipa. Obrolan saya dengan perempuan yang akrab disapa Carlin ini begitu lancar. Sebelumnya, kami berdua sempat terlibat obrolan ringan tentang pelaksanaan belis dewasa ini.
Carlin menilai anak muda sekarang sudah kehilangan dan tidak mempelajari belis dengan baik sehingga muncul ketidakpahaman. Lalu belis bergeser dan menciptakan kesan jual beli. Kesan itu bisa jadi memang disengaja.
Bagi dirinya, belis adalah wujud penghormatan terhadap martabat perempuan dan harus berjalan dengan semestinya.
“Saya pribadi merasa bahwa nilai seorang perempuan tidak bisa digantikan dengan apapun, termasuk belis. Nilai-nilai belis harus diajarkan secara turun temurun. Saya sendiri pro dengan pelaksanaan dari belis. Saya menyebut diri sebagai orang yang paham, saya akan mengedukasi orang lain bahwa belis itu tidak salah, tapi ketidakpahaman itu yang membuat hal lain menjadi buruk,” ungkap mahasiswi semester delapan ini.
Saya pun bertemu dengan teman perempuan saya yang lain, Natalia Lehan namanya. Teman kuliah dan teman diskusi tentunya. Kedekatan kami di bangku kuliah, melahirkan banyak diskusi menarik terutama pandangannya tentang belis. Saat diwawancara ternyata kecemasan yang selama ini saya dengar belum juga berubah.

Ada satu hal yang saya tangkap ketika mengobrol dengan Natalia. Sepertinya Natalia punya perasaan cemas dan khawatir dengan masalah belis. Dirinya tidak setuju ketika akan menikah dan pihak dari om meminta belis dengan nilai yang tinggi. Menurut Natalia, nilai mahar tidak tidak harus besar tetapi yang diperhatikan adalah kebahagian dari pasangan yang akan menikah.
“Saya ada kekhawatiran kedepannya, ketika saya akan menikah dan pihak dari om-om akan meminta belis yang tinggi. Kalau untuk orangtua kandung kita sih pastinya mengerti tapi mereka tidak punya hak untuk omong. Saya punya harapan kalau akan mengurus belis nanti, pihak dari om-om harus meminta pendapat saya juga. Saya sebagai perempuan punya beban dengan persoalan belis sekarang ini,” ungkap Natalia.
Setelah terlibat obrolan dengan beberapa anak muda ini, saya merasa bahwa masih ada kekhawatiran dan kecemasan dari proses pelaksanaan belis ini. Tapi apa yang mereka rasakan dan persoalan dari pelaksanaan belis dewasa ini masih belum menemukan titik terang.
Setelah mendengar pandangan anak muda, saya pun bertemu dengan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa, Dr. Jonas K.G.D Gobang, untuk berbincang mengenai fenomena belis dari sudut pandang sosial budaya. Kami terlibat dalam obrolan dan diskusi yang begitu lancar.
Dalam perkawinan adat atau budaya belis, bukan hanya kehendak satu pihak atau keinginan dari pihak perempuan, melainkan atas dasar kesepakatan bersama dalam meja adat melalui perundingan. Disini kita bisa melihat bahwa fungsi delegatus menjadi penting karena menegosiasikan untuk mencapai kesepakatan.

Jika tidak terjadi kesepakatan, maka proses pelaksanaan belis tidak akan dilaksanakan. Simbol dari kesepakatan itu sendiri terjadi ketika kedua delegasi melakukan salaman.
Menurut Gerry, sapaan akrab dosen sekaligus wakil rector 1 Unipa ini, pelaksanaan belis tidak boleh dilihat sebagai proses transaksional. Perkawinan adat adalah perkawinan dua suku, bukan hanya bersatunya laki-laki dan perempuan tetapi menyatukan keluarga kedua bela pihak.
“Dalam perspektif budaya, kita menemukan keseimbangan dari proses pelaksanaan belis ini. Pihak laki-laki memberikan gading, kuda, emas dan uang kepada pihak perempuan serta pihak perempuan memberikan babi, beras, dan utan labu kepada pihak laki-laki. Dan ini sudah diatur secara baik dan tersistematis sejak dahulu kala”, tutur Geri.