Cerita Anak Muda yang Coba Berkompromi dengan Belis
Belis dan Bayang Kekhawatiran Anak Muda, Cerita Anak Muda yang Coba Berkompromi dengan Belis.
POSKUPANGWIKI.COM - Belis dan Bayang Kekhawatiran Anak Muda, Cerita Anak Muda yang Coba Berkompromi dengan Belis.
Saya Marlinda Oferus, perempuan yang lahir dan dibesarkan di Maumere, Flores- NTT. Provinsi yang terkenal kuat dalam memegang adat istiadatnya, seperti halnya rata-rata provinsi lain di wilayah timur Indonesia. Budaya dan adat istiadat ini diwariskan dan terus dihidupi dari generasi ke generasi.
Sejak berada di bangku kuliah saya mulai terbiasa untuk terbuka dan berdiskusi dengan dosen dan teman-teman seangkatan. Perjumpaan dengan banyak orang sewaktu kuliah membuat saya mudah berdiskusi tentang banyak hal, tak terkecuali; budaya belis.
Budaya belis menjadi salah satu tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang ini. Tradisi dilakukan saat seorang laki-laki melamar perempuan. Belis menjadi simbol penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan yang dilamar.

Perempuan yang nantinya menjadi istri dan ibu yang melahirkan dihormati sebagai pembawa kehidupan dan keberkahan dalam keluarga
Keberadaan belis dalam arus modern mempunyai cerita sendiri. Cerita-cerita ini berawal dari pengalaman anak muda terhadap pelaksanaan dari belis. Bagaimana pandangan anak muda tentang belis? Apakah anak muda sudah memahami belis dengan baik?
Sebagai seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dalam suku Sikka, salah satu suku NTT, saya menentang dan merasa dirugikan dari pelaksanaan belis saat ini. Saya sendiri ada perasaan takut untuk menikah.
Ada beberapa persoalan dari pelaksanaan belis yang menimbulkan sikap menentang, menolak, merasa dirugikan dan merasa takut dalam diri saya.
Mendengar pengalaman orang-orang yang sudah menikah, ketika ada masalah dalam rumah tangga pasti akan menyinggung dengan belis yang sudah mereka laksanakan sebelumnya.

Disisi lain saya juga biasa mendengar guyonan anak-anak muda yang mengatakan percuma perempuan sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ditukar dengan kuda.
Saat saya semester dua, kaka sepupu saya melamar seorang perempuan dengan kuda berjumlah dua puluh satu ekor dan uang sebesar dua puluh enam juta rupiah. Ini jumlah yang sangat besar. Kaka saya pastinya punya kewajiban untuk membalas lagi keluarga besar yang pernah membawa kuda untuk pelaksanaan belis.
Mau tidak mau, kaka saya harus memenuhi kewajibannya walaupun uang tidak ada. Sampai saat ini, kaka saya dan istrinya belum menikah secara gereja karena masih terlilit hutang dan modal yang belum mencukupi.
Saya punya pengalaman lain. Orangtua saya pun seringkali terlibat dalam urusan belis. Di tahun 2021 ini saja, terhitung sampai lima kali orangtua dipanggil sebagai ue wari untuk mengurus proses belis.
Tentunya harus membawa kuda atau uang untuk memenuhi panggilan. Saya terkadang masih protes dengan hal ini karena berbenturan dengan uang sekolah saya.
Akhir-akhir ini, beberapa anak muda mulai bersuara dan berbagi pengalaman tentang pandangan mereka terhadap pelaksanaan belis di Suku Sikka. Suara-suara anak muda ini mungkin belum terlalu terdengar hingga kepermukaan tetapi masih tenggelam dalam ruang lingkup yang terbatas, hanya terdengar dalam tongkrongan-tongkrongan kecil maupun obrolan-obrolan lepas dalam komunitas tertentu. Ada juga yang menumpahkan protes terhadap belis lewat mural dan youtube.
