Opini Pos Kupang
Dies Cinerum di Masa Pandemi
Seorang penyair Inggris-Amerika, Thomas Stearns Eliot (1888-1965) mengemukakan arti dari Pertobatan
Oleh: Christian Rizaldi Tanjung, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero
POS-KUPANG.COM - Seorang penyair Inggris-Amerika, Thomas Stearns Eliot (1888-1965) mengemukakan arti dari Pertobatan. Menurut Thomas, Pertobatan adalah hasil dari pengetahuan akan kebenaran.
Manusia adalah makhluk yang berpengetahuan yang bisa menyadari siapa dirinya berhadapan dengan sebuah kebenaran. Di mana ada kebenaran di sana ada kesalahan. Dengan kata lain terdapat dua sisi yang bersamaan.
Dalam keadilan terdapat ketidakadilan, dalam kekudusan terdapat keberdosaan. Manusia membutuhkan pertobatan yang tulus yakni menghindari kesempatan berbuat dosa.
• Satgas Yonarmed 3/105 Tarik Perindah Masjid Al-Hidayah
Dies cinerum yang dikenal dengan nama Rabu Abu ialah hari pertama masa Pra Paskah. Rabu abu merupakan awal masa pertobatan dan refleksi selama 40 hari untuk memperingati pencobaan dan pergumulan Yesus di masa setelah pembaptisan di sungai Yordan. Angka 40 mempunyai makna rohani sebagai waktu persiapan. Musa berpuasa selama 40 hari 40 malam di bukit Sinai sebagai persiapan diri untuk menerima Sepuluh Perintah Allah (Ulangan 9:9-11).
Musa berpuasa untuk ke dua kalinya selama 40 hari karena murka Allah terhadap Israel yang menyembah patung anak lembu emas (Ul. 9:18). Kitab Ulangan mencatat bahwa bangsa Israel berjalan selama 40 tahun di padang gurun sebagai konsekuensi pemberontakan pada Allah atas ketidakmampuan Israel menaklukkan sebuah negeri dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
• Begini Penjelasan BMKG Soal Prediksi Cuaca di Provinsi NTT Pada Hari Ini
Mengembara selama 40 tahun di padang gurun berarti masa ujian "mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni apakah engkau berpegang pada perintahNya atau tidak"( Ul.8:2).
Pertobatan diwujudkan dalam sikap berpuasa, menyobek pakaian, berpakaian karung kasar, menaburi kepala dengan abu dengan berlutut atau duduk di tanah seraya menangis di hadapan Yahwe.
Upacara liturgis pertobatan ini dilaksanakan dalam ratapan, kesedihan, dan penyesalan atas dosa-dosa dan menyerahkan diri pada Yahwe. Hari pengampunan yang dikenal dengan istilah Yom Kippur dirayakan untuk pembaharuan diri dan niat untuk kembali pada Yahwe. Pengampunan dosa diyakini sebagai penyembuhan, pembersihan dan pentahiran.
Yom Kippor dalam bahasa Ibrani disebut hari pertobatan dan silih yang dirayakan dengan cara berpuasa dan berdoa. Yom dalam artinya hari dan Kippur artinya menutup atau menyembunyikan dan menghapus (dosa-dosa).
Abad ke 5 SM sesudah Yunus menyerukan pertobatan sehingga Kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu. Tertulianus (±160-270) dalam buku "De Poenitentia" menuliskan bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu".
Sejarawan gereja perdana yang terkenal, Eusebius (260-340) dalam bukunya `Sejarah Gereja' mengungkapkan bagaimana Natalis menghadap Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan.
Banyak hal lainnya yang melukiskan bagaimana pertobatan dan pengampunan memiliki hubungan dengan abu atau debu tanah.
Mengapa Dies Cinerum?
Kitab Mazmur 102:10 dengan mantap mengungkapkan bahwa sebuah penyesalan tampak dengan `memakan abu'. "Sebab aku makan abu seperti roti dan mencampur minumanku dengan tangisan". Sikap pertobatan atas dasar kesadaran dan penyesalan menjadi acuan untuk kembali kepada Via, Vita et Veritas.
Bagi awam yang non Katolik timbul rasa heran saat melihat orang Katolik dengan tanda salib abu di dahi saat hari Rabu Abu. Mengapa dan ada apa dengan abu dan hari Rabu Abu?
Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan sebagaimana termuat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Abu yang digunakan dalam upacara Rabu Abu adalah hasil pembakaran daun-daun palma dari tahun sebelumnya. Abu hasil pembakaran diberkati dan direciki dengan air berkat sesuai panduan teks liturgi. Penggunaan dan pembakaran daun palma sudah berlangsung sejak abad ke 12.
Beberapa paroki masih mempertahankan kebiasaan mengumpulkan daun palma dari umat untuk dibakar dengan upacara bersama sebelum masa pra paskah dimulai.
Makna Rabu Abu
Abu mempunyai sifat yang kotor mudah dipindahkan dan tidak memiliki arti. Gereja Katolik memberi makna tersendiri pada abu atau debu. Dalam Perjanjian Lama abu digunakan sebagai lambang pertobatan. Kitab Kejadian menceritakan asal muasal manusia tercipta.
Manusia ada dari debu tanah dan selanjutnya dipenuhi Roh Allah. Roh Allah yang dihembuskan inilah yang mengubah debu tanah itu bermakna dan menjadi manusia.
Daun palma dalam perayaan minggu palma ialah perayaan di mana Yesus dielu-elukan saat memasuki Yerusalem sebagai raja yang penuh kenangan. Pembakaran daun-daun palma dan menjadi abu merupakan tanda kedinaan bahkan kematian. Abu menjadi lambang perkabungan, ketidakadilan dan pertobatan.
Kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun dirayakan secara liturgis diperkirakan pada tahun 900-an.
Paus Urbanus II pada akhir abad ke 11 mengumumkan penggunaan abu secara umum pada hari rabu sebelum memasuki masa Pra Paskah. Pada awalnya clerus (imam) dan kaum laki-laki menerima abu di atas kepala. Kaum perempuan menerima tanda salib abu di dahi. Gereja Katolik sebelum masa pandemi di Indonesia secara umum, baik pria maupun wanita menerima tanda salib abu di dahi.
Pertobatan merupakan panggilan hidup bagi umat yang percaya pada Tuhan. Rabu abu bukan sekadar sebagai pertobatan, penyesalan dan sebuah hari yang ditentukan untuk menerima abu.
Rabu abu yang tepat berarti melakukan pertobatan, berpuasa dengan menahan nafsu dan berpantang dan tidak berbuat dosa lagi dan memiliki relasi yang baik kepada sesama dalam kepedulian.
Codex Iuris Canonici (Kanon 1249-1253) atau yang lebih dikenal dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK) dalam Bab II bagian dari Waktu-waktu Suci bahwa hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun dan pula masa tobat empat puluh hari (kan.1250).
Hari Jumat mendapat tempat istimewa untuk masa tobat. Dengan kata lain, Gereja tidak menunggu masa Pra Paskah tiba lalu mengadakan tobat. Dalam kanon 1251 ditegaskan juga bahwa pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati sengsara dan wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
Usia berapa yang wajib melaksanakan puasa dan pantang? Kanon 1252 dengan jelas menyatakan bahwa yang wajib berpantang ialah yang telah berumur genap 14 tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enam puluh.
Usia dewasa seturut KHK dalam kanon 97 §1: orang yang berumur genap delapan belas tahun, adalah dewasa; sedangkan di bawah umur itu, belum dewasa.
Penerimaan Abu di Masa Pandemi
Tahun 2021 memiliki perbedaan dalam penerimaan abu dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kongregasi Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen menerbitkan catatan yang berisi petunjuk untuk para imam perihal pembagian abu di tengah masa pandemi virus corona (Covid-19).
Para imam akan membagikan abu tanpa mengucapkan apa-apa. Imam menyampaikan kepada yang hadir dan hanya sekali mengatakan apa yang tertulis di Roman Missal (dalam bahasa Latin dikenal Missale Romanum sebuah buku panduan ibadat berisi teks dan rubrik perayaan misa menurut Ritus Romawi dalam Gereja Katolik):
"Bertobatlah dan percayalah kepada Injil" atau "you are dust and to dust you shall return". Petunjuk lain berisi bahwa para imam mengambil abu dan memercikinya di kepala masing-masing umat tanpa mengatakan apa-apa.
Hal ini untuk meminimalisir kontak fisik satu sama lain. Umat yang tidak mengikuti misa Rabu Abu di gereja karena faktor pandemi akan berlangsung secara online dengan khidmat dan tidak menerima penaburan secara langsung.
Tahun ini menjadi peristiwa baru untuk Indonesia secara khusus. Sebab selama ini umat Katolik di Indonesia selalu menerima abu dengan bentuk tanda salib di dahi. Peristiwa ini bukanlah masalah besar sebab Gereja Katolik memiliki dua cara mempersembahkan abu dalam liturgi Rabu Abu.
Cara pertama ialah dengan mengoleskan abu di dahi, dan cara kedua yaitu menaburkan abu di atas kepala (kebiasan ini lazim dilakukan di Roma). Sehingga cara kedua bahkan ke tiga (menerima abu di rumah bersama keluarga) merupakan tata cara baru akibat masa pandemi.
Tata cara penerimaan abu tidak perlu mendapat respon yang berlebihan. Umat yang bisa menerima abu sebaiknya menerima abu di gereja atau di tempat yang dikehendaki. Karena alasan situasi yang tidak memungkinkan maka umat dibolehkan untuk tidak menerima abu.
Menerima abu adalah tanda pertobatan. Dengan menerima abu berarti memasuki masa pertobatan yang mengikuti tindakan nyata yakni berpuasa, berpantang dan beramal. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu.
Yahwe menghendaki hati bukan pakaian. Pusat dari Rabu Abu ialah Kristus yang menghendaki manusia untuk bertobat dan mengalami kerahiman dari Allah. Sebab manusia sendiri akan kembali ke tanah dari mana Tuhan mencipta citraNya. You are dust and to dust you shall return. Selamat memasuki masa pra paskah. Oremus pro invicem.(*)