Asa Naisunis dan Sembilan Selendang dari Amfoang  

saya melihat barisan orang berdiri di dermaga. Tak banyak memang, sekira 30 hingga 40 orang. Mereka berdiri di dekat bibir dermaga.

Penulis: Ryan Nong | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
Rombongan saat menuju bangunan terminal pelabuhan penyeberangan Naikliu, Kamis (4/3). 

Pelabuhan itu, menurut Ricky Djo, menjadi oase yang mengobati  dahaga masyarakat Kabupaten Kupang khususnya wilayah pesisir Amfoang akan akses transportasi yang aman selama musim hujan.

Hadirnya Pelabuhan Penyeberangan Naikliu menjadi solusi  kebutuhan masyarakat sebagai alternatif transportasi yang membuka akses ke wilayah itu. Saat ini, jalur darat ke Amfoang mengalami kendala karena kondisi jembatan Termanu yang menjadi akses utama jalur darat mengalami kerusakan. 

Andreas Eliasar Naisunis, yang hadir dalam acara itu tampak begitu bahagia. Lelaki 60 tahun yang kini didapuk sebagai salah satu tokoh masyarakat itu merupakan salah satu orang yang berjasa mewujudkan mimpi masyarakat Amfoang untuk terbebas dari belenggu isolasi.

Ia yang mengusahakan pembebasan lahan untuk pembangunan dermaga yang dicanangkan oleh Ketua Komisi V DPR RI kala itu, Fary Djami Francis, saat masih menjabat Camat Amfoang Utara.

"Awal cerita seperti mimpi bagi saya, ketika saya dihubungi dari dinas kabupaten, hanya dalam jangka waktu 1x24 jam saya bisa menyelesaikan pelepasan lahan yang sudah dilengkapi dengan tanda tangan tokoh masyarakat, kepala desa, dan tokoh adat. Itu tahun 2017," tuturnya. 

Naisunis berkisah, dalam waktu satu hari, pihaknya dapat menyelesaikan pembebasan lahan itu sebagai salah satu syarat utama pembangunan pelabuhan. Usai proses itu, pada November 2018 langsung dilakukan groundbreaking pembangunan pelabuhan. 

Naisunis mengaku masyarakat begitu membutuhkan pembangunan dermaga feri agar dapat memperlancar akses dan mobilitas khususnya pada musim hujan. Masyarakat lima kecamatan di wilayah Amfoang memang memiliki tiga akses jalur darat, yakni jalur Lelogama - Naikliu, jalur Oelamasi - Manubelon - Naikliu yang saat ini terputus di jembatan Termanu dan jalur Soe - Oepoli - Naikliu. Namun demikian, jalur tersebut sangat sulit dilalui saat musim hujan.

Ia menyebut, jika menggunakan jalur darat maka masyarakat membutuhkan waktu lebih dari 7 jam pada saat musim panas, namun demikian sangat beresiko.  Apalagi saat musim hujan, perjalan bisa memakan waktu hingga 24 jam. "Kalau jalan jam 8 pagi dari kupang, sampai Naikliu jam 3 hampir siang. Kalau normal itu 7 jam, tapi beresiko," ungkap Naisunis.

"Permintaan awal itu kami membutuhkan pembangunan dermaga feri supaya perhubungan laut lancar, karena kami merasakan cukup sulit pada musim hujan. Kami terisolir, karena kami kadang kadang 1x 24 jam juga bisa tidur di jalan," tambahnya..

Meski sudah memiliki satu dermaga biasa, ia mengaku masyarakat tetap kesulitan mobilisasi kendaraan. Apabila menggunakan Penyeberangan Ferry maka biaya dapat ditekan dibandingkan dengan menggunakan kapal.  

Akses darat yang sulit di musim hujan menurutnya memang memberi dampak luar biasa. Pasokan sembako terbatas sementara bahan bakar harganya melambung. Untuk bensin saja dijual dengan harga Rp 15 ribu per liter. 

"Kami masyarakat berterima kasih, walaupun belum diresmikan tapi kami boleh menggunakan sehingga masyarakat tidak kesulitan lagi transportasi. Tadi banyak mobil turun bawa sembako, kami sangat berterima kasih," kata dia. 

Luna Maya Ungkap Pernikahan Impiannya, Gak Perlu Ada Pesta, Yang Penting Mau tua Bersama

Sebagai tanda mata, Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat dan para pejabat lain didaulat menanam anakan pohon di halaman gedung terminal pelabuhan itu.  Sembilan anakan disipkan masyarakat sebagai penanda telah muncul harapan baru masyarakat Amfoang untuk lepas dari belenggu isolasi melalui jalur penyeberangan laut. ( POS-KUPANG.COM, Ryan Nong) 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved