Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Sabtu 4 September 2021: Utamakan Manusia
Panorama sangat menakjubkan. Ladang-ladang dipenuhi gandum yang ranum. Siap panen. Murid-murid-Nya memetik gandum lalu memakannya karena lapar.
Renungan Harian Katolik Sabtu 4 September 2021: Utamakan Manusia (Luk 6: 1-5)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Yesus dan murid-murid-Nya menempuh perjalanan ke Galilea yang terletak di bagian utara. Saat itu lagi musim semi. Panorama sangat menakjubkan. Ladang-ladang dipenuhi gandum yang ranum. Siap panen.
Murid-murid-Nya memetik gandum lalu memakannya karena lapar. Tapi karena hari Sabat dan orang-orang Farisi sedang gencar mencari kesalahan untuk menjerat Yesus, maka tindakan para murid itu menjadi salah satu titik bagi kaum Farisi untuk melancarkan serangan ketakutan.
Orang Farisi menganut pandangan bahwa memetik gandum lalu menggosok-gosoknya dengan kedua telapak tangan sama dengan memanen dan memukul-mukul gandum.
Jadi, orang Farisi menuduh murid-murid bekerja pada hari Sabat (Kel 34:21). “Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” (Luk 6: 2).
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 2 September 2021: Penjala
Hari Sabat adalah saat yang menggembirakan karena orang beristirahat dari kerja dan memuliakan Allah. Sebenarnya tidak ada aturan yang melarang orang melakukan perbuatan baik pada hari Sabat. Tafsiran kaum Farisi yang kaku itu membuat orang terbebani dengan Sabat. Padahal hari Sabat mestinya meneguhkan hidup spiritual umat.
Sesungguhnya Tuhan tahu dan sengaja membiarkan para murid-Nya “melanggar” peraturan hari Sabat dalam konteks penafsiran kaum Farisi. Tuhan hendak menantang kaum Farisi “memandang” tindakan para rasul agar ada ruang terbuka untuk menghadirkan pencerahan spiritual bagi kelompok yang taat buta pada Taurat ini.
Tuhan mengajak kita untuk melihat bagaimana orang-orang Farisi memandang hukum. Tuhan memberi hukum Taurat dengan niat tulus membahagiakan orang, bukan merepresi dan menakut-nakuti orang.
Tapi kaum Farisi yang merasa sangat berkuasa itu justru membangun di atas hukum Taurat suatu sistem yang terdiri dari peraturan-peraturan yang mereka pakai untuk mengukur orang-orang lain dan memisahkan diri mereka yang telanjur dianggap “kudus” dari umat kebanyakan yang dianggap “pendosa”.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 31 Agustus 2021: Setan
Keberdosaaan umat kebanyakan mesti dipisahkan dari area “kesucian” kaum Farisi agar hidup mereka tidak “terpolusi” oleh dosa orang-orang lain.
Kita lihat di dalam Sinagoga, orang-orang kuat agama Yahudi ini punya tempat istimewa yang tidak hanya terpisah tapi sangat mencolok dalam tatapan mata umat. Sebuah proklamasi egoistis yang sesungguhnya persis berlawanan dengan perilaku harian mereka.
Bagaimana dengan Yesus? Hidup-Nya sama sekali berlawanan dengan kemunafikan kaum Farisi ini. Yesus hidup bersama orang berdosa, makan di rumah pemungut cukai yang dicap pendosa berat oleh kaum Farisi, Yesus banyak kali melanggar hukum untuk berbuat baik (Mrk 2:14-15).
Sebagai Anak Allah Maharahim yang hidup di tengah dunia, Yesus tidak pernah berhenti menyalurkan kasih dan kerahiman, belas kasihan Allah kepada orang-orang kecil.
Dengan melanggar aturan yang sangat dipegang teguh secara harafiah oleh kaum Farisi, sesungguhnya Yesus tidak mau membiarkan huruf-huruf hukum buatan manusia membenarkan pengabaian kebutuhan manusia dan menghalang-halangi aliran cinta kasih-Nya.