Pergulatan Memeluk Islam di Kupang yang Mayoritas Warganya Protestan, Kami Bukan Teroris
Kami Bukan Teroris, Pergulatan Memeluk Islam di Kupang yang Mayoritas Warganya Protestan.
Padahal, selama ini Neneng terbiasa membicarakan hal-hal apa saja yang ringan, termasuk tentang agama, ketika kami pulang kampus. Kami saling bertukar pikiran membagi informasi satu sama lain.
“Saya sering nginap di kos teman, sering juga salat di kamarnya. Teman-teman kampus saya rasa semuanya tahu tentang toleransi, saling menghargai satu sama lain,” ujar mahasiswi yang sekarang duduk di semester sebelas.
Yang paling membuat Neneng sangat terkejut dan tercekat adalah stigma atau sterreotipe terhadap orang Islam seperti dirinya yang memakai jilbab sebagai teroris dilabelkan kepada dirinya. Perasaannya sangat hancur karena tudingan sebagai teroris itu sangat serius. Terorisme adalah tindakan yang teramat jahat dan keji, itu langsung diteriakkan kepadanya.
“Pernah saya jalan-jalan sore ke pantai Oesapa dan saya dikatai sebagai teroris oleh orang yang saya tidak kenal sama sekali,” ia mengisahkan pengalaman yang membuat perasaannya sangat hancur.
Celakanya lagi, pengalaman tidak mengenakkan tersebut Neneng hadapi setiap jalan ke pasar atau pertokoan. Kisah yang menyakitkannya ini ia alami pada saat di Kupang dan daerah NTT pada umumnya sedang hangat-hangatnya membela Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta, terkait masalah kriminalisasi tentang penodaan agama.

Cerita Neneng itu membuat saya kaget. Saya juga pernah dipanggil teroris oleh orang tak dikenal di jalanan umum. Dari cerita Neneng, baru saya sadari sekarang, memang benar peristiwa yang saya alami berbarengan dengan kontroversi kriminalisasi Ahok di Jakarta. Sejak itu juga kami yang berjilbab di Kupang, NTT, menjadi musuh di mata mereka yang tidak mengenal kami dengan baik.
Mengenang kembali seluruh yang kami alami, kebencian dan stereotipe terhadap umat Islam dan pemakai jilbab oleh pihak-pihak yang tidak paham persoalan dan tidak bertanggung jawab, menurut Neneng terpicu dari kriminalisasi terhadap Ahok (2017). Setelah itu, Neneng menambahkan, disusul peristiwa teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya saat para jemaat sedang beribadah (2018). Hal tersebut membuat beberapa masyarakat Kupang pada saat itu membenci kami yang berjilbab, karena pelaku bom bunuh diri di Surabaya mengenakan jilbab.
“Saya tidak tahu teman-teman muslim lainnya di Kupang pada saat itu seperti apa. Tetapi, itu yang kemudian saya rasakan,” sambung Neneng.
Hal yang dialami Neneng, sebenarnya terjadi kepada saya juga. Sampai ada bemo-bemo (angkutan umum) yang tidak mau menumpangi kami, meskipun bemo mereka penumpangnya belum penuh.
Sambil Neneng bercerita, saya mengigat salah satu perlakuan yang membuat saya sangat sedih. Saat itu saya mengikuti survei di salah satu lembaga penelitian nasional yang berbasis di Jakarta, Charta Politika. Kebetulan saya ditugaskan survei dengan mewawancarai langsung responden-responden di dalam Kota Kupang, daerah BTN Kolhua. Pada saat itu saya meminta izin dari kelurahan, RT/RW, lalu turun ke masyarakat.
Salah satu responden, dari sepuluh responden yang saya wawancarai, membuat hati saya sangat hancur. Saya mengunjunginya untuk menyampaikan maksud dan tujuan menujukkan surat tugas dan lain sebagainya. Kami pun berbincang dengan wajar, meskipun dari raut wajah responden ini menunjukkan ketidaksenangannya. Saya tetap berusaha untuk santai dan sopan.
Setelah selesai wawancara saya meminta untuk foto bersama, sebagai dokumentasi dan bukti bahwa saya telah selesai melakukan survei dengan narasumber yang satu ini. Tanpa disadari ternyata responden laki-laki ini langsung mengusir saya dan dari mulutnya keluar kalimat, “Kamu teroris! Kamu ingin mengambil gambar saya untuk melakukan pengeboman.”
Tanpa disadari air mata saya mengalir begitu deras. Jantung saya berdetak begitu kencang. Kaki dan tangan saya gemetaran. Saya diusir dari rumahnya. Sambil gemetaran saya keluar dan berjalan sampai didepan jalan raya. Hati saya hancur. Saya menangis sejadi-jadinya sampai hati saya agak lega. Barulah saya bisa pulang ke rumah.
Kejadian itu justru membuat saya semakin berani berhadapan dengan masyarakat bahwa Islam bukan teroris. Islam tidak seburuk yang orang-orang pikirkan.
Berpijak dari cerita Neneng, saya berpikir mungkin hanya kami yang berjilbab yang diperlakukan demikian. Berbeda dengan Erwin dan orang-orang Islam lainnya yang laki-laki, mungkin karena tidak diketahui secara persis agamanya apa, Islam, Kristen atau agama lainnya.