Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Minggu 4 Juli 2021: Terbuka
Mudik atau pulang kampung menjadi momen paling membahagiakan. Orang Larantuka menyebutnya dengan ungkapan “bale nagi.” Sebuah saat kembali ke asal
Renungan Harian Katolik Minggu 4 Juli 2021: Terbuka (Mrk 6:1-6)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Mudik atau pulang kampung menjadi momen paling membahagiakan. Orang Larantuka menyebutnya dengan ungkapan “bale nagi.” Sebuah saat kembali ke asal hidup.
Realisasi dari api kerinduan yang sekian lama membakar ingatan akan jati diri. Kita bertemu dengan orang-orang seasal. Kebahagiaan itu rasanya sempurna ketika hidup kita sukses di tanah rantau. Orang-orang datang berkumpul, saling bercengkerama, cerita tentang masa lalu dan mendengarkan kisah sukses karier.
Anak-anak di kampung akan menata imajinasi tentang sebuah “dunia” di luar tanah kelahiran yang menjanjikan. Sangat membahagiakan.
Narasi ini sesungguhnya berada di balik “mudik” yang menjadi tradisi unik di Pulau Jawa. Kita jarang mendengar kisah penolakan dari orang-orang sekampung.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 3 Juli 2021: Ya Tuhanku dan Allahku
Kisah Yesus yang pulang kampung Nazaret dan ditolak menjadi sebuah tanda tanya agung. Yesus telah menjadi sosok tersohor di seluruh tanah Galilea. Orang berbondong-bondong mengikuti dia dan mendengarkan ajaran-Nya.
Tak terhitung lagi orang sakit yang mengalami pembebasan rohani dan fisik. Bahkan seorang buta di Kota Yerikho bernama Bartimeus pun tahu bahwa Yesus memiliki kuasa dari Allah.
Yesus ditolak saat menyampaikan pengajaran di dalam rumah ibadah (Sinagoga). Padahal, Yesus mengajar sebagai orang yang berwibawa.
Kita bisa membayangkan orang-orang menolak Yesus itu taat melakukan ritual agama dan tentu saja, rajin beribadah dan mengetahui Firman Tuhan.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 3 Juli 2021, Pesta Santo Tomas Rasul: Ragu untuk Percaya
Dalam tradisi orang Yahudi, ketika seorang dianggap telah dewasa dalam iman, akan mengenakan Talit (kain syal penutup kepala yang dikenakan selama berdoa) dan Tefilin (kotak berisi gulungan tulisan ayat yang dikenakan di kepala dan tangan). Kita membayangkan Sinagoga itu penuh dengan manusia-manusia ritus agama nan saleh ini.
Reza Aslan, Profesor Penulisan Kreatif di University of California, Riverside dalam buku bertajuk, Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth (2013) menulis bahwa Yesus lahir di sebuah desa bernama Nazaret. Ia berasal dari keluarga Tekton, sebuah stratifikasi sosial yang menempatkannya pada posisi dari kalangan yang paling miskin di antara yang miskin.
Golongan Tekton itu tentu saja berlaku untuk keluarga Yusuf dan Maria, keluarga tukang kayu penduduk Nazaret, saudaranya Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon, para buruh nelayan waktu itu.
Orang-orang Nazaret tentu saja merasa sangsi dengan Yesus yang berasal dari kasta terendah dalam struktur sosial. Posisi sosial tentu berpengaruh dan menentukan kekuatan kuasa. Warga Nazaret tidak akan pernah diyakinkan bahwa seseorang seperti Yesus menjadi utusan Allah untuk membebaskan.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 2 Juli 2021: Panggilan Tuhan
Mereka menyangsikan keberadaan Yesus sebagai Sang Pembebas dari kekuatan tangan besi bangsa penjajah Romawi. Apalagi posisi sebagai Tekton identik dengan kaum kecil, golongan papa, orang miskin, melarat dan buta huruf.