Opini Pos Kupang

Jalan Panjang Upaya Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan

Perayaan dan Penghormatan terhadap Hak Asasi Anak dan hak asasi perempuan. Bulan Juli merupakan bulan yang istimewa bagi anak dan perempuan

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh: Irene Koernia Arifajar,S.IP, Spesialis Perlindungan Anak, Wahana Visi Indonesia Zonal NTT

POS-KUPANG.COM - Perayaan dan Penghormatan terhadap Hak Asasi Anak dan hak asasi perempuan. Bulan Juli merupakan bulan yang istimewa bagi anak dan perempuan, di mana setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak Nasional yang tahun 2021 ini mengambil tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju".

Kemudian tanggal 24 Juli tahun ini mengingatkan kita pada 37 tahun pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Anak dan Perempuan, dua entitas kemanusiaan yang saling terhubung meski pada beberapa aspek hak mereka memiliki perhatian dan kebutuhan khusus.

Anak belum mampu mengambil keputusan dan membutuhkan peran orang tua dan orang dewasa dalam upaya perlindungan, pengasuhan, pendampingan serta tumbuh kembangnya. Sehingga anak memiliki keterbatasan dalam kapasitasnya melindungi diri dan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Baca juga: Kado Hari Anak Nasional, BRI Renovasi 4 Sekolah di Wilayah Perbatasan Indonesia

Sementara pada kelompok perempuan, ia menjadi kelompok rentan karena pengalaman dan praktek diskriminasi, kekerasan karena ia berjenis kelamin perempuan yang terus terjadi sejak berabad dan mengurangi penikmatannya terhadap hak asasi dan kebebasannya.

Kedua peringatan dan perayaan tersebut sebetulnya menandakan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi anak dan perempuan. Namun tentunya pengakuan dan penghargaan juga perlu ditindaklanjuti dengan komitmen dan kapasitas untuk pemenuhan harkat dan martabat anak dan perempuan yang juga merupakan kewajiban berdasarkan hukum hak asasi manusia.

Komitmen negara Indonesia sendiri sudah diwujudkan dalam ragam kebijakan dan rencana aksi yang menjadi payung bagi daerah, lintas lembaga dan sektor untuk implementasinya.

Untuk mengukur pelaksanaan kewajiban negara tersebut, negara perlu memastikan bagaimana komitmen itu dijalankan dengan penggunaan sumber daya negara secara maksimum (sumber daya anggaran, kapasitas aparatur, kualitas layanan, mekanisme kerja dan seterusnya)

Baca juga: Hari Anak Nasional Siswa SD Bertingkat Wawancarai Wali Kota Kupang

Realitas Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan Diskriminasi sebelum dan sesudah pandemi. 

Komitmen tersebut sudah diwujudkan secara regulative dan normative namun pada faktanya masih ditemui tantangan bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan kemerdekaan dan hak, khususnya anak dan perempuan korban kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2020 jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan yang dihimpun dari beberapa sumber sebesar 299.911 kasus. Sebanyak 8.234 kasus diantaranya didata dari lembaga penyedia layanan, 79 % merupakan kekerasan domestic (6.480 kasus), baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, kekerasan seksual dan fisik dan psikologis. Adapun peningkatan kekerasan seksual terjadi baik di ranah privat maupun domestik.

Data lain dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga mencatat sepanjang 2021 terdapat 8.802 laporan kasus kekerasan dengan 7.531 diantaranya adalah perempuan, dan 5.517 diantaranya adalah anak anak.

Data simponi tersebut juga menyebutkan bahwa kasus paling banyak juga berada dalam ranah domestik (5.265 kasus) sementara dari jenis kekerasan paling banyak adalah kasus kekerasan fisik (3.315 kasus) dan kekerasan seksual (3.454 kasus).

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018 menunjukkan bahwa 36,43 persen anak laki-laki dan 19,35 persen anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan fisik selama hidupnya.

Kekerasan emosional sebesar 52,34 persen dialami anak laki-laki dan 58,51 persen pada anak perempuan usia 13-17 tahun. Selain itu, sebanyak 6,31 persen anak laki-laki dan 9,96 persen anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya.

Sementara di Nusa Tenggara Timur, Data Simphoni juga menunjukkan sepanjang 2021 terdapat 226 kasus kekerasan yang dilaporkan, 205 diantaranya adalah perempuan dan 107 diantaranya adalah anak anak yang menjadi korban kekerasan.

Dengan sebaran kasus paling banyak terjadi di Kabupaten TTS, Kabupaten Belu, Kabupaten Alor, Kabupaten Ende, dan Kota Kupang. Tidak berbeda dengan Data Simphoni, Data Rumah Perempuan Kupang juga menggambarkan realitas yang mirip, yakni 200 Perempuan telah mengalami kekerasan dan 102 diantaranya adalah anak anak, dengan kasus terbanyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga/ atau di wilayah domestik, Kekerasan Seksual dan Anak yang berhadapan dengan Hukum.

Data yang ada sepanjang 2020-2021 adanya peningkatan kasus yang terjadi di ranah domestik baik data nasional maupun data di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ruang yang dianggap sebagai tempat yang ramah dan aman bagi anak dan perempuan justru menjadi ruang bagi kekerasan yang menghambat tumbuh kembang anak, maupun membelenggu hak dan kebebasan perempuan.

Dampak pandemi Covid-19 terhadap anak dan perempuan bukan hanya terjadi di bidang kesehatan, pendidikan, namun juga mengakibatkan lonjakan kasus kekerasan domestik baik kekerasan seksual, fisik, maupun psikis.

Pembatasan sosial memicu peningkatan aktivitas di dalam rumah di mana isu kekerasan bersanding dengan isu pemutusan hubungan kerja, ekonomi dan kemiskinan.

Persoalan pengasuhan tidak hanya terkait dengan pola asuh dengan kekerasan namun juga tingginya anak yang harus terpisah dengan pengasuh utama akibat Covid-19. Sebuah berita dari National Geographic menyebutkan setiap 2 detik seorang anak kehilangan orang tuanya di seluruh dunia.

Hal ini memicu kerentanan anak dalam berbagai aspek, yakni putusnya pendidikan, asupan gizi dan terbatasnya akses layanan kesehatan, kerentanan pada migrasi tidak aman pada anak dan perempuan, pekerja anak, perdagangan anak hingga pada perkawinan anak.

Dalam konteks nasional, angka perkawinan anak melonjak tiga kali lipat berdasarkan data BADILAG yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik tajam sebesar 64.211 kasus di tahun 2020.

Di Nusa Tenggara Timur sendiri isu ini tidak begitu menguat secara data, namun dalam pengalaman empiris, muncul isu-isu perkawinan anak baik akibat kekerasan dalam pacaran, kekerasan seksual, maupun akibat meningkatnya pergaulan secara digital di masa pandemi.

Di masa pandemi, kekerasan juga masuk dalam ranah digital, dengan modus intimidasi, penyebaran foto dan video privat, bujuk rayu, bullying hingga kekerasan seksual berbasis online. Hal ini semakin mempersemput ruang aman bagi anak dan perempuan.

Fenomena Gunung Es Pelaporan Kasus

Data-data diatas menunjukkan fenomena gunung es, dimana kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak dibandingkan kasus yang nampak di permukaan.

Dan pada beberapa kasus juga menggambarkan belum terbangunnya sistem data dan pelaporan yang bisa menjangkau masyarakat paling rentan dan juga masih belum sinkronnya pengembangan sistem data antar kelembagaan.

Namun data tersebut juga menggambarkan beragamnya pengalaman kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak yang berarti membutuhkan pendekatan dan penanganan yang multidimensi dan terpadu bagi perlindungan anak dan perempuan untuk proses pemulihan akses keadilan.

Dalam pengalaman pendampingan, realitasnya tidak mudah bagi anak dan perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan, mengungkapkan kebenarannya dan juga mendapatkan pemulihan yang utuh dari berbagai dampak kekerasan yang dialaminya.

Minimnya dukungan bagi Korban

Hambatan tersebut dimulai dari bahkan dimulai dari lapisan terdekat korban. Dukungan keluarga dan komunitas yang minim dan bahkan cenderung menyalahkan dan tidak berpihak pada korban, masih belum meratanya ketersedian layanan perlindungan perempuan dan anak berbasis komunitas, payung hukum dan peraturan perundang-undangan yang belum berpihak pada anak dan perempuan, komitmen anggaran, kapasitas penyedia layanan, ketersediaan lembaga penyedia layanan multi dimensi (hukum, psikologis, medis, ekonomi), cara kerja dan persfektif penyedia layanan termasuk aparat penegak hukum hingga tidak terintegrasinya sistem layanan baik hukum pidana hingga sistem pemulihan.

Kelembagaan layanan perlindungan anak di Provinsi NTT pun juga masih memiliki tantangan serupa, dari 22 kabupaten/kota baru terdapat 16 kabupaten yang sudah memiliki lembaga layanan berupa P2TP2A, dan tidak semuanya memiliki perangkat kebijakan mekanisme kerja yang memadahi (SOP).

Tantangan lain juga nampak pada ketiadaan mekanisme koordinasi, kerja sama dan rujukan baik antara lembaga penyedia layanan multidimensi, maupun antar wilayah baik desa ke kabupaten, antar kabupaten dan kabupaten dengan provinsi.

Ketiadaan mekanisme koordinasi dengan mitra kerjanya berdampak pada tidak berjalannya keterpaduan layanan. Sementara Kebutuhan korban kekerasan tidak tunggal, membutuhkan pendekatan multi dimensi, koordinasi, baik untuk dalam pelaporan dan rujukan namun juga dalam membangun kerja sama dan berbagi sumber daya untuk pemenuhan hak korban.

Sederet pekerjaan rumah bagi terselenggaranya layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan terus perlu dilakukan perbaikan baik dalam memenuhi standar minimum layanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri PPPA No 1 Tahun 2010 (layanan pelaporan, layanan medis, layanan rehabilitasi sosial, layanan bantuan hukum dan penegakan hukum, layanan psikologis, layanan reintegrasi dan pemulangan) namun juga bagaimana mengintegrasikan layanan tersebut dengan layanan perlindungan sosial, ketersediaan shelter/rumah aman, hingga pemberdayaan ekonomi, dan bahkan layanan perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan dalam situasi darurat termasuk situasi bencana maupun pandemi.

Sebagai contoh di masa pandemi, penyedia layanan harus berhadapan dengan meningkatnya biaya layanan seperti alat transportasi yang aman untuk menjangkau korban, penyediaan APD yang sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19, biaya telekomunikasi untuk menjangkau atau melayani korban di masa pandemi dst.

Sementara dari sisi pemerintah, kewajiban tersebut juga harus berhimpitan dengan kebijakan refocusing anggaran di masa pandemi.

Membangun rekomendasi bagi terselenggaranya layanan terpadu

Salah satu rekomendasi yang perlu dibangun oleh pemerintah adalah mengembangkan sistem perlindungan anak dan perempuan yang integratif, tidak hanya menyoal reporting dan referral semata, namun bagaimana sistem layanan juga mampu memberikan pemulihan yang utuh bagi korban hingga ia bisa kembali berdaya dan resiliens/tangguh.

Wahana Visi Indonesia dalam mengembangkan sistem perlindungan anak mengembangkan konsep setidaknya terdapat 7 elemen kunci sistem perlindungan anak yang perlu dibangun baik secara formal maupun informal yakni (1) mengembangkan kebijakan baik formal dan nonformal, yang berbasis pada hukum hak asasi manusia maupun pengakuan nilai nilai tradisional yang menghargai perempuan dan anak (2) memperkuat sistem layanan baik berbasis kelembagaan maupun berbasis komunitas (3) memperkuat kapasitas para penyedia layanan yang terstruktur termasuk juga kapasitas orang tua (4) membangun mekanisme akuntabilitas berupa mekanisme kerja (SOP), mekanisme rujukan dan pelaporan, mekanisme complain, dst (5) memperkuat koordinasi antar layanan multidimensi dan antar wilayah (5) membangun ruang peduli bagi anak yang dimulai dari lingkaran terdekat bagi anak (6) memperkuat kapasitas dan daya tangguh anak untuk mampu melindungi diri dan lebih berdaya.

Untuk menterjemahkan 7 elemen tersebut tentu perlu diikuti dengan tolok ukur yang jelas, semisal pada pengembangan kebijakan seberapa implementatif kebijakan yang sudah dikembangkan dapat memastikan anak anak dan perempuan terlindungi, berapa anggaran yang sudah dimaksimalkan untuk menjangkau anak dan perempuan korban kekerasan hingga memastikan pemulihannya.

Seberapa besar kebijakan hukum tersebut dapat dijangkau oleh mereka yang paling rentan. Sebagaimana kita tau acapkali kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan karena masih adanya tantangan biaya yang harus dihadapi oleh korban seperti transportasi dari desa ke kota dan biaya operasional lainnyauntuk dapat mengakses layanan, biaya visum, dst.

Sementara dari sisi layanan, P2TP2A di tingkat kabupaten/kota acapkali juga memiliki hambatan biaya dan tidak mendapatkan dukungan dana yang memadai.

Beberapa kabupaten menerima anggaran melalui APBD yang alokasinya masuk dalam anggaran Badan/Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak.

Pada kasus yang lain, berbagai upaya advokasi acapkali dilakukan secara parsial tidak melibatkan seluruh elemen kelembagaan yang lain baik advokasi untuk proses penanganan dan pemulihan maupun advokasi untuk memperkuat layanan terpadu, hal ini terjadi karena minimnya koordinasi dan pertemuan regular yang seharusnya dapat di moderatori oleh P2TP2A ataupun DPPPA.

Contoh elemen lain yang mungkin bisa kita gali adalah terkait mekanisme akuntabilitas, yang dapat diwujudkan melalui pengembangan SOP ataupun mekanisme pengaduan keluhan.

Hasil assessment Komnas Perempuan pada tahun 2017 pada 16 provinsi terkait layanan terpadu, juga menemukan bahwa di hasil asesmen di Provinsi NTT menunjukan bahwa seluruh P2TP2A belum memiliki SOP terkait layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Layanan P2TP2A masih bergantung pada program kerja di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sementara untuk mekanisme pengaduan keluhan atau komplain, menurut hasil asesmen di 16 Provinsi ini, 84 persen P2TP2A belum memiliki mekanisme pengaduan keluhan atau komplain, atau baru 16 persen P2TP2A yang telah memiliki mekanisme pengaduan keluhan, dan di di Provinsi NTT belum ada satupun yang mengembangkan mekanisme tersebut.

Masih banyak yang dapat ditemukan dan digali, namun demikian kiranya 7 elemen pembangun sistem perlindungan anak dan (perempuan) tersebut diatas dapat digali dan dikembangkan untuk mendorong pencegahan, penanganan dan pemulihan bagi anak dan perempuan korban kekerasan.

Untuk itu tidak hanya membutuhkan komitmen, kapasitas namun juga dibutuhkan kerjasama multipihak. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak baik di level kabupaten, dan provinsi memainkan peran menjadi moderator yang harus didukung oleh kelembagaan strategis lainnya untuk memperkuat anggaran baik dari DPRD, Bappeda/Bappelitbangda, maupun dinas dan instansi terkait untuk memperkuat layanan. *

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved