Opini Pos Kupang

Hari Bahasa Ibu Internasional dan Corona

Tanggal 21 Februari 2021 adalah Hari Bahasa Ibu Internasional ( International Mother Language Day)

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Hari Bahasa Ibu Internasional dan Corona
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh: Willem Berybe (Pensiunan Guru Bahasa Inggris SMA tinggal di Kolhua Kupang)

POS-KUPANG.COM - Tanggal 21 Februari 2021 adalah Hari Bahasa Ibu Internasional ( International Mother Language Day) dengan tema "Fostering multilingualism for inclusion in education and society" Demikian pernyataan UNESCO yang dikutip dari laman https://en.unesco.orgsites.

Tema tersebut mau mengatakan bahwa bahasa ibu (bahasa daerah/lokal) dapat menjadi penguat partisipasi dalam pendidikan dan masyarakat. PBB berpandangan bahwa pendidikan berbasis keragamana bahasa (multilingual education) dan partisipasi dalam pendidikan dapat meningkatkan upaya pemulihan pendidikan (recovery) di masa COVID-19 ini.

Sosialisasi Penting Bagi Masyarakat

Mengapa multilingualism (keragaman bahasa) begitu penting dalam tatanan kehidupan universal? Kecenderungan makin menghilangnya bahasa-bahasa di dunia akibat perubahan pola hidup yang terus berkembang, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, hilir-mudik mobilitas komunitas dan masyarakat dunia membuat manusia lupa akan bahasa ibu.

Data yang dikemukakan PBB menunjukkan bahwa setiap dua minggu sebuah bahasa di dunia punah (tidak ada penuturnya lagi) sedangkan prosentase bahasa-bahasa dunia yang tergolong terancam punah (endangered) sedikitnya 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa (Sumber: www.un.org)

Independen Coffee Shop Kupang: Merlisia Tonjolkan Latte Art

Keragaman budaya dan kebhinekaan (termasuk bahasa) yang menjadi dasar pemikiran dalam kaitan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini mestinya mendorong lembaga pendidikan untuk tidak takutatau merasa minder menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah/lokal) di sekolah-sekolah.

Mungkin pertanyaannya, apakah guru-guru sendiri memiliki kemampuan menggunakan bahasa ibu ketika proses belajar-mengajar berlangsung? Wacana ini kiranya mulai dipikirkan oleh Pemda NTT, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menggalakkan bahasa ibu di lingkungan sekolah tanpa mengecilkan bahasa resmi nasional, Bahasa Indonesia.

Menarik apa yang dikemukakan PBB di atas bahwa perlu ada tindakan pemulihan (recovery) pendidikan akibat dampak wabah virus COVID-19 antara lain dengan meneraplan keragaman bahasa ibu dalam proses pendidikan.

Tulisan ini tidak mengulas secara khusus hal tersebut tapi bagaimana sebuah bahasa ibu dipakai oleh pengguna media sosial untuk mengungkapkan rasa benci dan marah terhadap virus corona yang telah membunuh jutaan orang di muka bumi dalam sebuah narasi ritual adat (sumpah serampu = kutukan).

Hal ini dilatari oleh tradisi para leluhur manakala sebuah wabah melandadi wilayah mereka.

Penulis mengambil contoh narasi tersebut yang ditulis dalam bahasa ibu (Bahasa Manggarai). Sebuah bahasa daerah (bahasa etnik, istilah Prof. Stephanus Djawanai, Ph.D) yang berlaku di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan sejumlah ragam dialek lokal yang unik di daerah ini.

Postingan Dr. Frans Asisi Datang, (Dosen UI) di media Facebook (26 Maret 2020) menyajikan sebuah narasi ritual dan doa secara adat Manggarai untuk mengusir Corona. Tradisi ini sudah mendarah-daging dan melekat kuat dalam kehdupan sosial masyarakat Manggarai.

Penulis yakin di daerah lain di NTT juga memiliki tradisi serupa jika terjadi wabah, nemba (Bahasa Manggarai). Berikut disajikan penggalan awal narasi tersebut:

Dengé le Hau Corona...
ata toe ita wekim, toe dumpu pu'um,
toe polok comong'm tara tombon agu curup lami
Toe landing campit hitu cai, toe landing comong rodo-rodo cai
Le Wuhan hembur, ba ce'e tebur'm....
(Dengarlah, wahai (engkau) Coroma...
kau yang tak kelihatan (fisik) tubuhmu, tidak ketahuan asal-muasalmu,
tidak nongol moncongmu, maka kami omong dan angkat bicara
Bukan lantaran kedatangan(mu) itu, bukan karena tiba-tiba saja (kau) datang
Di Wuhan sana (kau) merebak, bawa ke sini keruhmu itu)

Intinya virus yang tak kelihatan ini tanpa sebab musabab tiba-tiba merebak di Wuhan dan terbawa sampai ke sini (Indonesia). Di sini unsur kemarahan terhadap wujud fisik virus sangat kentara dengan penggunaan makna kata "toe"(tidak).

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved