Perkawinan Pada Usia Anak Ditolak Aliansi PKTA, Ini Alasannya
Perkawinan Pada Usia Anak Ditolak Aliansi PKTA atau Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak, Ini Alasannya
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
POSKUPANGWIKI.COM - Perkawinan Pada Usia Anak Ditolak Aliansi PKTA atau Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak, Ini Alasannya.
Demikian diungkapkan Aliansi PKTA atau Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak kepada poskupangwiki.com melalui siaran persnya, Kamis (11/2/2021) siang yang dikirimkan oleh Renny Rebeka Haning dari ChildFund Internasional Indonesia mellaui WA.
Press RIlis Aliansi PKTA ini menyusul beberapa fenomena beredarnya flyer dan muatan-muatan di laman web tertentu terkait jasa pencarian suami untuk anak perempuan.
Menurut Aliansi PKTA, praktik perkawinan seharusnya tidak dipromosikan.
"Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, Orang tua dan Keluarga berkewajiban dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak. Anak perlu dihindarkan dari praktik perkawinan anak yang tidak dapat diterima di dalam masyarakat modern," tulis Aliansi PKTA.
Aliansi PKTA juga menghargai dan mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) dalam mengambil respon yang cukup cepat dalam menanggap fenomena promosi praktek perkawinan itu.
Dimana KPPPA menilai bahwa hal itu termasuk dalam kategori perbuatan melanggar hukum dan juga bisa mempengaruhi cara berpikir kaum muda untuk melakukan nikah sirri dan menikah di usia anak.
Terkait adanya permintaan pengiriman informasi berupa foto dan data pribadi terkait calon pengantin perempuan terhadap promosi perwakinan anak itu, demikian Aliansi PKTA, bisa jadi merupakan data sensitif yang jika disalahgunakan bisa berimplikasi terlanggarnya perlindungan data pribadi khususnya dalam situasi orang tua yang ‘mencarikan’ pasangan untuk anaknya.
"Walaupun kerangka hukum kita belum cukup kuat dalam hal Perlindungan Data Pribadi, akan tetapi hak penghapusan informasi di dalam Pasal 26 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah diakui di Indonesia. Di dalam ketentuan ini penyelenggara jasa elektronik wajib melaksanakan prinsip
perlindungan data pribadi, termasuk pemrosesan data yang tidak menyesatkan dan tujuan dari
pemrosesan tersebut, terlebih ketika kita membicarakan perihal data personal dari anak," jelas Aliansi PKTA.
Dan dari kacamata hukum pidana, jasa yang dipromosikan ini memiliki potensi terjadinya eksploitasi seksual anak dan juga tindak pidana perdagangan orang.
"Sesuai dengan Pasal 76I UU No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak. Eksploitasi tersebut adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan," jelas Aliansi PKTA.
Dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 UU tersebut melarang setiap orang untuk melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut, eksploitasi termasuk di dalamnya eksploitas seksual.
PEKERJAAN RUMAH
Perkawinan Anak di Indonesia masih menjadi Pekerjaan Rumah bagi pemerintah, 2019 lalu pemerintah melakukan revisi atas UU No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang akhirnya mengatur mengenai usia minimal Perkawinan menjadi 19 tahun.
"Namun, hal ini tentu perlu untuk diikuti dengan langkah-langkah konkret pemerintah dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap budaya Perkawinan Anak," tulis Aliansi PKTA.