Berita Pendidikan

14 Bahasa Daerah NTT Sudah Hampir Punah, 3 Diantaranya Sudah Masuk Fase Sangat Kritis

Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki 72

Editor: Ferry Ndoen
istimewa
Kepala Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahri Lubis   

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki 72 bahasa daerah.

Jumlah tersebut, menurut Kepala Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahri Lubis, masih bisa bertambah atau berkurang sesuai dengan verifikasi data yang dilakukan di lapangan. 

"Jumlah ini bisa saja berbeda dari lembaga lain, semisal SIL atau juga Perguruan Tinggi, tergantung metode penghitungan yang dilakukan," kata Lubis pada Kamis (04/03/2021).

 Lubis juga mengungkapkan, dari 72 bahasa daerah tersebut, 14 diantaranya hampir punah. 

"Paling tidak ada sekitar 14 bahasa yang hampir punah di Provinsi NTT. Tiga di antaranya sudah masuk pada fase sangat kritis, yaitu bahasa Beilel, bahasa Kafoa, dan bahasa Sar," kata Lubis pada Kamis (04/03/2021).

Lanjut Lubis, bahkan bahasa Beilel tinggal 3 orang penutur, yaitu Usman (65), Karim (68), dan Bernandus (83). Bahasa Beilel terdapat di Dusun Habolat, Desa Probur Utara, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor.

Untuk menentukan bahasa yang masuk kategori punah pun, ujar Lubis, berbeda-beda standar meskipun sebagian besar indikatornya sama. 

"Apabila jumlah penutur bahasa dibawah 1.000 orang, bahasa tersebut sudah masuk pada kategori hampir punah," jelas Lubis.

Bahasa yang paling banyak masuk pada kategori hampir punah, berada di Kabupaten Alor, sebab jumlah bahasa daerah juga paling banyak di kabupaten tersebut. 

Lubis mengajarkan, bila penutur bahasa tinggal 3 orang dan tidak ada lagi penutur muda, bahasa ini masuk pada tahap sangat kritis. Lubispun menggambarkan keadaan tersebut sebagai "sakratul maut" untuk bahasa tersebut.

"Untuk itu, selagi masih ada penuturnya, harus secepatnya diselamatkan," ujar Lubis.

"Penyebab bahasa itu punah karena penuturnya tidak menuturkan lagi. Mereka beralih pada bahasa tetangga atau bahasa sekitarnya. Kaum muda tidak mau lagi menggunakannya. Bisa jadi karena kurang percaya diri atau mungkin karena terlindas oleh bahasa tetangga yang lebih dominan," tambahnya menjelaskan.

Lanjut Lubis, bahasa disebut punah jika tidak ada lagi penuturnya. Jika belum sempat diinventarisasi, seperti direkam, maka bahasa tersebut hanya akan jadi kenangan. 

"Kalau yang terancam punah sudah (diinventarisasi) dan masih terus disempurnakan dan dilengkapi. Makanya kami terus ke lapangan," ungkap Lubis.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved