Opini Pos Kupang

Mati Listrik dan Nomophobia

Bencana Badai Siklon Tropis yang melanda wilayah NTT beberapa waktu lalu menyebabkan banyak hal yang rusak dan terganggu

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Mati Listrik dan Nomophobia
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Nomophobia mengacu pada perilaku menyimpang di dunia modern, serta dapat menggambarkan ketidaknyamanan dan perasaan tidak dapat lepas dari handphone, komputer dan berbagai alat komunikasi virtual yang digunakan pada lingkungannya.
Orang yang menderita nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan selalu merasa cemas dalam meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawanya kemanapun pergi.

Penelitian terbaru dari King, Valenca, Silva, Sancassiani, Machado, & Nardi, (2014), mendefinisikan nomophobia sebagai ketakutan di era modern yang muncul ketika tidak mampu untuk berkomunikasi melalui ponsel atau internet.

Nomophobia adalah istilah yang mengacu pada koleksi dari perilaku atau gejala yang berkaitan dengan penggunaan mobile phone. Nomophobia adalah fobia situasional yang berhubungan dengan agoraphobia dan termasuk takut menjadi sakit atau takut tidak menerima bantuan segera.

Kecenderungan nomophobia (no mobile phone phobia) membuat seseorang mengalami perasaan cemas ketika jauh dari smartphone, kehabisan baterai, tidak dapat membuka sosial media atau game online, serta mengalami ringxeity.

Batasan antara nomophobia dengan ketergantungan smartphone terletak pada perasaan cemas, gelisah, dan takut ketika berada jauh dari smartphone, sedangkan ketergantungan merupakan usaha terus-menerus untuk menggunakan smartphone.

Penggunaan yang berlebihan dapat menimbulkan perilaku adiktif dan ketergantungan, kedua hal tersebut merupakan indikasi dari kecenderungan nomophobia.

Berdasarkan pemahaman tentang nomophobia yang memiliki definisi dengan cakupan cukup luas, maka bisa ditarik suatu benang merah bahwa dampak dari mati listrik yang terjadi beberapa waktu lalu, secara tidak langsung telah mengakibatkan sebagian masyarakat kita mengalami nomophobia.

Argumen saya ini didasari atas aspek nomophobia yang dijelaskan dalam hasil riset Yildirim dan Correia (2015) yakni, tidak bisa berkomunikasi (not being able to communicate), kehilangan koneksivitas (losing connectedness), tidak mampu mengakses informasi (not being able to communicate), dan menyerah pada kenyamanan (giving up convenience).

Memang kalau berkaca pada aspek tersebut, mungkin tingkatnya belum terlalu parah, tetapi jika melihat trend yang ada, gangguan ini bisa berbahaya jika ketergantungan kita pada listrik dan handphone sangat kuat.

Lebih jauh dari itu, merasa takut dan cemas berlebihan ketika baterai handphone dalam keadaan low battery; atau tidak bisa mengakses medsos karena jaringan internet eror; atau merasa kesal yang tidak wajar apabila tidak bisa mengakses handphone; adalah sedikit contoh nyata yang patut kita refleksikan bersama.

Karena itu, untuk mencegah agar gangguan nomophobia tidak sampai terjadi pada saat mati listrik atau pada situasi lain, maka kita perlu melakukan berbagai aktivitas lain yang bisa membuat kita tidak jenuh, melakukan hobi yang selama ini belum sepenuhnya tersalurkan, berkreasi menghasilkan alternatif lain ketika terjadi mati listrik atau hal-hal lain yang membuat aktivitas kita terganggu, dan berbagai cara lain yang kita sendiri tahu. Intinya adalah jangan sampai kita sangat tergantung pada Hp, sebab dari situlah gejala nomophobia berkembang. (*)

Kumpulan Opini Pos Kupang

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved