Opini Pos Kupang
Pengoplosan Fakta dan Pemerkosaan Kedua oleh Media
Presiden Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2021 mengharapkan agar pers tetap berada di garis terdepan
Inilah yang disebut the second rape atau perkosaan kedua yang dilakukan wartawan melalui beritanya. Dengan memuat identitas korban disertai foto dan latarbelakang kehidupan pribadi korban, sebenarnya media sedang melanjutkan pemerkosaan terhadap korban. Pers seperti tidak pernah mempertimbangkan dampak pemberitaan yang ditimbulkan bagi korban dan keluarganya.
Memang otentitas fakta dan etika jurnalis adalah dua hal yang berbeda. Tetapi kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia mensyaratkan ketaatan terhadap kode etik jurnalistik. Benar bahwa antara kedua ranah ini sarat dengan berbagai situasi dan kondisi dengan aneka pilihan yang membuat insan pers musti bernegosiasi.
Tetapi di sini, tetap dibutuhkan empati jurnalis dalam menulis fakta. Pemberitaan yang menonjolkan sensasionalitas, kontroversi dan dramatisasi fakta akan membuat korban lebih menderita. Loyalitas pers adalah kepada kaum yang tertindas, namun kenyataan banyak media yang menghamba kepada kepentingan dan melakukan pembungkaman kebenaran.
Pengoplosan fakta oleh wartawan dan pemerkosaan kedua dalam pemberitaan sering dilakukan berhubungan erat dengan keberpihakan yang gamang. Pers wajib berpihak, seperti kebenaran juga memihak.
Namun menjadi soal ketika keberpihakan pers itu menegasikan ruang privat pihak lain. Lebih celaka jika pilihan itu dibuat untuk apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai the hyper-reality of media, menyembunyikan kebenaran atas fakta dan menggiring pembaca mempercayai sebuah citra yang dibangunnya sebagai kebenaran, meski penyataannya hanyalah dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran yang melampaui realitas.
Jika trend tersebut tidak menjadi komitmen pers untuk membendungnya, maka yang terjadi tidak hanya simtomatik, tetapi devaluasi atau krisis makna. Berita adalah informasi yang sudah diselidiki kebenarannya dan diuji kelayakannya, sehingga layak dan relevan untuk dipublikasikan.
Tugas penting pers dalam memelopori pekabaran, jembatan informasi, menjaga optimisme dan menumbuhkan harapan, hanya akan berhasil jika dan hanya jika wartawan melakukan filter bukan pengoplosan. Penyulingan memisahkan ethanol agar diperoleh alkohol yang murni, pengoplosan menambahkan spiritus agar alkohol bakar menyala, tapi membunuh. Dengan pengetahuannya wartawan dituntut melakukan pembersihan agar diperoleh berita yang berkualitas.
Secara umum kita tahu wartawan berurusan dengan fakta. Pemberitaan tentang 8 Destinasi NTT masuk nominasi API 2020 misalnya, menunjukkan apa yang dianggap fakta oleh wartawan. Dari fakta ini wartawan memilih angel pemberitaan, ada yang menyoroti dampak lingkungan, ada yang keuntungan ekonomis.
Semua itu sampai kepada pembaca sebagai berita, tetapi secara tajam apa yang dinamakan berita tidak lain apa yang dianggap fakta oleh wartawan. Berita adalah juga social construction of reality.
Berita adalah kisah, informasi adalah narasi dan fakta adalah makna. Jangan mengoplos fakta dengan opini untuk melahirkan gosip yang berkisah. Maka sesungguhnya jantung jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Wartawan yang berhasil selalu melakukan dua hal ini sekaligus: Mencatat dengan teliti fakta in actu di TKP dan memberikan suatu kerangka makna yang kemudian dideskripsikan sebagai berita. Dengan demikian pembaca menemukan berita yang bermakna.
Antonio Gramsci, menyebut pengoplosan fakta oleh wartawan merupakan upaya hegemoni, yakni penaklukan pikiran khalayak secara sukarela. Masyarakat juga perlu mengembangkan kesadaran kritis dalam membaca fakta media agar terhindar dari penundukkan yang hegemonik oleh pers.
Realitas media tak sepenuhnya parallel dengan realitas sosial. Maka pembaca juga perlu mengembangkan ketrampilan verifikasi dengan melakukan semacam diet informasi menggunakan skeptical knowing (pola pikir skeptis).
Kehilangan demokrasi jauh lebih buruk dari pada kehilangan pers. Kita akan tetap bisa membanggakan pers sebagai pilar keempat demokrasi jika wartawan membuat berita sebagai dedikasi untuk kebenaran dan pembaikan kehidupan bersama.
Dan kita pun harus menyudahi cara pandangan lama bahwa melalui berita pers menyatakan "percayalah kepada saya (pers)" dan menggantikannya dengan cara pandang baru di mana khalayak menyatakan kepada pers "tunjukkanlah kepada saya atau buktikanlah kepada saya. "The most important thing that a press can doto this country is through the eyes of people.
Berita yang baik, menyiapkan suasana, menciptakan peluang, memberi sentuhan dan menawarkan perspektif sehingga pembaca sendirilah yang menemukan jalan dan mendapatkan maknanya sendiri. Berikan pembaca cukup informasi untuk menilai sumber-sumberitu sendiri. Inilah yang disebut Jokowi, Pers menumbuhkan optimisme dan menghidupkan harapan. Selamat Hari Pers Nasional rekan-rekan media. (*)