Berita NTT Terkini
Full Day Trip ke Labuan Bajo: Tuhan Cipta Alam Sambil Tersenyum
TAK jauh dari kubangan komodo, kami melihat tempat bertelur komodo (komodo nest)
POS-KUPANG.COM - TAK jauh dari kubangan komodo, kami melihat tempat bertelur komodo (komodo nest). Tempat bertelur komodo dulunya merupakan sarang yang dibuat oleh burung Maleo. Ketika tak dipakai lagi, Komodo betina pun menggunakan tempat itu untuk meletakkan telurnya. Musim kawin Komodo dimulai dari bulan Juni hingga Agustus.
Pada bulan September, Komodo betina mulai menyimpan telurnya. Ukuran telur komodo sama besar seperti ukuran telur Angsa. Ia mengerami telur selama delapan atau sembilan bulan. Ketika menetas, ukuran Komodo sekitar 25-30 cm.
Setelah menetas, anak komodo akan naik ke atas pohon menghindari induknya atau komodo lain. Induk komodo tidak menyuplai makanan untuk anaknya, sehingga anak komodo harus mencari makan sendiri.
• Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Awololong Lembata, Silvester Samun Malah Diangkat Jadi Kadis
Anak komodo memakan cicak atau tokek selama tiga tahun. Setelah tiga tahun, anak komodo sudah bisa turun dari pohon dan hidup seperti komodo lainnya. Komodo yang memiliki panjang lebih dari tiga meter sudah tidak bisa memanjat pohon.
Kami terus berjalan mencari Ora. Ketika kami sampai di bibir pantai, Yono memberitahu kami bahwa ada beberapa komodo terlihat sedang bersantai di sana. Seekor komodo tampak berjalan perlahan. Umurnya kira-kira 40 tahun; tubuhnya kering dan kurus.
Tak jauh dari komodo tua itu, kami melihat komodo jantan lain yang sedang tidur di bawah pohon. Badannya besar dan panjang. Kami pun segera mengabadikan momen untuk berfoto dengan Ora jantan ini.
Komodo jantan biasanya lebih besar dari komodo betina. Mereka memiliki ekor panjang dan kepala lebar. Sedangkan, badan komodo betina lebih ramping, ekor pendek, dan kepala agak moncong. Pulau ini didominasi oleh komodo jantan. Ketika musim kawin tiba, tiga ekor komodo jantan berkelahi terlebih dahulu untuk mendapatkan seekor komodo betina.
Di sekitar Loh Liang Walking Trails tepatnya di pinggir pantai tersedia souvenir berupa kerajinan tangan atau baju yang bisa dibeli untuk oleh-oleh. Apabila haus dan lapar, wisatawan juga bisa masuk ke tenda-tenda sekitar miliki warga yang berjualan di sana. Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam berkeliling Loh Liang dan kembali ke kapal untuk bertolak ke Long Pink Beach pada pukul 12.05 Wita.
Pink Beach
Perjalanan kami tempuh lebih kurang satu jam menuju Long Pink Beach. Kami tiba pukul 13.03 Wita dan menggunakan sekoci untuk turun ke pantai. Sungguh, pasir pantai memang berwarna merah muda (pink).
Warna itu didapat dari mikroorganisme foraminifera yang memberi warna merah pada koral yang tersapu air laut ke pantai. Serpihan koral yang pecah tersebutlah yang bercampur dengan pasir dan menjadikan pasir di pantai tersebut berwarna merah muda (pink).
Tempat itu terkenal sebagai lokasi snorkeling dan diving. Bagi wisatawan yang ingin melakukan dua aktivitas di bawah laut itu, bisa melakukannya dari sekitar kapal. Tapi, bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai saja, tersedia beberapa tenda milik warga Pulau Komodo. Mereka menjual souvenir berupa kerajinan, atau makanan dan minuman.
Setelah puas berfoto, kami kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir, yakni Pulau Padar. Kami berangkat pukul 15.15 Wita.
Perjalanan ditempuh kurang lebih 45 menit. Rombongan kami pun pukul 16.01 Wita. Di ujung jembatan dermaga, suhu tubuh kami akan diukur oleh petugas, lalu mencuci tangan pada tempat yang telah disediakan. Kami ditemani dua Naturalist Guide yakni Agus dan Rinus.
Pulau Padar memiliki luas 14,09 kilometer persegi. Ada beberapa jenis burung, seperti burung elang, alap-alap, gagak, pergam, perkutut jawa, burung gereja, sesap madu, kuntul, dan walet.
Reptil yang hidup antara lain ular hijau, ular lidi, gecko, penyu hijau, dan penyu sisik. Rusa dan kalong buah juga ada di pulau ini. Tentu saja, komodo menjadi top predator yang hidup di Pulau Padar.

Aktivitas yang bisa dilakukan di Pulau Padar adalah tracking, adventure, dan bird watching. Kami memilih untuk tracking hingga ke puncak. Kata Rinus, untuk mencapai puncak kami harus menaiki 818 anak tangga dan melewati 4 titik pemberhentian.
Agus mengingatkan kami untuk berjalan di atas tangga dan jangan keluar jalur karena jalanan licin dan longsor akibat musim hujan.
Setiap titik pemberhentian dapat digunakan untuk istirahat dan berfoto. Karena tidak menyediakan tempat sampah, Agus meminta kami membawa pulang kembali sampah yang dibawa dari kapal.
Kami mulai menaiki tangga demi tangga pukul 16.25 Wita. Dengan napas terengah-engah, kami menaiki bukit. Meski lelah, kami tidak melewatkan pemandangan yang sungguh indah.
Kata Agus dan Rinus, kami akan melihat tiga buah teluk dari atas puncak, yakni Pantai Pasir Putih, Pantai Pasir Hitam, dan Pantai Pasir Pink.
Beberapa anak tangga tampak mulai rusak. Dulunya, hanya tersedia jalan setapak untuk jalan satwa. Namun, pemerintah pusat melakukan pemeliharaan dengan membuat tangga untuk memudahkan wisatawan yang ingin mendaki pada tahun 2018.
Beberapa titik cukup terjal; di sisi kanan jalur pendakian adalah jurang. Beberapa batu tangga lain mulai terangkat akibat longsor.
Sekitar 30-an menit kami melewati beberapa titik peristirarahatan, kami tiba di puncak bukit pada pukul 16.57 Wita. Lelah dan keringat kami dibayar tuntas. Kami takjub dengan pemandangan di depan kami.
Bak lukisan tangan Tuhan, bukit-bukit hijau di pulau ini berjejer dengan tiga pantai yang terlihat indah. Kami melihat di sebelah kanan hamparan pasir putih; sebelah kiri pasir-pasir hitam; dan di bagian tengah ujung atas pantai pasir pink. Langit sedang indah-indahnya, dengan awan putih indah seperti kapas.
Golden time! Cahaya matahari sangat memesona. Tak tanggung-tanggung, fotografer kami, Jackson langsung mengabadikan momen ini. Kami berfoto satu per satu dan berkelompok.
Beberapa lain ada yang duduk menikmati desir angin sepoi-sepoi. Saya sendiri menutup mata dan menarik napas dalam-dampak. "Apakah Tuhan menciptakan alam ini sambil tersenyum?" bisik seorang teman.
Kami menanti matahari terbenam. Sungguh, tiada kata yang mampu mengekspresikan kepuasan kami selain "Nusa Tenggara Timur itu indah".
Kami mengabadikan setiap momen di atas puncak dan bersyukur perjalanan kami boleh selamat dan tanpa halangan apapun. Kami beranjak menuruni puncak pada pukul 18.02 Wita. Kapal membawa kami pulang. Kami tiba di Labuan Bajo sekitar pukul 11.00 Wita. Yandri bersama kru Ciela Phinisi mengucapkan terima kasih atas kesempatan berlayar bersama mereka. Kami pun mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh mereka.
Melakukan perjalanan berwisata di tengah pandemi tak selamanya menakutkan. Pengelola tempat-tempat wisata menerapkan protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh wisatawan. Hal itu setidaknya memberikan kenyamanan bagi wisawatan selama berwisata di Labuan Bajo. (intan nuka)