Ketua KPK Diduga Lakukan Penyalahgunaan Wewenang Terkait 75 Pegawai Yang Tak Lulus TWK, Benarkah?
Anda masih ingat kasus 75 pegawai di KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan di lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)?
POS-KUPANG.COM, JAKARTA – Anda masih ingat kasus 75 pegawai di KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi?
Saat ini 75 pegawai nonaktif tersebut terus melakukan pergerakan untuk membongkar borok di KPK, borok yang diduga dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri.
Untuk membongkar borok tersebut, kini 75 pegawai non aktif KPK itu sedang menelusuri potensi pelanggaran pidana yang dilakukan mantan pimpinannya tersebut.
Upaya 75 pegawai tersebut, rupanya searah dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Baca juga: Anies Baswedan Kini Diincar KPK, Gubernur DKI Jakarta Itu Segera Diperiksa Terkait Kasus Korupsi
Temuan Ombudsman itu, yakni diduga adanya maladministrasi pelaksanaan TWK (tes wawasan kebangsaan) sebagai syarat alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Dugaan ini dibenarkan oleh Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum nonaktif KPK, Rasamala Aritonang.
Kami akan berupaya menempuh jalur hukum untuk mengendus masalah ini,” kata Rasamala Aritonang mewakili 75 pegawai nonaktif lainnya.
Dia menyebutkan, ada tiga kata kunci pada temuan yang dianggap sebagai pelanggaran serius tersebut.
Baca juga: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Bakal Diperiksa KPK Soal Pengadaan Lahan, Benarkah Ia Terlibat?
“Pertama, dugaan malaadministrasi; kedua, dugaan pelanggaran prosedural; dan yang amat serius adalah penyalahgunaan wewenang," ucap Rasamala Aritonang dalam jumpa pers virtual, Rabu 21 Juli 2021.
"Terkait dengan tiga kata kunci ini, kami mempertimbangkan upaya hukum lebih lanjut untuk mendorong adanya pemeriksaan terkait motif dilakukannya pelanggaran serius tersebut," sambungnya.
Motif yang dimaksud oleh Rasamala dilakukan oleh sejumlah pihak terkait TWK ini, yaitu Ketua KPK Firli Bahuri, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala LAN Adi Suryanto, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, serta Menpan RB Tjahjo Kumolo.
Ia memerinci, motif pertama yakni, apa motif Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemenkumham menandatangani berita acara yang rapatnya tidak mereka hadiri, melainkan dihadiri oleh para pimpinan lembaga.
Baca juga: KPK RI Gelar Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi dengan Pemkab Sumba Barat
Kedua, apa motif para pimpinan lembaga dalam hal ini Ketua KPK, Kepala BKN, Kemenpan RB, Kepala LAN, dan Menkumham, yang tidak mau menandatangani rapat yang mereka hadiri.
Ketiga, apa motif Kepala BKN mengajukan diri untuk melaksanakan asesmen TWK, padahal mengetahui lembaganya tidak berkompeten, bahkan tidak memiliki instrumen dalam melaksanakannya.
Keempat, terkait dokumen kontrak yang tanggalnya dengan sengaja dibuat mundur atau backdate.
"Motif ini perlu didalami serius apa tujuannya dan unsur kesengajaan di dalamnya. Pendalaman lebih lanjut ini penting untuk melihat adanya indikasi dan berbagai kemungkinan, termasuk potensi pelanggaran pidana," tutur Rasamala.
Baca juga: Gandeng LBH SIKAP, Nurlin Hasan Gugat PT Bank NTT dan KPKNL
Bagi dia, sejumlah upaya akan dipertimbangkan menyikapi soal permasalahan TWK ini, salah satunya ialah pelanggaran etik yang terjadi.
"Kalau etik, tentu untuk KPK, pimpinan dan pejabat di bawahnya, ada dewas yang berdasarkan UU, forum untuk menguji apakah tindakan ini melanggar etik atau tidak melanggar etik."
"Itu salah satu kemungkinannya. Dan kami akan pertimbangkan juga dewas ada atau tidak kemampuan terkait pengaduan ini, nanti perlu kami review juga dengan mempelajari peristiwa yang kami laporkan," jelas Rasamala.
Begitu juga terkait ranah pelanggaran wewenang yang menurut Rasamala hal itu pula akan dipertimbangkan untuk ditindaklanjuti.

Baca juga: Nilai MCP Terendah se-NTT, KPK Supervisi Pemkab Sumba Barat Daya
"Karena disebut di dalamnya ada pelanggaran wewenang, maka ini adalah area dari hukum administrasi, maka kanal hukumnya forum penyelesaiannya lewat pengadilan administrasi negara. Nanti kami pelajari dulu dan kami lihat berdasarkan fakta dan bukti kemungkinan melakukan upaya itu," ujarnya.
Potensi pidana terkait penyalahgunaan kewenangan itu pun turut menjadi perhatian para pegawai.
Salah satu yang menjadi indikasi ialah tanggal mundur dalam penandatanganan kontrak KPK dengan BKN terkait TWK.
"Kalau nanti ditemukan dugaan yang kuat berdasarkan bukti tersebut tentu yang punya kewenangan proses itu pihak kepolisian," kata dia.
Begitu pula bila kemungkinan bila penyalahgunaan kewenangan itu kemudian terkait dengan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan kasus di KPK.
Baca juga: KPK Dorong Penertiban Piutang Pajak dan Aset Daerah Pemkab Sumba Barat
Diketahui bahwa sebagian besar dari 75 pegawai yang tak lulus TWK itu merupakan penyidik dan penyelidik KPK.
Mereka dibebastugaskan oleh Ketua KPK Firli Bahuri buntut hasil TWK itu.
"Ini ada hubungannya juga enggak sama pelaksanaan tugas mereka. Apabila nanti menghambat tugas mereka, sesuai UU menghambat tugas penyidikan penyelidikan itu juga ada norma pidananya nanti. Kita lihat kemungkinannya, karena yang bisa memproses KPK sendiri atau pihak kepolisian," kata dia.
Pernyataan ini pun diamini oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko.
Ia masuk dalam daftar 75 pegawai hanya dua minggu jelang pensiun dari KPK.
Baca juga: Pasca Kritik Presiden Jokowi, BEM UI Tembak Ketua KPK, Firli Bahuri Diberi Medali Merah, Maksudnya?
"Kebetulan yang 75 pegawai sebagian besar penyidik dan penyelidik, dan yang 75 itu sudah berdiskusi langkah-langkah yang mereka lakukan secara internal."
"Ada penghambatan-penghambatan itu mungkin bisa nanti dikontruksikan untuk dimasukkan dalam Pasal 21 (menghalangi penyidikan)," ujar Sujanarko.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 75 Pegawai Telusuri Potensi Pelanggaran Pidana Pimpinan KPK Usai TWK Disebut Maladministrasi