Opini Pos Kupang

Covid-19 dan Teologi Kontekstual

Dalam konteks Gereja Katolik, teologi sejatinya mesti kontekstual (bahkan sudah bergema `teologi interkontekstual').

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh: Kris Ibu, Tinggal di Ledalero, Maumere

POS-KUPANG.COM-Dalam konteks Gereja Katolik, teologi sejatinya mesti kontekstual (bahkan sudah bergema `teologi interkontekstual'). Teologi model ini membawa kita pada pengakuan akan sumber berteologi yang lain yakni pengalaman dan dinamika manusia saat ini.

Teologi ini juga membawa kesadaran baru bahwasanya kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dll, mesti diindahkan. Kitab Suci dan tradisi Gereja mesti dipertautkan dengan konteks manusia dewasa ini (Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, penerj. Yosef Florisan, hlm.2).

Teologi mesti kontekstual agar relevan dengan situasi manusia saat ini. Teologi tidak memisahkan diri dari dunia, melainkan tercemplung pada ruang publik kemasyarakatan.

Dalam bahasa Agus Duka, teologi mesti "bergerak ke luar Bait Allah. Ini bukan berarti sebuah pelarian dari ritus, tetapi mencari cara atau konsep religius yang baru; bukan sebuah pelarian dari kebakuan, tetapi mencari identitas religius yang berkonteks." Kontekstualisasi teologi inilah yang membawa teologi pada sebuah refleksi iman yang otentik.

Tonggak Teologi Kontekstual

Dasar dan tonggak utama dari teologi kontekstual adalah sejarah keselamatan lewat simbol inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kritus. Simbol inkarnasi (karne -bhs. Yunani artinya daging), Sabda menjadi daging, ini merupakan titik temu dari relasi Allah dengan manusia, relasi Allah dengan alam semesta. Penginjil Yohanes menulis "Sabda sudah menjadi daging".

Ungkapan Yohanes ini merupakan ungkapan yang sama artinya dengan `menjadi manusia'. Sang Sabda menjadi manusia penuh (Ia mempunyai intelek, kehendak hati dan kekuatan). Dengan menjelma menjadi manusia, Sang Sabda membawa keselamatan bagi semua manusia.

Pengalaman inkarnasi digambarkan oleh Rasul Paulus dalam Filipi 2:7 dengan menggunakan kata "kenosis" (kenos -bhs. Yunani artinya kosong). Peristiwa kenosis ini menggambarkan pengosongan diri. Allah telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Peristiwa kenosis adalah penggambaran realitas ketaatan Putera kepada Bapa. Realitas kenosis ini bukan berarti Allah mengosongkan atribut Ilahi, melainkan supaya Ia mengenakan kemanusiaan yang ditandai dengan kerendahan hati dan menjadi hamba.

Atas dasar itu, kenosis lantas berarti pula "mengambil rupa seorang hamba". Ini adalah realitas Kristus yang merendahkan diri. Artinya, Ia tidak mencari kepentingan sendiri.

Ia menganggap orang lain lebih utama. Dalam refleksi Kristen, kenosis Kristus berarti juga kemiskinan dan pelayanan-Nya serta sikap menolak kemapanan diri (2 Kor. 8:9).

Realitas inkarnasi/kenosis menjadi basis fundamental bagi orang-orang Kristen. Yesus yang adalah Allah rela menjadi manusia, bahkan menjadi seorang hamba. Ia rela menjelma menjadi orang yang termarginalisasi, terbuang bahkan `tak dianggap manusia' dalam cakrawala berpikir masyarakat pada waktu itu.

Sampai pada tahap ini, muncul beragam pertanyaan: Mengapa Allah rela meninggalkan kemapanan diri-Nya dan menjadi manusia?

Selain sebagai bentuk ketaatan kepada Bapa, inilah bentuk solidaritas yang radikal dari pihak Allah kepada manusia; sebuah bentuk pengorbanan diri. Ia rela menjadi hamba demi mengangkat harkat dan martabat orang-orang kecil dan papa.

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved