Berita Lembata

Kota Lewoleba Belum Ramah Difabel, Aturan Masih Sebatas di Atas Kertas

Fasilitas publik di Kabupaten Lembata, termasuk tempat ibadah, perkantoran, bank-bank hingga sekolah, dinilai belum ramah difabel

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
Dokumen FPKDK Kabupaten Lembata
Training Inklusi, Proses Perencanaan & Penganggaran Partisipatif, Kerentanan dan Dasar Aksesibilitas di pelataran New Annisa Hotel, Lewoleba, Senin, 1 November sampai Selasa, 2 November 2021. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA-Fasilitas publik di Kabupaten Lembata, termasuk tempat ibadah, perkantoran, bank-bank hingga sekolah, dinilai belum ramah difabel. Kesetaraan difabel hendaknya tidak hanya di atas kertas. Tapi, wujudkan di lapangan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini disampaikan difabel dari Desa Duawutun, Wilhelmus Boli Bean usai mengikuti Training Inklusi, Proses Perencanaan & Penganggaran Partisipatif, Kerentanan dan Dasar Aksesibilitas. Kegiatan ini dilaksanakan pelataran New Annisa Hotel, Lewoleba, Senin, 1 November sampai Selasa, 2 November 2021.

Kegiatan ini diadakan oleh Humanity & Inclusion (HI), Perkumpulan Relawan CIS Timor dan Forum Peduli Kesejahteraan Difabel dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata.

UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menerangkan bahwa disabilitas atau difabel punya kedudukan hukum dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Sayangnya, kata Wilhelmus, fasilitas publik di Lembata belum seluruhnya menerapkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

"Fasilitas publik, seperti bank, perkantoran, sekolah, taman dan jalanan umum, misalnya, belum menerapkan (ramah difabel) karena belum ada sosialisasi penuh dari pemda, seperti logo difabel di tempat parkir, guiding block di trotoar yang malah seringnya dialihfungsikan sebagai trotoar dan dinaikin (dijadikan parker kendaraan) motor," tuturnya.

Tak hanya jalan umum, tempat ibadah dan perkantoran pun disoroti. Penyandang difabel fisik terutama, sering kesulitan saat harus mengakses toilet atau kamar mandi pada perkantoran. "Termasuk pasar dan ATM bank kebanyakan tak ramah difabel," tambahnya.

Di sisi lain, masyarakat umum sendiri belum terbiasa dengan kebijakan publik yang berkaitan dengan penyandang difabel. Masyarakat bahkan cenderung mengelompokkan difabel sebagai orang tak berdaya.

Wilhelmus memberi perspektif sekaligus mengingatkan publik, kelompok masyarakat non difabel berpotensi sebagai difabel. Hal itu dapat terjadi manakala tubuh kehilangan fungsinya.

"Non difabel berpotensi difabel. Ketika kita tua dan kehilangan daya tahan tubuh, kita itu difabel," terangnya.

Sayang, ujar difabel dari desa Duawutun ini, kebanyakan orang tak berpikir ke arah sana. kebanyakan justru mengkotakkan status strata sosial antara penyandang difabel dan non difabel.

Untuk menciptakan ruang publik yang ramah difabel, sebutnya, tergantung pada kerjasama masyarakat difabel maupun non difabel. Kuncinya, kesepakatan antar kedua kelompok masyarakat itu untuk menciptakan keberagaman.

"Masyarakat, dari atas sampai bawahannya, harus memahami bagaimana memperlakukan masyarakat difabel", katanya.

Perlakuan ramah difabel, harap Wilhelmus, tak sebatas di atas kertas atau hanya dipahami pemegang kebijakan. Pemahaman atas perlakuan terhadap difabel harus pula dimiliki para petugas lapangan dari instansi atau lembaga pelayan publik.

"Tapi, difabel bukan untuk dikasihani. Difabel butuh pemberdayaan, jangan bikin mereka tidak berdaya sehingga berpikir pragmatis dan menjadi ketergantungan", pintanya.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved