Opini Pos Kupang
Mati Listrik dan Nomophobia
Bencana Badai Siklon Tropis yang melanda wilayah NTT beberapa waktu lalu menyebabkan banyak hal yang rusak dan terganggu
Oleh : Wardy Kedy, Alumnus Magister Psikologi UGM
POS-KUPANG.COM - Bencana Badai Siklon Tropis yang melanda wilayah NTT beberapa waktu lalu menyebabkan banyak hal yang rusak dan terganggu. Rumah, lahan pertanian, kendaraan transportasi, jalan, jembatan, gedung sekolah, kantor dan lain sebagainya, semuanya porak poranda.
Yang lebih parah adalah aliran listrik terputus di beberapa wilayah (khususnya di Pulau Timor) yakni di Kabupaten TTS, TTU dan Belu. Sedangkan pasokan bahan bakar minyak untuk menyalakan genset pun terbatas karena Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tidak berfungsi optimal. Ditambah lagi dengan akses jaringan internet untuk telekomunikasi juga ikut terdampak akibat mati listrik.
Pasca bencana siklon tropis seroja itu, PLN tidak tinggal diam. Mereka mulai bekerja ekstra untuk memulihkan listrik yang terputus. Dari data yang ada, sekitar 14 kabupaten yang mengalami mati listrik. Pemulihan sistem kelistrikan di 14 kabupaten tersebut ikut dibantu personel yang dikirim dari PLN Jawa Timur, Bali, NTB, Maluku, Sulawesi Selatan dan Papua.
Untuk mempercepat pemulihan listrik, PLN kemudian menambah sekitar 30 sampai 40 petugas kelistrikan PLN dari Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jakarta dan Banten yang memulihkan kelistrikan di pulau-pulau kecil, seperti pulau Semau, Rote dan Pulau Sabu.
Baca juga: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Undana Periksa Kesehatan Warga Pulau Kera
Baca juga: Gempa Bumi 4.2 SR Terjadi di Kodi- Sumba Barat Daya
General Manager PLN Persero Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Timur mengatakan bahwa dalam sepekan terakhir, 723 petugas PLN sudah bekerja keras untuk memulihkan sistem kelistrikan PLN yang terdampak bencana.
Angin kencang, banjir bandang dan longsor menyebabkan 4.002 gardu listrik distribusi terdampak sehingga 635.979 rumah tangga mengalami pemadaman aliran listrik selama berhari-hari, (VOA, 12/04/2021).
Berkat kerja keras para petugas PLN, maka persis di hari Minggu, 18 April 2021 malam, akhirnya listrik bisa kembali normal. Masyarakat di Kabupaten TTS, TTU dan Belu sudah bisa menikmati terang. Kita patut memberi apresiasi besar terhadap kerja keras para petugas PLN yang sudah berjuang selama kurang lebih 2 minggu untuk memulihkan aliran listrik yang rusak.
Baca juga: Begini Gambaran Dalam Kapal Selam Tempat 53 Awak KRI Nanggala-402 Berbagi Oksigen, Pengap dan Sempit
Baca juga: Eduard Tanur Menggenapi Mimpi Kelompok Tani Bitobe, Bikomi Utara
Kita tak bisa pungkiri bahwa dampak matinya listrik selama kurang lebih 2 minggu ini, berpengaruh pada berbagai sendi kehidupan. Matinya listrik telah membuat aktivitas keseharian orang-orang pun berubah. Yang paling kelihatan adalah aktivitas masyarakat yang sering menggunakan handphone.
Bukan hanya tidak bisa mengisi daya baterai handphone, listrik padam juga berimbas pada jaringan telepon, yang menghambat jalannya komunikasi. Masyarakat mau tidak mau harus rehat sejenak dari aktivitas media sosial yang sering dilakukan hampir setiap saat lewat `telepon pintar' yang dimiliki. Padahal, media sosial dianggap sebagai sumber hiburan yang bisa diakses di mana saja.
Matinya ponsel atau jaringan telepon seiring mati listrik telah membuat resah mereka yang setiap harinya sudah terbiasa hidup dengan handphone. Tidak sedikit orang yang merasa cemas akibat handphone yang tidak dapat diisi daya, maupun tidak dapat mengakses media sosial.
Mengingat di zaman digital ini semuanya serba online, sehingga padamnya listrik tentu menghambat aktivitas sebagian besar masyarakat. Tingginya kebutuhan menggunakan gawai pada masyarakat kita saat ini dapat menimbulkan berbagai gejala psikis yang kurang disadari.
Kondisi psikis yang bisa terjadi akibat seorang yang tidak bisa lepas dari gawai adalah nomophobia. Dalam ranah psikologi, nomophobia merupakan rasa takut akan kehilangan ponsel dan merasa tidak bisa jauh dari ponselnya.
Perasaan tersebut merupakan sindrom ketakutan berlebihan dan perasaan cemas yang timbul bila tidak berada di dekat ponselnya. Saat ini, sindrom nomophobia semakin hari kian banyak dialami orang. Alasan utamanya adalah karena perilaku orang saat ini memang begitu dekat dan sangat akrab dengan yang namanya ponsel.
Sebenarnya, kata Nomophobia merupakan kependekan dari no-mobile phone phobia. Kata ini pertama kali teridentifikasi di tahun 2008 oleh peneliti Inggris. Seiring dengan kemajuan teknologi, fenomena nomophobia pun semakin sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda.
Nomophobia mengacu pada perilaku menyimpang di dunia modern, serta dapat menggambarkan ketidaknyamanan dan perasaan tidak dapat lepas dari handphone, komputer dan berbagai alat komunikasi virtual yang digunakan pada lingkungannya.
Orang yang menderita nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan selalu merasa cemas dalam meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawanya kemanapun pergi.
Penelitian terbaru dari King, Valenca, Silva, Sancassiani, Machado, & Nardi, (2014), mendefinisikan nomophobia sebagai ketakutan di era modern yang muncul ketika tidak mampu untuk berkomunikasi melalui ponsel atau internet.
Nomophobia adalah istilah yang mengacu pada koleksi dari perilaku atau gejala yang berkaitan dengan penggunaan mobile phone. Nomophobia adalah fobia situasional yang berhubungan dengan agoraphobia dan termasuk takut menjadi sakit atau takut tidak menerima bantuan segera.
Kecenderungan nomophobia (no mobile phone phobia) membuat seseorang mengalami perasaan cemas ketika jauh dari smartphone, kehabisan baterai, tidak dapat membuka sosial media atau game online, serta mengalami ringxeity.
Batasan antara nomophobia dengan ketergantungan smartphone terletak pada perasaan cemas, gelisah, dan takut ketika berada jauh dari smartphone, sedangkan ketergantungan merupakan usaha terus-menerus untuk menggunakan smartphone.
Penggunaan yang berlebihan dapat menimbulkan perilaku adiktif dan ketergantungan, kedua hal tersebut merupakan indikasi dari kecenderungan nomophobia.
Berdasarkan pemahaman tentang nomophobia yang memiliki definisi dengan cakupan cukup luas, maka bisa ditarik suatu benang merah bahwa dampak dari mati listrik yang terjadi beberapa waktu lalu, secara tidak langsung telah mengakibatkan sebagian masyarakat kita mengalami nomophobia.
Argumen saya ini didasari atas aspek nomophobia yang dijelaskan dalam hasil riset Yildirim dan Correia (2015) yakni, tidak bisa berkomunikasi (not being able to communicate), kehilangan koneksivitas (losing connectedness), tidak mampu mengakses informasi (not being able to communicate), dan menyerah pada kenyamanan (giving up convenience).
Memang kalau berkaca pada aspek tersebut, mungkin tingkatnya belum terlalu parah, tetapi jika melihat trend yang ada, gangguan ini bisa berbahaya jika ketergantungan kita pada listrik dan handphone sangat kuat.
Lebih jauh dari itu, merasa takut dan cemas berlebihan ketika baterai handphone dalam keadaan low battery; atau tidak bisa mengakses medsos karena jaringan internet eror; atau merasa kesal yang tidak wajar apabila tidak bisa mengakses handphone; adalah sedikit contoh nyata yang patut kita refleksikan bersama.
Karena itu, untuk mencegah agar gangguan nomophobia tidak sampai terjadi pada saat mati listrik atau pada situasi lain, maka kita perlu melakukan berbagai aktivitas lain yang bisa membuat kita tidak jenuh, melakukan hobi yang selama ini belum sepenuhnya tersalurkan, berkreasi menghasilkan alternatif lain ketika terjadi mati listrik atau hal-hal lain yang membuat aktivitas kita terganggu, dan berbagai cara lain yang kita sendiri tahu. Intinya adalah jangan sampai kita sangat tergantung pada Hp, sebab dari situlah gejala nomophobia berkembang. (*)