Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Senin 1 November 2021, Hari Raya Semua Orang Kudus: Bahagia
Bahagia, demikian kata ini menjadi tujuan setiap peziarahan manusia. Tak ada satu manusia pun yang tidak merindukannya.
Dan, bukankah orang yang sehat pun tidak juga lepas dari aneka kekhawatiran dunia?
Teringat kata-kata dalam kitab Sirakh. "Sembilan hal yang terbayang dalam hati, kupuji bahagia, dan kesepuluh hendak kumasyhurkan dengan mulutku, yakni: orang yang bersukacita karena anak-anaknya, orang yang selama hidupnya boleh menyaksikan keruntuhan musuhnya; berbahagialah orang yang hidup bersama istri arif ... ; berbahagialah orang yang tidak tergelincuh karena lidahnya, dan yang tidak mengabdi kepada orang yang tidak layak baginya; berbahagialah orang yang menemukan pengertian, dan yang dapat berbicara kepada telinga orang yang mendengarkan; betapa besarnya orang yang menemukan kebijaksanaan, tetapi tidak ada seorang pun melebihi 'orang takut akan Tuhan' (Sir 25:7-10).
Frase terakhir mengungkapkan suatu pengertian penting tentang kebahagiaan. Yang berbahagialah ialah orang yang berharap pada Tuhan saja serta melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Dalam kotbah di bukit, makna kata "bahagia" ternyata sungguh mendalam dan menggugah untuk dijadikan refleksi diri.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Rabu 27 Oktober 2021: Sedikit Sa Ko?
Kebahagiaan itu tak lain saat menjadi miskin di hadapan Allah, ketika berdukacita, tidak syok kuasa, rindu mengetahui kehendak Tuhan pada setiap detik hidup, berbelas kasih walaupun tak memiliki harta, menjaga kesucian hati sebab takut mencemari yang kotor, mencintai damai dan memperjuangkannya di mana-mana terutama dalam hati sendiri, ada kalanya dianiaya dan tak punya seorang pembela pun, apalagi mengharapkan bantuan preman.
Tetapi bagaimana ini mungkin dalam situasi konkret? Bagaimana ucapan itu harus diartikan dalam dunia ini yang justru berjuang mengentaskan kemiskinan, mendambakan kemakmuran, dan mengejar kebahagiaan tanpa dukacita?
Dunia punya pandangan, miskin itu tanda kemalangan dan berpunya itu tanda kebahagiaan.
Yesus memang berucap, yang miskin, yang lapar dan haus, yang berdukacita disebut berbahagia.
Tapi di dalam ucapan itu jelas menyata bahwa orang yang dikatakan berbahagia itu justru mereka yang tak mempunyai apa-apa.
Serentak itu terungkap bahwa kebahagiaan itu ada pada Tuhan dan melulu anugerah Allah. Ini makna fundamental.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin, 25 Oktober 2021: Pakai Hati
Tidak punya apa-apa, tapi menjadi berbahagia karena dianugerahkan kebahagiaan oleh Allah.
Yesaya menungkapkan hal itu. "Betapa indahnya kelihatan dari puncak-puncak bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja" (Yes 52:7).
Yesus menyerukan "Berbahagialah ...". Sebuah seruan yang menegaskan afirmasi, kenyataan kepemilikan Allah dan pemberian atau anugerah dari Allah.
Di dalamnya pun berkandung janji mengenai masa depan. Bukan janji sebatas janji yang baru akan terpenuhi dan tergapai nanti.
Tapi janji yang sudah menjadi kenyataan, sudah mulai terlaksana.