Wawancara Eksklusif

Tugas Berat Dirut Garuda Irfan Setiaputra Atasi Utang Rp 70 Miliar (Bagian-1)

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan amanah yang diberikan harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab

Editor: Kanis Jehola
Tribun/Danny Permana
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra 

POS-KUPANG.COM - DIREKTUR Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan amanah yang diberikan harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Irfan mengakui bukan hal mudah menghadapi kondisi keuangan utang perusahaan yang membengkak sampai Rp 70 triliun.

"Kalau saya diganti terima dengan baik kalau tidak diganti juga akan saya teruskan dengan baik. Memang tidak dapat dipungkiri kita kebetulan dalam situasi yang tidak baik situasi fight mempertahankan, memastikan Garuda Indonesia tetap terbang," ucap Irfan saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan Manajer Pemberitaan Tribun Network Rachmat Hidayat dengan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra, Senin 16 Agustus 2021.

Menurutnya, sudah banyak langkah yang dilakukan jajaran dewan direksi agar Garuda Indonesia bisa membayar biaya sewa ke lessor. Irfan menuturkan berbagai langkah tersebut adalah negosiasi ulang hingga upaya melakukan pengembalian pesawat.

"Problemnya kita punya fixed cost tidak bisa turun. Sementara pendapatannya sebagai variabel costnya terlalu banyak yang fixed. Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena cukup normal di sebuah industri yang dari waktu ke waktu selalu tumbuh," urainya. Berikut petikan wawancara Tribun Network dengan Irfan Setiaputra:

Baca juga: Komisaris Garuda Indonesia Mundur Satu Per Satu, Pertama Yenny Wahid Disusul Peter Gontha, Ada Apa?

Apa yang Anda rasakan melanjutkan tugas sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia saat utang menggunung Rp 70 triliun?

Saya mau luruskan dulu ada tujuh agenda Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) kemarin tapi yang utama adalah laporan keuangan. Kalau mengamati direksi dan komisaris dikurangi ini mungkin bisa terawang ditanyakan ke Kementerian BUMN dasarnya apa. Background-nya apa. Saya juga masih cari tahu. Nah apa rasanya masih diminta lagi, amanah.

Waktu saya diminta itu untuk jabatan 5 tahun walaupun tidak menutup kemungkinan menghentikan sebelum waktu habis. Rasanya apa? Datar saja ya. Memang sebelum RUPST ini saya ada waktu ketemu pihak kementerian. Saya sampaikan ini ada agenda perubahan pengurus perseroan. Kalau saya diganti monggo karena saya tidak ada kepentingan sama sekali. Kalau tidak diganti juga akan saya teruskan dengan baik.

Dalam RUPST struktur direksi dan komisaris dirampingkan, apakah berpengaruh ke efisiensi perseroan?

Basis gaji itu kan ada bagiannya dirut, wadirut dapat sekian persennya. Penghilangan satu direktur dan penghilang dua komisaris kalau dilihat segi persentasenya tidak gede-gede amat. Tapi kalau sisi rupiah relatif kita bisa bilang besar atau kecil. Buat saya besar tapi kalau buat Garuda tidak besar-besar amat. Dan lebih tidak besar-besar banget karena di awal Agustus bahwa direksi dan komisaris sementara waktu dipotong gaji 25 persen. Jadi lebih tidak terlalu berasa.

Baca juga: Tak Mau Disalahkan,Yenny Wahid Ngaku Saat Jadi Komisaris Utang Garuda Indonesia Sudah Rp 20 Triliun

Yang paling penting pengurangan jumlah direksi dan komisaris ini memberikan sinyal kepada pihak internal ataupun eksternal bahwa kita akan terus menerus mencari cara melakukan efisiensi dan upaya penghematan.

Kita melakukan upaya efisiensi terhadap karyawan, masa komisaris dan direksi tidak berubah. Kan begitu. Saya tadinya memprediksi jumlah direksi bukan cuma tinggal enam tetapi tinggal empat dengan beban kerja yang tetap sama.

Pemegang saham berharap ada quick win langkah cepat mengurangi kerugian, saya mendengar negosiasi ulang kepada lessor dan melakukan pengembalian pesawat?

Negosiasi dengan lessor dan urusan SDM sebenarnya sudah dari awal kita lakukan dari saat pandemi terjadi. Karena bisnis kita terpuruk habis. Jumlah penumpang babak belur pernah sampai 90 persen.Problemnya kita punya fixed cost tidak bisa turun.

Sementara pendapatannya sebagai variabel costnya terlalu banyak yang fixed. Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena cukup normal di sebuah industri yang dari waktu ke waktu selalu tumbuh.

Industri penerbangan ini kan selama 40 tahun terakhir growth secara dunia. Jadi tidak salah juga. Di saat pandemi ini kita punya fixed cost susah turunnya. Dua faktor fixed cost yang cukup menantang memang sewa pesawat dan soal SDM.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved