Opini Pos Kupang
Selayang Pandang Tentang Biboki-TTU, Nekaf Mese, Ansaof Mese: Tinjauan Sosio-Kultural (selesai)
Selayang Pandang Tentang Biboki-TTU, Nekaf Mese, Ansaof Mese: Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural (selesai)
Selayang Pandang Tentang Biboki-TTU, Nekaf Mese, Ansaof Mese: Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural (selesai)
Oleh : RD. Mikhael Valens Boy, Fakultas Filsafat Unwira, Penfui
POS-KUPANG.COM - Dalam membina Kerajaan Biboki, Klunin Boes, Baat Boes harus bekerjasama dengan `Bena Naek, Papa Naek', yaitu `Berbahu Besar, Berluka Besar`. Mereka adalah suku-suku bukan raja, yang mempunyai kewibawaan dan kekuatan yang besar dalam membangun dan menghidupi Kerajaan Biboki. Mereka dikenal sebagai `Amafa Naek', yaitu `Bapa yang Besar'.
Mereka secara tertentu dapat dibandingkan dengan Bapak-bapak Bangsa dalam Kitab Suci, betapapun Abraham, Ishak dan Yakub adalah Bapak-bapak Bangsa dalam konteks keberimanan akan Allah yang Esa. Dalam konteks masyarakat adat Biboki, `Bena Naek, Papa Naek' merupakan kekuatan-kekuatan kerakyatan yang besar.
Ada empat `Bena Naek, Papa Naek' di Biboki, yaitu `Pai-Sanaunu" di Timur dan `Bel-Sikone' di Barat. Pasangan `Pai-Sanaunu' dan `Bel-Sikone' ini merupakan paguyupan-paguyuban kerakyatan yang besar dan kuat yang menjadi `pendukung utama dan kepercayaan' dari Loro Biboki.
Baca juga: Premanisme dan Harga Diri
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Hari Ini, Warga Diminta Waspadai Potensi Kebakaran Lahan di NTT
Dari istilah `Bena Naek, Papa Naek', yang secara harafiah berarti `berbahu besar, berluka besar' dapat disimpulkan bahwa mereka menjadi `tangan kanan' dari Loro Biboki karena jasa-jasa dan korban-korbannya bagi kehidupan Kerajaan tradisional Biboki. Mereka biasanya menjadi `bride givers' bagi kelompok raja-raja, khususnya bagi `Tnesi-Aluman, Teba-Tautpah'.
Pemimpin tertinggi dari Kerajaan Biboki atau dalam bahasa adatnya, `Neno Biboki, Funan Biboki' adalah `Loro Biboki' (bahasa Tetun), yang secara harafiah berarti `Matahari Biboki', tetapi yang juga bermakna `Cahaya Biboki'.
Dalam bahasa Dawan ia disapa atau bergelar `Usi Koko', yaitu `Raja yang Keramat'. Karena hakekatnya juga sebagai `Atupas', yang secara harafiah berarti `Hanya Tidur -Tidak Bergerak', yaitu `tidak boleh dikenai panas dan hujan', maka dalam menjalankan pemerintahannya, Loro Biboki `didampingi' oleh `komunitas eksekutif' yang dikepalai oleh `Monemnasi Pah Tuan', yang secara harafiah berarti `Laki-Laki Tua, Raja Bumi'.
Kehadiran `Monemnasi Pah Tuan' ini kadang ditafsir sebagai terjadinya `dualisme' kepemimpinan tertinggi di Kerajaan Biboki. Tetapi, tidak!
Baca juga: Puluhan Jeriken Miras Disita Satuan Narkoba Polres Ngada Akan Segera Dimusnahkan
Baca juga: Juara Olimpiade 2008 Markis Kido Meninggal Dunia saat Bermain Bulu Tangkis di Tangerang
Kaisar atau Loro Biboki tetaplah pemimpin tertinggi dari Kerajaan Biboki dalam masyarakat adat `Klunin Boes, Baat Bo'es', dan `Monemnasi Pah Tuan' adalah `Perdana Menteri'.
Dalam konteks budaya Jawa ia dapat disamakan dengan seorang `Mangkubumi'. Loro Biboki sebagai `Atupas' (Hanya Tidur), sesungguhnya menampilkan dimensi kesakralan dan `keimaman' dari penguasa teringgi Biboki ini. Dialah `Dewa', yaitu `Usi Kok Leu' (Raja yang sangat keramat).
Dialah `Uis Neon Ana' (Putra Langit) sebagaimana istilah `Maromak Oan' (Anak Allah) untuk penguasa tertinggi Liurai, Wehali-Waiwiku di Malaka.
Kata `Atupas' perlu dimengerti dalam maknanya yang lain, yaitu bukan `Hanya Tidur', tetapi `Penidur', -Yang menidurkan'. Artinya Loro Biboki adalah `pengayom dan kedaulatan' dari seluruh masyarakat tradisional Biboki. Dialah `Bapa, Jiwa dan Roh' dari masyarakat tradisional Biboki.
Loro Biboki merupakan `personifikasi dan representasi' dari seluruh kesatuan dan kedaulatan masyarakat `Klunin Bo'es, Ba'at Bo'es' Biboki. Dialah `mikrokosmos' dari `kosmos Biboki'.Loro Biboki bisa `meminta hujan', `mengusir tulah' dan `menurunkan berkat' bagi masyarakat tradisional Biboki.
Biboki `Nekaf Mese, Ansaof Mese'
Ada istilah adat masyarakat tradisional Biboki yang berbunyi: `Nekaf Mese, Ansaof Mese -Tah Hunaka Mese, Tiun Oemata Mese'. Istilah ini saya terjemahkan secara harafiah, `satu hati, satu dada -makan dari rumpun-rumput yang satu, minum dari mata air yang satu /sama'.
Inilah salah satu filosofi masyarakat tradisional Biboki, yang membuat masyarakat Biboki mempunyai `naluri dan jiwa' untuk `bersatu dan bersaudara' khususnya di antara mereka, dan serentak juga memampukan mereka untuk `bersatu dan bersaudara' dengan semua orang, baik dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan maupun dalam konteks kehidupan menggereja.
Masyarakat Biboki sekarang ini terhimpun dalam enam kecamatan. Dahulu hanya dua: Kecamatan Biboki Utara dengan ibukotanya Manumean, yang kemudian dipindahkan ke Lurasik, dan Kecamatan Biboki Selatan dengan ibukotanya Manufui. Sebelumnya, ketika Kabupaten Timor Tengah Utara masih dalam pola Swapraja, seluruh teritorial Kerajaan Biboki merupakan hanya satu Swapraja yaitu Swapraja Biboki dengan ibukotanya Manufui.
Sekarang ini sudah ada enam kecamatan di Biboki. Kecamatan Biboki Utara dimekarkan menjadi tiga, yaitu Biboki Utara dengan ibukotanya Lurasik, Biboki `Feot-Leu' (Saudari Keramat) dengan ibukotanya Manumean, dan Biboki `An-Leu' (Putra Keramat) dengan ibukotanya Ponu.
Biboki Selatan pun dimekarkan menjadi tiga: Kecamatan Biboki Selatan dengan ibukotanya Manufui, Kecamatan `Moen-Leu' (Saudara Keramat) dengan ibukotanya Mena-Kaubele, dan Biboki `Tanpah' (Penerobos Bumi) dengan ibukotanya di Oenopu.
Ada filosofi di balik nama-nama dari kecamatan-kecamatan yang dimekarkan ini. Biboki `Moen-Leu', `Feot-Leu', `An-Leu', dan `Tanpah'. Penamaan kecamatan-kecamatan baru ini menampakkan filsafat masyarakat Biboki yang sangat menjunjung tinggi `kosmopolitan' kekeluargaan dan kekerabatan.
Istilah `Mone-Feto-Anah', yang artinya `Saudara-saudari-Anak' menunjukkan adanya spiritualitas kekeluargaan dan kekerabatan dalam mengelola kehidupan bersama dan dalam pemerintahan.
Filosofi `afinitas dan afilialitas', yaitu budaya `persamaan, pertalian keturunan, bergabung dan bersatu' hidup dan kuat dalam masyarakat Biboki.
Budaya `afinitas dan afilialitas' masyarakat Biboki bersumber juga pada sistem-sistem`kekeluargaan' yang telah dihayati sejak ratusan tahun yang lalu oleh leluhur-leluhur orang Biboki dalam pola hubungan `feto-mone, olif-tataf, bae feto-bae mone', yaitu pola hubungan `saudara-saudari, adik-kakak, ipar perempuan-ipar laki-laki'. Pola hubungan seperti ini tidak hanya berada dalam tatanan `darah dan perkawinan', tetapi juga dalam tatanan `sosial-politik'.
Suku-suku dan marga-marga membangun hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan persahabatan di antara mereka berdasarkan `perjanjian, kesepakatan, jasa dan persahabatan'. Bentuk-bentuk pertalian dalam berbagai dimensi hidup yang dijiwai oleh pola-pola hubungan tradisional `feto-mone, olif-tataf, bae feto-bae mone' ini yang telah menjadi roh dan jiwa dari persatuan dan persaudaraan masyarakat Biboki hingga hari ini.
Ada istilah adat lain dari masyarakat tradisional Biboki yang biasa saya dengar dari mulut marga saya dari garis keturunan ibu, `Tmaneak', adalah `Tmaneak Usif, Tmaneak Tob', artinya `Mengasihi Raja, Mengasihi Orang Kebanyakan'.
Dalam istilah adat ini terkandung filsafat `mengasihi manusia' dari segala strata dan semua golongan'. Inilah `keuniversalan' manusia Biboki, yang telah menjadi landasan persatuan dan persahabatan mereka dengan semua orang dari segala latarbelakangnya. Raja tetap raja, rakyat tetap rakyat, tetapi mereka semua adalah `manusia yang dikasihi'.
Filosofi `tmaneak usif, tmaneak tob' bernilai dan merupakan filosofi `kekristenan' dari masyarakat tradisional Biboki. Sebelum tiba agama Kristen melalui bangsa Portugis dan Belanda di Timor, leluhur-leluhur manusia Biboki sudah menemukan dan menghadirkan `nilai kesamaan dalam kemanusiaan' bagi semua orang.
Satu penemuan dan terobosan yang luar biasa dalam konteks manusia, budaya dan peradaban `purba'.
Inilah salah satu landasan `keberanian dan kemuliaan' manusia Biboki: `Merah menyala dalam kobaran api cinta kasih'! Mungkin karena itu, walau masyarakat Biboki adalah `masyarakat adat', namun darinya telah `lahir' banyak imam.
Adatnya Keras, Tetapi Hatinya Mulia!
Mengapa Biboki selalu `bersatu dan bersaudara', yaitu `nekaf mese, ansaof mese'? Karena mereka selalu mewarisi sejarah `perjanjian dan kesepakatan' leluhur-leluhurnya untuk menjadi satu komunitas adat dalam naungan `Neno Biboki, Funan Biboki'.
Kesetiaan kepada `janji dan kesepakatan' para leluhur masyarakat tradisional Biboki, telah menghantar manusia Biboki sampai pada `kekinian' yang bersatu dan bersaudara.`Nekaf mese, ansaof mese.
Tah toko hunaka mese, tiun toko oemata mese. Tmaneak usif ma tmaneak tob' = `Sehati, Sejiwa. Makan dari Ladang yang sama, Minum dari Mataair yang sama. Mengasihi Raja dan serentak mengasihi Rakyat'. Proficiat Biboki! (*)