Opini Pos Kupang

Kelebihan Bayar Dalam Pusaran Tipikor

Istilah kelebihan bayar atau "overpay" menjadi istilah yang viral akhir-akhir ini seiring maraknya pemberitaan hasil audit BPK RI

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Namun hal yang pasti dalam penjelasan Pasal 59 UU TPK , semua kerugian negara baik yang sudah terjadi maupun potensinya, harus segera dikembalikan ke negara. Disisi lain, objek pemeriksaan wajib menindaklanjuti semua temuan BPK/BPKP/Inspketorat.

Dalam berbagai penjelasan, pengembalian kerugian negara ini hanya menjadi hal yang meringankan dalam suatu proses penegakan hukum.

Sementara itu ada arahan presiden saat sosialisasi Inpres No.10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan 2017, dimana Presiden memberi arahan kepada para Kajati, Kapolda se Indonesia pada tanggal 26 November 2016 di Jawa Barat antara lain, pertama, kebijakan diskresi atau keputusan yang diambil para pejabat pemerintah, jangan diperkarakan oleh penegak hukum.

Kedua, segala tindakan administrasi pemerintah juga tidak boleh dipidanakan. Ketiga, temuan kerugian negara yang dinyatakan dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka kepada lembaga pemerintah yang terlibat harus diberikan waktu 60 hari untuk menjawab dan mengklarifikasi hasil temuan tersebut. Keempat, data kerugian negara harus konkret dan tidak boleh mengada-ada.

Kelima, penegak hukum tidak boleh menyebarluaskan tuduhan yang belum terbukti dan belum masuk proses hukum.( sumber:https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/5e9a56c99953f/lima-instruksi-jokowi-t erkait-larangan-kriminalisasi).

Kondisi ini menjadi dilematis karena jika dilihat secara sepintas dan serampangan, seolah kelebihan bayar bisa diselesaikan hanya dengan penyetoran kembali potensi kerugian negara, tanpa memperhatikan suatu kondisi fraud (kecurangan) dan mensrea (niat buruk) dalam suatu kesalahan perhitungan yang sengaja dibuat, sebagai penyebab terjadi perbuatan melawan hukum, baik sengaja ataupun lalai .

Disisi lain, bisa ditarik benang merah secara nyata apakah kelebihan bayar bisa masuk dalam pusaran tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud UU Tipikor. Ataukah sekadar tindakan kesalahan adminitratif semata yang hanya masuk dalam pelanggaran perdata saja.

Untuk itu kepekaan, ketelitian, kejelian, kecermatan dan keberpihakan serta nurani baik dari BPK, BPKP dan para penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan terhadap pencegahan dan pemberantasan Tipikor menjadi sangat menentukan. Ke arah mana kelebihan bayar ini akan dibawa, tentunya tanpa kriminalisasi.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof. Komariah Emong Sapardjaja mengatakan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil.

Unsur `dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting.

Prof. Romli Atmasasmita., berpendapat majelis hakim seharusnya mengartikan unsur `dapat merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil. Oleh karena itu, kerugian negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung bukti-bukti yang mengarah adanya potensi kerugian negara.

Dengan digunakannya UU Perbendaharaan Negara, berarti majelis hakim telah menghilangkan makna kata `dapat' dalam unsur `dapat merugikan keuangan negara'. Pasalnya, UU Perbendaharaan Negara menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil, sedangkan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil . (sumber: Cara Menentukan Adanya Kerugian Keuangan Negara https://www.hukumonline.com > klinik > detail > ulasan )

Jadi kelebihan bayar adalah istilah yang muncul guna memberi ruang pada objek pemeriksaan untuk menyelesaikan temuan BPK/ BPKP/Inspektorat, tanpa kuatir masuk ke ranah tindak pidana korupsi dengan segala konsekuensinya, karena auditor cenderung menggunakan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perrbendaharaan Negara yang bersifat delik materiil.

Artinya secara materiil jika kerugian negara maupun potensinya sudah dihilangkan dengan menyetor sejumlah uang kembali ke kas negara, maka secara materiil tidak terjadi kerugian negara.

Kerugian negara baik dalam katagori "potensi" apalagi sudah menjadi kerugian negara, baik disengaja maupun lalai, terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), dan tertera dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK, jika setelah 60 hari kalender tidak atau belum ditindak lanjuti oleh objek pemeriksa, mestinya bisa masuk dalam katagori kerugian negara yang nyata , karena telah ada hitungannya sebagaimana yang dimaksud dalam UU TIPIKOR. Apalagi kerugian negara dalam UU ini adalah delik formal, artinya jika telah terjadi fraud (kecurangan) dengan niat (mensrea) merugikan negara, dan dinilai sebagai penyebab terjadinya perbuatan melawan hukum, maka bisa dilanjutkan ke aparat penegak hukum, karena yang akan dipertanggungjawabkan secara hukum adalah PERBUATAN dan NIAT dari oknum yang merugikan keuangan negara walau kerugiannya sudah " dihilangkan ".

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved