GSMB Nasional dan Tantangan Kompetensi Menulis Guru
Dengan berliterasi, setiap person yang memiliki sense literasi dapat berinisiatif menjadi penggerak atau sosialisator
Peran terbesar keberhasilan gerakan ini di sekolah ada pada tangan seorang guru koordinator, yang ditunjuk oleh sekolah dengan kewenangan mengumumkan, mengumpulkan karya, melakukan verifikasi, editing karya dan mengirimkan untuk dilombakan.
Guru koordinator juga sangat dituntut memiliki pemahaman yang komprehensif dan holistik tentang program GSMB Nasional. Ia mesti seorang penulis. Intinya, guru yang memiliki kapasitas membaca dan menulis yang tidak diragukan lagi.
Serangkaian program yang mewarnai seluruh program Nyalanesia, mulai dari pendaftaran sampai dengan puncak festival literasi nasional (FLN) meliputi, Peluncuran Buku Antologi Sekolah dan Nasional, Penganugerahan Akademisi Menulis Buku, Penganugerahan Sekolah Percontohan Literasi Nasional, Penganugerahan Juara GSMB Nasional, Penganugerahan Juara GSMB Sekolah, Penganugerahan Teacher Literacy Award, Penganugerahan Penggerak Literasi Nasional, Pemecahan Rekor MURI dan Semangat Sejuta Buku.
Nyalanesia juga menyajikan sistem pembelajaran secara tersistem dan terstruktur. Melalui konsultan program atau nara hubung yang kompeten, segala informasi disampaikan secara bertahap kepada para guru koordinator terkait tahapan-tahapan program yang harus dilalui dan dipenuhi setiap lembaga pendidikan, yang terlibat dalam program GSMB Nasional. Nyalanesia juga menyajikan pembelajaran online melalui workshop secara virtual, kurang lebih 22 workshop terpadu dan sertifikat kompetensi.
Dalam pembelajaran online, yang dibutuhkan bukan semata-mata kompetensi inteligensia personal siswa dan guru, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan kompetensi sosial yang mewujud dalam gerakan bahkan gebrakan bersama untuk memaksimalkan keikutsertaan lembaga dalam gerakan literasi tingkat nasional juga keikutsertaan dalam gerakan literasi daerah juga peningkatan dan pengembangan literasi tingkat sekolah ke depannya.
Pada titik ini, dibutuhkan ketangkasan guru koordinator yang rela berkorban dan penuh tanggung jawab membangun komunikasi dengan para siswa dan guru.
Pimpinan sekolah, melalui kepala sekolah dan para wakilnya, mesti memiliki bahkan menumbuhkan rasa atau sense literasi dalam dirinya. Tidak bisa tidak. Keteladanan literasi para pimpinan sekolah benar-benar diuji. Profesionalisme guru dipertaruhkan di hadapan para siswa. Demikian juga kemampuan spesifik guru ditagih.
Pendidikan Literasi
Selain memiliki sense literasi, menjadi teladan dan tuntutan aplikasi profesionalisme dan spesifikasi, para guru dituntut untuk memahami makna pendidikan dalam konteks berliterasi. Pendidikan bukan sekadar berdiri di depan kelas, menyiapkan materi dan membacakan untuk para siswa mencatatnya.
Atau kesempatan dimana para guru menunjukkan kepada para siswa daftar nilai, dimana tidak semua kompetensi dasarnya terisi.
Jika pendidikan hanya dipahami sebatas ini, maka para guru akan dilanda stress manakala menghadapi para siswa masa bodoh bahkan enggan mengumpulkan tugas pada waktu yang ditentukan.
Lenang Manggala, penulis dan founder Nyalanesia dalam materiya tentang makna pendidikan yang berkemerdekaan, mengajak para guru merenung dan merefleksikan kembali makna pendidikan.
Dalam materi yang disampaikannya secara virtual, Lenang dengan tegas mengatakan, pendidikan bukan hanya berarti pelajaran yang diajarkan dan dibacakan di kelas-kelas dan nilai-nilai yang tercantum di kertas.
Sebab, sekolah sesungguhnya merupakan wahana bagi anak untuk mengembangkan diri, bukan sekedar menggelontorkan materi pelajaran yang diabdikan selama 6 (enam) hari dalam sepekan.
Lenang juga menggugat para pendidik agar tidak menjadikan anak didik lebih dari sekadar google berjalan, menjadikan mereka seperti kamus tebal ratusan halaman karena dipaksa menghafal sejumlah kosa kata yang tak mampu tertampung atau memaksa anak menjadi yang tercepat dalam matematika dan mengubah mereka menjadi kalkulator tanpa baterai yang terpasang.