Opini Pos Kupang
Formalisme Agama dan Kemunafikan Sosial
Ketika frase agama tidak dicantumkan dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (2020-2035), banyak Pemuka agama bereaksi keras
Oleh John L Hobamatan, Pemerhati Masalah Sosial, Anggota DPRD Provinsi NTT periode 2004-2009
POS-KUPANG.COM - Ketika frase agama tidak dicantumkan dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (2020-2035), banyak Pemuka agama bereaksi keras.
Haedar Nashir Ketua Umum PP Muhammadiyah memandang hilangnya frasa agama sebagai acuan nilai berdampak besar pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di lapangan.
Padahal, Peta Jalan Pendidikan Nasional harus diletakkan pada landasan konstitusional yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945. Yang kemudian diturunkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU ini ditegaskan secara eksplisit bahwa agama adalah unsur integral di dalam pendidikan nasional. (liputan6.com, Senin 8 Maret 2021)
Haedar mengaku jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur, yaitu Pancasila, Agama dan Budaya. Karenanya, salah satu unsur itu tidak boleh dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Baca juga: Promo BreadTalk Selasa 18 Mei 2021, Roti Isi Srikaya+Topping Almond Rp 8500, Whole Cakes Rp 129ribu
Baca juga: Pangdam IX/Udayana Beri Bantuan Bagi Purnawirawan dan Warakawuri di Kabupaten TTU
Pihak Kemendikbud sendiri mengakui bahwa saat ini status Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 masih berupa rancangan yang terus disempurnakan dengan mendengar dan menampung masukan serta kritik membangun dari berbagai pihak.
Dan dengan semangat yang sama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan untuk generasi penerus bangsa, kritik maupun saran akan menjadi bahan dalam penyempurnaan.
Sikap pemuka agama ini adalah sebuah sikap terpuji. Kita perlu memberi apresiasi terhadap kekritisan, dan kepedulian tersebut. Namun sayang, kearifan dan kepedulian yang begitu tinggi terhadap agama beserta seperangkat nilai sebagai pembentuk manusia Indonesia yang bertaqwa ini seolah tergerus ketika Ustad Abdul Somad yang selalu disapa dengan UAS melakukan penistaan agama dalam sebuah ceramahnya di salah satu masjid di Jakarta.
Baca juga: Libatkan Warga RT
Baca juga: Buruan Klaim Kode Redeem FF Terbaru Hari Ini Selasa 18 Mei 2021, Tukarkan dengan Skin Senjata
Menjawab pertanyaan seorang peserta yang meminta tanggapan tentang kehadiran Gus Miftah di Gereja Bethel Jakarta, yang diundang untuk membawakan orasi kebangsaan, UAS menegaskan : haram hukumnya memasuki rumah ibadah agama lain apalagi di dalam rumah ibadah itu ada penyembahan berhala .....
Kecenderungan mengkafirkan pemeluk agama lain kerap kita dengar. Padahal mesti disadari bahwa penghinaan adalah model kekafiran sesungguhnya. Karena orang menyembunyikan diri di balik ayat-ayat kitab suci untuk mengais sesuap nasi tanpa ada tanggungjawab moral untuk mencerdaskan dan mencerahkan.
Tidak ada reaksi apapun dari kalangan pemuka agama terhadap peristiwa ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan akan memanggil UAS untuk melakukan klarifikasi. Namun seperti dikatakan Ade Armando, dosen UI yang juga menjadi pegiat media sosial, tidak ada tindakan konkret terhadap UAS. Dan itu bukan hanya untuk sekali ini.
Dua peristiwa ini menggiring kita pada sikap sosial yang harus dipilih. Apakah agama yang harus ada dalam Peta Jalan Pendidikan adalah agama yang sekadar hadir dalam kehidupan sosial sebagai lambang identitas tanpa roh dan tanpa nilai.
Atau agama beserta nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya yang menjadi preferensi nilai, pedoman dalam berinteraksi, semangat membangun toleransi dan berkolaborasi sehingga kita memahami bahwa kemajemukan adalah sebuah kenyataan terberi dan menghargainya sebagai kekayaan sosial. Inilah tantangan aktual yang mesti dijawab, termasuk model pendidikan agama pada Peta Jalan Pendidikan Nasional.
Formalisme Agama
Formalisme agama bukan hal baru dalam kehidupan sosial kita. Agama oleh banyak kalangan dijadikan identitas dan simbol pemersatu kelompok. Simbol ini diperkuat dengan atribut kebudayaan sebagai bentuk visual kesalehan individual dan kesalehan sosial. Agama hanya dijadikan sumber tafsir secara tekstual yang tidak adaptif dengan perkembangan kehidupan manusia secara kontekstual.
Model pemahaman demikian menumbuhkan puritanisme yang menggaungkan penyeragaman dan pemutlakan. Walau sering berbenturan dengan pluralitas sebagai kenyataan sosial, puritanisme justru semakin beringas dan radikal.
Tidak bisa disembunyikan, misi terselubung dalam gerakan seperti ini. Ada upaya protektif untuk menutup rapat kebusukan individu melalui komunitas dungu bersumbuh pendek.
Kita tahu bahwa di tengah puritanisme agama yang dikobarkan dengan berapi-api, terungkap berbagai pelecehan seksual, poligami serampangan yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan.
Mereka dengan licik memanfaatkan kebodohan kelompok yang mengagumi ketokohannya hanya dari aspek visual dan narasi verbal ayat-ayat suci. Agama dijadikan topeng. Kesalehan dipamerkan secara dramatik-simbolik melalui kata-kata kosong dalam kotbah dengan referensi kitab suci.
Formalisme agama berujung pada pemahaman yang bersifat partikularitas-eksklusivitas. Dalam Pengantar buku The Great Transformation karya Karen Armstrong,(2007) Prof. M Amin Abdullah memberi catatan bahwa agama yang pemahamannya tergantung pada legitimasi kitab suci, yang dipahami secara tekstual, tanpa disadari dapat mengantar seseorang atau sekelompok orang pada sosok kesalehan yang keras, militan dan radikal.
Sosok keberagamaan model ini dengan mudah menanamkan rasa benci, marah, dendam, konflik, dan egotisme.
Untuk itulah, agama mestinya dipahami sebagai organisme yang hidup searah dinamika perkembangan manusia. Dalam tulisannya berjudul Menyegarkan kembali Pemahaman Islam (Kompas, 18 September 2012) Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa agama bukanlah organisme yang mati.
Untuk itu agama harus terus-menerus ditafsirkan secara non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Pada titik ini, perlunya pencantuman frase agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (2020-2035) menjadi sangat berarti. Dalam kerangka Peta Jalan ini, pendidikan agama didesain untuk menjadi elemen yang turut membangun manusia Indonesia menjadi manusia berakhlak mulia, bermoral, dan mencintai kehidupan.
Universalitas-Inklusive
Nilai-nilai pendidikan agama yang semestinya dikedepankan adalah universalitas-inklusive. Melalui cara pandang demikian, agama menekankan compassionate ethic yang mengedepankan rasa simpati, empati, rasa hormat, senasib, sepenanggungan, murah hati, loyalitas, dan mampu bekerja sama antarsesama.
Karena pendidikan yang baik, bermartabat, dan manusiawi itu tumbuh dalam lingkungan masyarakat beradab, maka setiap penghujatan, penghinaan, penistaan yang dilakukan oleh para pemuka atau masyarakat biasa harus disikapi sama oleh masyarakat yang dinilai atau menilai diri sendiri sebagai masyarakat beradab.
Begitu juga pada aksi-aksi terorisme yang menggunakan topeng agama, radikalisme yang dilakukan atas nama agama, harus diperangi secara bersama. Kita tidak bisa menyucikan agama hanya dengan mengatakan bahwa agama manapun tidak menganjurkan kejahatan dan pembunuhan.
Karena sikap brutal, penyerangan dan pembunuhan hanyalah buah dari tafsir serta agitasi yang dilakukan oleh orang-orang yang ditokohkan.
Membumikan agama sebagai nilai kehidupan yang universal, tidak hanya menunggu guru agama di sekolah. Lingkungan kehidupan harus menjadi contoh tentang toleransi, sikap saling menghormati, sehingga nilai-nilai agama itu tumbuh dan mengakar sebagai praktik hidup.
Lingkungan sosial yang penuh dengan kemunafikan, tidak akan pernah menghasilkan kepribadian yang utuh baik dalam dalam diri siswa yang sedang mencari jati diri maupun masyarakat umum.(*)